Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013

Seminar Nasional Pendidikan Dasar | 269

1. Guru Sebagai Pembangun Citra Diri Positif Peserta Didik.

Sepengatahuan penulis, banyak perilaku-perilaku guru yang dapat “membunuh” karakter peserta didiknya. Seorang guru hampir tidak pernah memberikan kata-kata pujian atau kata-kata positif. Contoh yang sering terjadi adalah guru mempermalukan peserta didik di depan kelas, memarahi bahkan menghukumnya. Contoh-contoh tersebut tentunya dapat berdampak negatif bagi peserta didik yang menjadikannya merasa tidak percaya diri, minder, dan merasa bodoh atau tidak berguna. Kisah Dame School, Amerika Serikat menjadi salah satu sekolah yang mendidik dengan membangun citra diri positif peserta didik. Dalam setiap penilaian peserta didik, Sekolah Dasar tidak memberikan nilai dalam bentuk angka, melainkan uraian. Alasan yang diberikan para guru adalah, kalau anak usia dibawah 9 tahun diberikan nilai angka, maka akan “memvonis” anak pintar, sedang, atau bodoh. Padahal anak pada usia tersebut masih terus berkembang kemampuannya. Dalam proses pembelajaran saat siswa telah menyelesaikan tugas, maka hasil dari tugasnya bisa diberikan tulisan bagus, bagus sekali, keren, hebat,dll. Dalam memeriksa hasilnya pun guru tidak mencoret hasil kerja peserta didik yang salah, tetapi dengan membetulkan dengan cara menuliskan jawaban yang benar disamping hasil kerja yang salah. Dalam setiap proses pembelajaran, peserta didik didorong untuk aktif berdiskusi, dan guru selalu memberikan komentar positif kepada setiap pendapat yang dilontarkan oleh peserta didik. Dengan cara seperti ini, peserta didik akan bersemangat untuk masuk sekolah Megawangi, 2004. Dari kisah Dame school dapat diambil kesimpulan, bahwa karakter yang akan muncul pada diri peserta didik adalah rasa percaya diri.

2. Mendidik dengan Mencelupkan Diri

Untuk membangun hubungan dan kedekatan dengan peserta didik maka guru harus mendidik dengan mencelupkan diri. Megawangi 2004, hal. 164 menjelaskan Seorang pendidik karakter yang berhasil adalah yang dapat mencelupkan dirinya secara menyeluruh ketika sedang mengajar, dapat mebangun hubungan personal dengan murid-muridnya, mempunyai kemampuan komunikasi secara efektif, mampu mengelola emosinya dengan baik, serta mampu menghidupkan suasana. Ketika guru sudah mencelupkan diri dan membangun hubungan emosi dengan peserta didik. Maka, peserta didik akan lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan guru. Setelah itu guru bisa mendiskusikan masalah- masalah moral dari kehidupan sehari-hari yang dapat membangkitkan rasa empati dan kepedulian peserta didik. Misalnya, cerita tentang seorang anak Membedah Anatomi Kurikulum 2013 | 270 yang bersekolah menggunakan sepeda karena jaraknya cukup jauh. Namun, pada hari itu anak tersebut kehilangan sepedanya. Padahal anak tersebut mendapatkan sepeda dengan susah payah karena orang tuanya tidak mampu dan harus menabung sekian lama. Kemudian, ajak berdiskusi tentang perasaan peserta didik jika mengalami hal tersebut. Maka, dengan cara ini peserta akan memiliki karakter peduli.

3. Guru Sebagai Model atau Tokoh Idola

Seorang filsuf Yunani bernama Aesop dalam Megawangi, 2004, hal.160 banyak menulis dongeng fabel yang sarat dengan pesan moral, Salah satu cerita yang menarik adalah T entang seekor kepiting bertanya kepada anaknya, “mengapa kamu berjalan menyamping seperti itu anakku? Seharusnya kamu berjalan lurus ke depan.”. Anak kepiting menjawab “tunjukan bagaimana caranya dulu bu, nanti aku akan menirunya.” Kepiting tua berusaha mencontohkan bagaimana berjalan lurus, tetapi tidak berhasil. Akrhinya ia menyadari betapa bodohnya ia selama ini karena hanya melihat kesalahan pada kepiting muda, padahal kesalahan tersebut justru berasal dari dirinya. Pesan moral yang bisa diambil adalah, bahwa kepiting tua di umpamakan sebagai guru, dan anak kepiting diumpamakan sebagai peserta didik. dalam pembelajaran guru sering kurang menyadari bahwa perilaku, perbuatan, dan tingkah lakunya selalu menjadi contoh bagi peserta didiknya. Apalagi dalam menanamkan karakter. maka guru tersebut harus terlebih dahulu memiliki perilaku dan perbuatan yang mencerminkan karakter. Sejalan dengan hal itu Megawangi 2004 menjelaskan untuk menjadi guru sebagai pendidik karakter tidak cukup dengan membekali mereka dengan teori dan seperangkat kurikulum saja tetapi juga menyangkut bagaimana seorang guru dapat menjadi idola bagi muridnya, sehingga setiap perkataan dan tingkah laku guru akan ditiru oleh peserta didik. Dalam hal ini guru bisa menanamkan karakter apapun dalam diri peserta didik, semisal guru ingin menanamkan karkater disiplin, maka sebagai guru harus lebih dulu berbuat disiplin. Jika ingin menanamkan karkater santun. Maka seorang guru bisa berprilaku santun juga dihadapan peserta didiknya. Sehingga apa yang dilakukan oleh guru tentang perbuatan yang berkarakter kemudian disampaikan kepada peserta didik, maka peserta didik akan dengan jelas mengerti dan bertindak seperti yang telah di lakukan dan di ucapkan oleh gurunya.