Tuntutan Tugas Task. Hasil dan Pembahasan.
Pengaturan Kerja Bergilir
331
PENGATURAN KERJA BERGILIR
untuk dapat menciptakan keseimbangan antara tuntutan tugas, lingkungan kerja dan kemampuan pekerja Grandjean, 1993; Manuaba, 2000.
Untuk bagian ATC - Bandara Ngurah Rai, pengaturan waktu kerja disesuaikan dengan tuntutan tugas yang membutuhkan pelayanan selama dua puluh empat jam.
Untuk memenuhi jam operasional yang panjang ini, diatur shift work yang terstruktur dengan jadwal sebagai berikut.
¾ Shift pagi : pukul 07.30 s.d 14.00 ¾ Shift siang : pukul 13.30 s.d 19.30
¾ Shift Malam: pukul 19.00 s.d 08.00
Dari jadwal waktu kerja tersebut di atas, dapat dianalisis beberapa hal sebagai berikut.
¾ Adanya overlaping antar shift masing-masing selama tiga puluh menit. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi kedua kelompok shift untuk
alih tugas serta memberikan kesempatan beradaptasi bagi kelompok shift pengganti dengan kondisi lalu lintas udara yang ada. Dengan demikian
diharapkan bahwa pergantian shift tersebut tidak sampai mengganggu kelancaran pelayanan informasi.
¾ Dari ketiga kelompok waktu kerja tersebut di atas, terlihat bahwa waktu kerja untuk shift pagi dan siang masing-masing kurang dari delapan jam. Namun
shift malam justru lebih dari delapan jam 13 jam. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan body clock yang ada pada tubuh pekerja.
¾ Apabila dikaitkan dengan tingkat beban kerja Grafik 24.2, maka beban puncak terjadi pada shift pagi dengan jumlah pesawat sebanyak 23 pesawat
hari shift, selanjutnya diikuti oleh shift malam dengan jumlah pesawat sebanyak 15 pesawathari shift dan shift siang dengan jumlah pesawat sebanyak 13
pesawathari shift.
Untuk mengisi ketiga shift tersebut, dibentuk empat kelompok karyawan dengan jumlah anggota masing-masing sebanyak 11 orang termasuk satu orang sebagai
koordinator kelompok. Pembagian waktu kerja diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing kelompok mendapat libur satu hari setelah menjalankan tugas
berturut-turut untuk shift pagi, siang dan malam. Dengan demikian semua kelompok memperoleh satu hari libur dalam empat hari kerja.
Selanjutnya berdasarkan tuntutan tugas yang ada, maka secara internal kelompok, masing-masing koordinator menyusun pembagian waktu kerja
sedemikian rupa sehingga masing-masing pekerja maksimal hanya bekerja di depan VDT selama 2 jamharishift. Dari hasil wawancara dengan para koordinator,
pembagian kerja ini dilakukan sebagai hasil partisapatore dari seluruh pekerja atas dasar pengalaman kerja. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kekuatan
masing-masing pekerja untuk melakukan pengendalian di depan VDT maksimal hanya dua jam. Apabila dipaksakan lebih dari dua jam, dirasakan sangat berat dan
332
Pengaturan Kerja Bergilir
PENGATURAN KERJA BERGILIR
melelahkan. Apabila hal ini dibiarkan terjadi, dikuatirkan akan terjadi kelelahan yang dapat menurunkan tingkat ketelitian sehingga terjadi kesalahan-kesalahan
yang dapat berakibat fatal. Khusus untuk shift malam, bagi anggota kelompok yang mendapat giliran di atas pukul 24.00 sampai pukul 08.00 hari berikutnya
biasanya hanya dua orang, diperkenankan untuk datang
±
30 menit sebelum giliran kerja dengan maksud untuk memberikan kesempatan tiduristirahat sebelum
bekerja. Sedangkan anggota lainnya hanya bekerja maksimal sampai pukul 24.00. Walaupun demikian, bagi yang sedang tidak bertugas harus tetap siaga karena apabila
diperlukan dapat segera kembali bekerja sesuai dengan waktu kerja yang terstruktur. Dengan pengaturan kerja secara internal kelompok tersebut, ternyata para karyawan
merasa lebih nyaman karena memiliki waktu istirahat yang cukup panjang. Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam pelaksanaanya, para koordinator beserta seluruh
anggota kelompok telah melakukan inovasi dalam upaya melakukan penyesuaian terhadap kondisi lapangan yang ada. Upaya-upaya ini sebenarnya patut dihargai
sepanjang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman dan kondusif. Namun, karena pengaturan tersebut hanya bersifat informal, maka
akan memberikan kesan adanya ketidakdisiplinan karena melanggar ketentuan yang terstruktur. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya salah persepsi tersebut,
ada baiknya apabila pengaturan secara informal yang nyata-nyata menghasilkan kondisi kerja yang lebih baik disahkan menjadi pengaturan yang terstruktur.