Produktivitas Kerja Hasil Penelitian

168 Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Duduk Berdiri ST ASIUN KERJ A untuk negara dengan empat musim yaitu 40-60, kelembaban di tempat kerja menyetrika tersebut jauh lebih tinggi Grantham, 1992; Grandjean, 1993; ACGIH, 1995. Tetapi apabila dibandingkan dengan kelembaban udara luar di Kabupaten Badung dengan rerata 78 ± 5, maka kondisi kelembaban tempat kerja tersebut tidak jauh berbeda Tarwaka Bakri, 2001. Di samping itu Suma’mur 1984 juga menyatakan bahwa orang-orang Indonesia pada umumnya dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu udara antara 29-30 o C dengan kelembaban antara 85-95. d Kecepatan Udara . Rerata kecepatan udara pada P0 adalah 0,14 ± 0,03 m det; pada P 1 adalah 0,16 ± 0,04 mdet dan pada P 2 adalah 0,17 ± 0,02 mdet, secara statistik kecepatan udara pada ketiga perlakuan tersebut juga tidak signifikan p0,05. Apabila dibandingkan dengan hasil pemantauan kecepatan udara luar di Kabupaten Badung, udara bertiup tidak tetap dengan kecepatan antara 1,26-3,85 mdet, maka kecepatan udara di tempat kerja menyetrika tersebut jauh lebih lambat Tarwaka, 2001b. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan rekomendasi kecepatan udara di tempat kerja yaitu antara 0,1-0,2 mdet, maka kecepatan udara di tempat menyetrika tersebut dalam rentangan yang dipersyaratkan Sanders McCormick, 1987; Grantham, 1992; Grandjean, 1993. Dengan demikian kecepatan udara pada ketiga perlakuan tersebut tidak menimbulkan efek fisiologis yang dapat mengganggu pekerjaan. e Intensitas penerangan . Sumber cahaya pada tempat menyetrika adalah berasal dari sinar matahari penerangan alamiah dengan menggunakan lampu TL sebagai cadangan apabila cuaca mendung atau cahaya dari sinar matahari kurang. Rerata intensitas penerangan pada P adalah 320 ± 40 luks; pada P 1 adalah 292 ± 29 luks dan pada P 2 adalah 297 ± 16 luks, secara statistik tidak signifikan p0,05. Intensitas penerangan untuk pekerjaan menyetrika pada ketiga perlakuan tersebut, dalam rentangan yang direkomendasi yaitu 240- 400 luks Armstrong, 1992; 170-350 luks Manuaba, 1986 dan 200-300 luks Sanders McCormick, 1987; Grandjean, 1993. Dengan demikian jelas bahwa, intensitas penerangan pada ketiga perlakuan di tempat menyetrika tersebut tidak menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain yang dapat mempengaruhi performansi kerja.

12.7.2 Beban Kerja

Dari hasil analisis data denyut nadi kerja pada P didapatkan rerata 101,39 ± 6,25 denyutmenit dalam kategori beban kerja sedang. Pada P 1 didapatkan rerata denyut nadi kerja sebesar 102,71 ± 6,79 denyutmenit, juga dalam kategori beban kerja sedang. Selanjutnya, pada P 2 rerata denyut nadi kerja turun menjadi 96,84 ± 2,68 denyutmenit dalam kategori beban kerja ringan. Denyut nadi kerja pada ketiga perlakuan tersebut dengan uji one way ANOVA ternyata tidak signifikan p0,05. Lebih lanjut dengan uji Post Hoc-LSD, denyut nadi kerja pada P 2 dibandingkan dengan P hanya turun sebesar 4,55 denyutmenit 4,49 dan secara Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Duduk Berdiri 169 ST ASIUN KERJ A statistik tidak signifikan p0,05. Kemungkinan besar hal tersebut disebabkan karena jumlah sampel n yang digunakan dalam penelitian ini terlalu kecil n=8. Namun demikian, secara kualitas penurunan beban kerja dari sedang P menjadi ringan P 2 cukup berarti, karena dengan sendirinya beban kardiovaskuler beban fisiologis juga semakin ringan. Sedangkan denyut nadi kerja pada P 2 dibandingkan dengan P 1 turun sebesar 5,86 denyutmenit 5,71 secara statistik signifikan p0,05. Demikian halnya dengan nadi kerja, bahwa pada P 2 didapatkan rerata nadi kerja paling kecil 18,18 ± 3,03 denyutmenit; pada P0 sebesar 24,49 ± 6,83 denyut menit; dan pada P 1 paling besar yaitu 26,91 ± 7,54 denyutmenit. Perbedaan rerata nadi kerja pada ketiga perlakuan tersebut signifikan p0,05. Selanjutnya, nadi kerja pada P 2 dibandingkan dengan P turun sebesar 6,31 denyutmenit 25,76, secara statistik tidak signifikan p0,05. Tetapi nadi kerja pada P 2 dibandingkan dengan P 1 turun sebesar 8,74 denyutmenit 32,49 dan secara statistik signifikan p0,05. Ternyata sikap kerja berdiri P 1 mempunyai nadi kerja yang paling besar dibandingkan sikap kerja lainnya. Hal tersebut dapat dipahami, karena sikap kerja berdiri memerlukan energi ± 20 lebih tinggi dibandingkan sikap kerja duduk atau duduk-berdiri bergantian pada pekerjaan yang sama Hedge, 2002. Sedangkan kebutuhan energi seseorang mempunyai hubungan linier yang tinggi dengan denyut nadi kerja. Pada posisi berdiri diperlukan sirkulasi darah ke seluruh tubuh yang lebih banyak dan venous return darah ke jantung lebih lama sehingga memacu kerja jantung lebih cepat, akibatnya jantung berdenyut lebih cepat. Maka terbukti bahwa menyetrika dengan sikap berdiri mempunyai nadi kerja yang paling besar dibandingkan dengan sikap kerja lainnya. Secara jelas perbedaan rerata denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja dan nadi kerja dari ke tiga perlakuan dapat dilihat pada gambar 12.8. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Andewi 1999, di mana nadi kerja pekerja perusahaan M.I. turun sebesar 19,32 p0,05 setelah dilakukan perbaikan terhadap sikap kerja dengan menggunakan meja dan kursi sesuai antropometri pekerjanya. Gambar 12.8 Grafik Perbedaan Rerata Denyut Nadi Istirahat, Denyut Nadi Kerja dan Nadi Kerja dari ketiga Perlakuan 76 .9 1 01. 4 24 .5 75 .8 102 .7 26 .9 78 .7 96. 8 18. 2 -10 10 30 50 70 90 110 130 DNI DNK NK D e nyut m e ni t