Analisis Sistem Manusia-Mesin
261
ANALISIS SISTEM MANUSIA
Gambar 18.4. Penempatan Alat Kontrol di Bawah Meja yang Sering Membentur Lutut serta Gambaran
Kompleksitas Displai yang Harus Dioperasikan
terlalu sempit dengan lebar 31 cm, menyebabkan
beberapa alat komunikasi harus disusun bertumpuk.
Kondisi demikian dapat mempersulit operator dalam
bekerja. Di samping itu, semua kursi yang digunakan
operator mempuyai sandaran tangan dengan tinggi antara
66-69 cm dari lantai. Oleh karena tinggi ruang gerak
kaki hanya 63 cm, maka kursi tidak akan dapat masuk di
bawah meja, sehingga sandaran punggungpinggang
tidak dapat digunakan secara sempurna, seperti
diilustrasikan pada gambar 18.4.
Selain redesain stasiun kerja, mikroklimat suhu udara, kelembaban, kecepatan udara, intensitas penerangan dan kebisingan harus dalam batas-batas nyaman,
sehingga kondisi mikroklimat tidak memberikan beban tambahan bagi operator. Khususnya intensitas penerangan umum pada ruang ACC tidak terlalu menjadi
permasalahan. Hal tersebut disebabkan karena objek kerja berada di sekitar moni- tor sehingga diperlukan penerangan lokal. Sedangkan operator lebih memilih
mengatur contrast dan bright dari layar monitor, dengan alasan supaya tidak silau.
Untuk dapat memecahkan masalah ergonomi dengan baik, khususnya masalah sistem manusia-mesin, maka perlu dilakukan pendekatan participatory. Dalam hal
ini setiap operator harus dilibatkan pada setiap langkah perbaikan, karena merekalah yang paling tahu masalah-masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan pihak
manajemen perlu mengembangkan ‘open management’ dengan didasari pada political will
. Partisipasi dalam ergonomi merupakan partisipasi aktif dari karyawan dengan supervisor dan managernya untuk menerapkan pengetahuan ergonomi di tempat
kerjanya untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja [Nagamachi, 1993]. Dengan pendekatan participatory, maka semua orang yang terlibat dalam unit kerja akan
selalu merasa terlibat, berkontribusi dan bertanggung jawab tentang apa yang mereka kerjakan. Didasarkan pada pendekatan participatoris
262
Analisis Sistem Manusia-Mesin
ANALISIS SISTEM MANUSIA
Ternyata para operator menginginkan adanya perubahan
desain stasiun kerja yang lebih ergonomis. Berkaitan dengan hal
tersebut maka redesain stasiun kerja yang diusulkan seperti
pada gambar 18.5 disamping.
18.3.2 Pengaruh Interaksi Manusia-Mesin terhadap Gangguan Sistem Muskuloskeletal
Mengingat sikap kerja operator ACC sebagian besar adalah duduk statis pembebanan otot statis, maka metode subjektif untuk menilai gangguan
ketidaknyamanan pada sistem muskuloskeletal tepat untuk digunakan [Corlett, 1992]. Dalam hal interaksi sistem manusia-mesin, apabila tidak ada keserasian
antara operator dan sarana kerja yang digunakan, maka akan dapat menyebabkan gangguan pada anggota tubuh tertentu, lebih lanjut dikenal sebagai gangguan sistem
muskuloskeletal. Gangguan tersebut terjadi oleh karena terjadinya sikap paksa pada anggota tubuh untuk dapat menyesuaikan atau mengoperasikan alat kerja, seperti
gerakan menjangkau, membungkuk, memutar badan yang terjadi berulang-ulang.
Dari hasil pengisian kuesioner Body Map sebagian operator mengalami gangguan sistem muskuloskeletal. Kenyerian atau keluhan pada otot skeletal yang dominan
adalah pada bagian pinggang 83,33, punggung 66,67, bahu kanan dan bokong 58,33, leher atas dan lengan kanan atas 50, dan anggota tubuh
lainnya kurang dari 50. Sedangkan hasil pengisian kuesioner Body Map dengan 4 skala likert pre-posttest, didapatkan rerata skor sebelum kerja sebesar 32,50
±
6,65 dan setelah kerja sebesar 36,67
±
6,17. Dengan uji t-paired ternyata perbedaan rerata skor tersebut signifikan dengan t hitung = 3,44, p = 0,006. Pada penelitian
sebelumnya dilaporkan bahwa hampir seluruh tenaga kerja yang bekerja dengan sikap kerja yang tidak alamiah dan dalam waktu yang lama juga mengalami gangguan
sistem muskuloskeletal dan kelelahan otot setelah kerja bergilir [Chavalitsakulchai Shahnavaz, 1991]. Dapat disimpulkan bahwa terjadinya gangguan sistem
muskuloskeletal pada operator ACC tersebut kemungkinan besar disebabkan karena interaksi manusia-mesin yang tidak serasi dan terjadi berulang-ulang.
18.3.3 Penilaian Beban Kerja Operator ACC
Hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun eksternal [Rodahl, 1989].
Gambar 18.5. Usulan Redesain Stasiun Kerja Operator ATC dengan Tipe U Memudahkan Jangkauan Area Kerja
Analisis Sistem Manusia-Mesin
263
ANALISIS SISTEM MANUSIA
1. Faktor eksternal, meliputi:
a tugas-tugas tasks yang dilakukan baik yang bersifat fisik maupun bersifat
mental; b
organisasi, seperti ; kerja bergilir, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, reward and punishment
, dll; serta c
lingkungan kerja, seperti; lingkungan kerja fisik, kimia, biologis, fisiologis dan psikologis.
2. Faktor internal, meliputi:
a faktor somatis jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan,
status gizi; dan b
faktor psikis motivasi, persepsi, kepercayaan, dll. Bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja
fisik adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan
suhu tubuh mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen [Rutenfranz, 1991 dan Rodahl, 1989]. Katagori berat ringannya beban kerja didasarkan pada
metabolisme, respirasi, temperatur dan denyut jantung menurut [Christensen, 1991].
Dari hasil penghitungan denyut nadi didapatkan rerata denyut nadi kerja sebesar 76,69 denyutmenit. Berdasarkan rerata denyut nadi kerja tersebut maka beban
kerja dalam kategori ringan. Dibandingkan dengan rerata denyut nadi istirahat 65,94 denyutmenit terdapat peningkatan denyut nadi sebesar 10,75 denyutmenit
16,3. Pada uji statistik dengan t-paired test ternyata peningkatan tersebut signifikan nilai t hitung 3,824 dan p=0,003. Dalam penelitian sebelumnya dilaporkan hasil
yang hampir sama, bahwa beban kerja fisik operator ATC tower adalah ringan dengan rerata denyut nadi kerja 73
±
2,68 denyutmenit [Idris dan Sutalaksana, 2001]. Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan karena jenis pekerjaan
operator ACC lebih bersifat mental dari pada fisik. Sedangkan penilaian beban kerja yang didasarkan pada penghitungan denyut nadi lebih ditujukan untuk beban
kerja fisik, karena denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi [Konz, 1996]. Mengingat beban
kerja fisik operator ACC dalam kategori ringan, maka penilaian beban kerja didasarkan pada denyut nadi tersebut kurang dapat diandalkan karena faktor emosi
akan lebih menentukan.
Dalam penelitian beban kerja mental berdasarkan metode SWAT pada shift malam adalah antara ringan dan sedang. Sedangkan pada shift pagi beban kerja
mental adalah tinggi. Hal tersebut berhubungan erat dengan banyaknya jumlah pesawat yang harus dilayani operator, di mana jumlah pesawat pada shift pagi lebih
banyak dari pada shift malam [Idris dan Sutalaksana, 2001]. denyut jantung opera- tor ATC lebih tinggi selama shift sore yang lebih sibuk the busy afternoon shift dari
pada shift pagi [Rodahl, 1989]. Sedangkan penurunan kapasitas mental berpengaruh terhadap vigilant behaviour pada pekerjaan [Johnson, 1982.].
264
Analisis Sistem Manusia-Mesin
ANALISIS SISTEM MANUSIA
18.3.4 Pengaruh Shift Malam terhadap Kelelahan Subjektif
Secara fungsional seluruh organ pada siang hari adalah dalam keadaan siap beraktivitas ergotropic phase, sedangkan pada malam hari adalah sebaliknya tro-
photropic phase yaitu fungsi tubuh secara alamiah akan beristirahat untuk penyegaran
[Grandjean, 1993]. Oleh karena beberapa alasan baik teknis, ekonomi maupun sosial, maka kerja pada malam hari sering kali tidak dapat dihindarkan. Kondisi
tersebut sering menyebabkan berbagai gangguan, seperti gangguan fisiologis kualitas tidur rendah, kapasitas fisik dan mental turun, gangguan saluran pencernaan,
gangguan psikologis, sosial maupun gangguan performansi kerja [Rutenfranz, 1991]. Secara umum gangguan fisiologis yang paling dominan dialami oleh pekerja malam
adalah terjadinya kelelahan dan gangguan performansi kerja.
Dari hasil pengisian kuesioner kelelahan subjektif 30 item, dapat dijelaskan sebagai berikut.
1 Pada kelompok 10 item pertama pelemahan kegiatan, persentase adanya
kelelahan subjektif cukup tinggi dengan kisaran persentase antara 16,67 - 83,33. Dari 10 item tersebut 9 item pertanyaan mempunyai persentase lebih
dari 50.
2 Pada kelompok 10 item ke dua pelemahan motivasi, persentase adanya
kelelahan subjektif relatif kecil dengan kisaran persentase antara 8,33 - 66,67. Dari 10 item pertanyaan tentang pelemahan motivasi tersebut 9 item
pertanyaan mempunyai persentase kurang dari 50.
3 Pada kelompok 10 item ke tiga kelelahan fisik, persentase adanya kelelahan
subjektif juga cukup tinggi dengan kisaran antara 25,00 - 83,33. Dari 10 item tersebut 5 item pertanyaan mempunyai persentase lebih dari 50.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa setelah bekerja pada shift malam, ternyata para operator masih mempunyai motivasi yang cukup tinggi. Namun
demikian tidak dapat dihindarkan bahwa setelah bekerja 12 jam mereka mengalami kelelahan yang bersifat fisik karena kurang tidur. Hal tersebut terlihat dari hasil
persentase kelelahan subjektif pada kelompok 10 item pertama dan ke tiga. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian tentang kelelahan dan stress pada air
traffic controllers
. Di mana tingkat kelelahan weak, tense, tired, exhausted and sleepy terus menurun mulai dari 3 jam pertama kerja dan puncaknya terjadi pada 8-10
jam setelah kerja [Grandjean, Wotzka, Schaad. Gilgen, 1971].
18.3.5 Pengaruh Shift Malam terhadap Tingkat Kecepatan, Ketelitian dan Konstansi Kerja
Salah satu efek bekerja pada shift malam adalah terjadinya gangguan performansi kerja. Hal ini dapat dipahami, karena bekerja pada waktu orang lain tidur atau
sebaliknya adalah merubah fungsi alamiah tubuh. Untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik meskipun tidak maksimum adalah melalui proses adaptasi dan
aklimatisasi yang cukup lama. Melalui uji kecepatan, ketelitian dan konstansi uji Bourdon Wiersma
dapat digunakan sebagai indikasi dalam menentukan tingkat