Perkembangan Konsep Pembangunan Rekayasa sistem pendukung keputusan intelijen untuk pengembangan agropolitan berbasis agroindustri
29 kerakyatan, berkelanjutan tidak merusak lingkungan dan terdesentralisasi
wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di
kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya on farm saja tetapi juga “off farmnya, yaitu usaha agribisnis hulu pengadaan sarana
pertanian, agribisnis hilir pengolahan hasil pertanian dan pemasaran dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar
masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD Deptan,
2003. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan menurut Deptan 2003,
adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan,
2. Penguatan kelembagaan petani, 3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis penyedia agroinput,
pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa, 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu,
5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia telah melakukan program rintisan
pengembangan agropolitan secara terpadu lintas sektor, yang melibatkan Departemen PertanianDeptan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
WilayahDepkimpraswil serta Departemen Dalam Negeri dan Otonomi DaerahDepdagriotda. Program tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu
kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan, perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura. Tujuan program rintisan pengembangan agropolitan adalah
meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, meningkatkan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis pada
daerah potensi sebagai kawasan pengembangan agropolitan Deptan, 2003.
30 Program pengembangan agropolitan tersebut dimulai dengan
ditetapkannya tujuh program rintisan oleh tim perencana departemen terkait seperti Deptan, Depkimpraswil, dan Depdagriotda sebagai berikut: 1 Kabupaten
Agam Sumatera Barat dan Kabupaten Barru Sulawesi Selatan sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis peternakan, 2 Kabupaten Bangli Bali dan
Kabupaten Kulonprogo DIY sebagai wilayah agropolitan berbasis agroindustri perkebunan, 3 Kabupaten Cianjur Jabar dan Kabupaten Rejang Lebong
Bengkulu sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis hortikultura, dan 4 Kabupaten Boalemo Gorontalo sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis
tanaman pangan. Selanjutnya diharapkan secara bertahap dan berjangka panjang kawasan agropolitan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain di seluruh
Indonesia sesuai potensi dan sumberdaya yang dimiliki Ditjen Bina Produksi Peternakan Deptan 2003. Pada tahun 2003, jumlah daerah yang dikembangkan
telah mencapai 52 kabupaten di 29 propinsi. Tiga belas kabupaten mengembangkan program tanpa fasilitas pemerintah atau swadana Departemen
Pertanian, 2002. Pada Februari 2006, terdaftar 98 kabupaten dari 31 propinsi yang mengembangkan kawasan Agropolitan Deptan 2007.
Menurut Djakapermana 2003, pengembangan kawasan agropolitan tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional RTRWN
dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi RTRW Propinsi dan Kabupaten RTRW Kabupaten. Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan
kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional RTRWN, maka pengembangan kawasan agropolitan harus
mendukung pengembangan kawasan andalan.