18
mengecil dan sektor industri semakin besar. Data dari World Bank 1994 menunjukkan pada tahun 1971 pangsa sektor pertanian terhadap GDP sebesar 33
persen, sedangkan tahun 1990 menurun menjadi 19,5 persen. Sebaliknya sektor industri dan jasa mengalami peningkatan dari 35,9 persen menjadi 54,50 persen.
Menurut Todaro 2000, kesadaran akan pentingnya pertanian di kalangan negara-negara dunia ketiga telah dimulai tahun 1970-an dan terus berlangsung
hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat salah satunya di negara Thailand. Thailand telah memprioritaskan pembangunan pertanian dengan mendirikan Bank for
Agricultural Cooperative BAAC sejak tahun 1966, dimana bank di atas melayani 80 persen petani Thailand dengan bunga rendah 9 – 12 persen per
tahun. Sejak 1976 Thailand sudah memiliki Marketing Organization for Farmer
MOF yang memiliki sejumlah pasar produk pertanian segar. Dalam skala besar, sejak 1996 Thailand telah membangun Pasar Produk Taalad Thai, yaitu sebuah
pasar produk pertanian terbesar dan terlengkap di Asia. Terminal ini merupakan tempat ideal bagi berlangsungnya transaksi antara penjual dengan pembeli
domestik dan ekspor produk pertanian. Dokumen dan sertifikat ekspor selesai di tempat ini dalam tempo satu dua jam. Hasil pertanian yang dijual di tempat ini
sudah melalui seleksi yang ketat dan dengan harga yang relatif rendah. Jaraknya 42 km dari Bangkok, sekitar 15 menit dari Bandara Internasional Don Muang dan
setengah jam ke pelabuhan. Petani yang memanfaatkan terminal yang beropersi 24 jam tersebut datang dari berbagai penjuru Thailand Abinowo 2000.
Australia Barat melakukan pengembangan pertanian kolektif yang menyebabkan pembangunan pertaniannya dapat berkembang secara pasti.
Pengembangan pertanian kolektif ini melalui rekayasa sosial yang melibatkan petani dari bawah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam rekayasa teknologi
serta didukung pusat data informasi. Hal tersebut menyebabkan pola tanam masing-masing komoditi diatur berdasarkan kebutuhan pasar dan setiap kelompok
kolektif mengembangkan produk unggulan masing-masing sehingga posisi tawar kelompok kolektif dalam menentukan harga menjadi sangat bagus Abinowo
2000.
19
Daya saing dicirikan oleh tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta kemampuan menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan memberikan
pelayanan kepada konsumen secara lebih memuaskan. Sistem yang berkerakyatan dicirikan oleh berkembangnya usaha produktif yang melibatkan
masyarakat secara luas baik dalam peluang berusaha, kesempatan kerja, maupun dalam menikmati nilai tambah pendapatan. Berkelanjutan diartikan sebagai
kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya agribisnis yang semakin besar dari waktu ke waktu, semakin mensejahterakan masyarakat, baik secara
ekonomis, sosial dan lingkungan hidup. Desentralistis diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuai dengan kondisi wilayahnya
atas dasar keunggulan komparatif dan aspirasi masyarakat setempat. Keterpaduan sistem agribisnis dapat dikaji dari dua aspek yaitu integrasi
vertikal dan koordinasi vertikal. Integrasi vertikal adalah melaksanakan kegiatan dari setiap subsistem dan alokasi sumberdaya, pengambil keputusan pada satu
tangan, yaitu suatu perusahaan agribisnis atau satu induk usaha holding company. Koordinasi vertikal mengandung makna bahwa pengambilan
keputusan tersebut berada pada satu kesatuan, tetapi tidak perlu dalam satu perusahaan.
Secara swadaya masyarakat Indonesia juga telah menyadari pentingnya pertanian. Hal ini dibuktikan salah satunya dengan dibangunnya Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu SPAT di Pasuruan, Jawa Timur. SPAT merupakan perwujudan konsep pertanian terpadu Integrated Farming, mulai
dikembangkan pada tahun 1997 di dusun Parelegi, Desa Purwodadi, Kab Pasuruan yang ditandatangani prasastinya oleh Menpora saat itu Agung Laksono.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Terpadu, Pusat Data dan Informasi, Pusat Kajian dan Strategi Gerakan Pembangunan Desa, Pusat Pengembangan Teknologi Tepat
Guna TTG, dan pembentukan Pusat Kajian Pembiayaan Investasi, dan pembentukan Terminal Agribisnis, merupakan program-program yang telah
tersusun dalam SPAT Abinowo 2000.
20
2.5 Pembangunan Wilayah Berbasis Pertanian
Wilayah dalam konteks pertanian menunjukkan kehomogenan wilayah. Konsep wilayah homogen didasarkan pada pendapat bahwa wilayah-wilayah
geografik dapat dikaitkan bersama-sama menjadi suatu wilayah tunggal apabila wilayah tersebut dapat mempunyai ciri-ciri yang seragam Wibowo 1993.
Proyek-proyek tersebut menghabiskan dana milyaran rupiah, namun hasilnya tidak memuaskan, karena banyak petani kembali ke pola teknologi
semula. Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai penyebabnya adalah teknologi yang digunakan tidak tepat guna, perencanaan tidak terkoordinasi, dan
pengawasan yang kurang. Beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dalam penyusunan paket teknologi sehingga tidak diadopsi oleh petani adalah a paket
teknologi lebih berorientasi pada bantuan teknis yang bertujuan pada keberhasilan output bukan proses perubahan pembangunan itu sendiri, dan b Paket teknologi
tidak mencerminkan conflict resolution, misalnya antara petani hulu dan masyarakat hilir. Berdasarkan hal tersebut, maka diketahui bahwa pembangunan
yang tidak menyentuh perubahan sosial dan hanya mengandalkan perubahan fisik technological change sering mengalami kegagalan.
Hasil tinjauan mengenai proyek-proyek konservasi di DAS Hulu yang dilakukan oleh Prawiradiputra 1995, menunjukkan beberapa upaya telah
dilakukan untuk memperbaiki kondisi DAS hulu sekaligus memperbaiki pendapatan petani melalui beberapa proyek, antara lain: a Proyek DAS Solo
sebagian hulu tahun 1970, b Program reboisasi dan penghijauan tahun 1976, c Program Kali Konto tahun 1979, d Yogyakarta Rural Development Project tahun
1979, e Proyek DAS Citanduy bagian hulu tahun 1982, f Proyek DAS Jratunseluna dan Barantas tahun 1985, g Proyek Wonogiri tahun 1988, h
Yogyakarta Upland Area Development Project tahun 1990, serta I National Watershed Management and Conservation Project tahun 1995.
Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan sustainable Agricultural Development yang memandang pembangunan masyarakat perdesaan sebagai
perubahan sosial sosial change harus diperhatikan dalam mengembangkan proyek kawasan pertanian. Pengembangan semberdaya manusia dan
kelembagaan lokal sangat penting bagi pembangunan pertanian berkelanjutan
21
karena peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kapabilitas kelembagaan dapat meningkatkan akses masyarakat perdesaan terhadap sumber daya.
Meskipun telah memberikan hasil, namun menurut pengakuan petani dan masyarakat di sejumlah daerah, hasilnya belum memuaskan. Pembangunan
pertanian selama ini hanya bertumpu pada sisi produksi sub-sistem budidaya harus dirubah pada pembangunan sistem dan usaha agribisnis, dimana seluruh
sub-sistem agribisnis budidaya, sarana prasarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan jasa, semuanya dilakukan secara simultan dan harmonis.
Model pengembangan agribisnis one village one product movement OVOP yang melibatkan masyarakat lokal dan memanfaatkan sumberdaya lokal
dalam pembangunan wilayah dikembangkan oleh Morihiro Hiramatsu seorang gubernur dari OITA, Jepang sejak tahun 1979. Konsep one village one product
movement yang dapat dijelaskan dengan paradigma resource based strategy, merupakan konsep yang dapat meningkatkan daya saing berdasarkan kompetensi
inti pada setiap kabupaten atau kota. Hal ini sejalan dengan kondisi negara Indonesia yang memiliki sumberdaya unggulan comparative advantage dari
hasil migas, produk kayu, hortikultura, flora dan fauna yang bersifat tangible sebagai cikal bakal mewujudkan strategi resource based approach.
Lima konsep one village one product movement adalah sebagai berikut: 1 mengidentifikasi kemampuan sumberdaya lokal yang berpotensi tinggi dalam
mengaktualisasi pengembagan wilayah, 2 nilai tambah berada pada keunikan produk daerah, 3 meningkatkan saya saing produk tersebut melalui perbaikan
kualitas dan keunikannya, kreativitas dan inovasi oleh penduduk lokal, 4 membuat satu atau dua produk, dan 5 kepemimpinan yang baik Huseini 1999;
Syafa’at 2003; OVOP 2010. Pemerintah Thailand telah mempromosikan industri lokal yang produknya
berbasiskan sumberdaya, budaya dan tradisi lokal. Program tersebut disebut One Tambon One Product OTOP, karena target wilayah secara unit administratif
dinamakan Tambon. Tujuan program Thai OTOP adalah: 1 membangun sistem database yang menyeluruh yang dapat mengakomodasi informasi penting pada
setiap Tambon di Thailand, 2 mempromosikan produk lokal Thailand untuk setiap Tambun dan memfasilitasi proses jual-beli, 3 membawa teknologi internet
22
ke perdesaan, 4 membantu meningkatkan promosi turisme tingkat Tambon, dan 5 membantu penduduk perdesaan memperoleh informasi, gagasan dan
peningkatan komunikasi antar Tambun OTOP 2010. Malaysia juga telah mengembangkan Agropolitan yang telah menelan
biaya RM 1 milyar dan diharapkan dapat mengentaskan 10,000 keluarga miskin. Pusat pertumbuhan ekonomi Agropolitan Malaysia berorientasikan pertanian dan
peternakan yang dilengkapi oleh industri kecil dan sederhana IKS. Konsep agropolitan tersebut akan meningkatkan pembangunan perdesaan yang tertinggal.
Pembangunan di bawah program juga akan didukung oleh pembangunan infrastruktur air, elektrik, jalan raya dan rumah untuk wilayah target,
pembangunan ekonomi melalui ladang komersial dan sampingan, peternakan dan perikanan, pembangunan sumberdaya manusia melalui penyediaan taman asuhan
kanak-kanak taska, taman bimbingan kanak-kanak tabika, pendidikan dan pelatihan. Empat kawasan perintis program agropolitan di Malaysia adalah Pulau
Banggi, Sabah, Rancangan Kemajuan Tanah RKT, Kemajuan Kelantan Selatan Kesedar, Kelantan, Wilayah Ganda, Gerik, Perak dan Gahai, Lipis, dan Pahang
SABAH 2010. Jinju City Korea Selatan, merupakan wilayah yang unggul secara
geografis, menjadi pusat pendidikan tetapi tetap menjaga lingkungan hidup dan budaya di Propinsi Gyeongnam. Pengembangan wilayah Gwangyangman yang
berorientasi industri masa depan, membangun industri bio pada Jinju City yang memiliki potensi tidak terbatas bagi pengembangan kawasan agropolitan. Kota di
atas memiliki luas 712,9 km2 dengan populasi 350.000 orang yang memiliki 618 industri manufaktur, 12 000 tenaga kerja, satu kompleks industri lokal dan empat
kompleks industri pertanian. Jinju City adalah Kawasan agropolitan yang indah dan lingkungan yang alami serta didasari oleh pembangunan perkotaan
Jinju City 2010.
2.6 Perkembangan Konsep Pembangunan
Berdasarkan uraian mengenai konsep pembangunan, pembangunan perdesaan dan pembangunan pertanian sebelumnya, maka perkembangan masing-
masing konsep dan interaksinya dengan konsep lain dapat dilihat pada Tabel 4.
23
Masing-masing pembangunan memiliki karakteristik pendekatan bottom up, kombinasi maupun top down.
Tabel 4. Perkembangan konsep pembangunan
Top down Kombinasi
Bottom up
Pembangunan
Development from above Local Economic
Development LED Blakely 1998
Development from below
Supply side development Sustainable development
Demand side development
Pembangunan perdesaan
Model Terpusat Growth pole
Agropolitan Friedmann dan Douglass 1976;
Anwar 1999; Harun 2004; Suwandi 2005
Model Network Regional Cluster
Douglass 1998
Pembangunan kawasan pertanian
KUNAK, KUBA, SPAKU, KIMBUN, PIR-PLASMA,
SAADP Rivai 2003; Rustiadi Pranoto 2007
PARUL Rustiadi Pranoto 2007
OVOP, OTOP
Beberapa program pengembangan kawasan pertanian di Indonesia adalah program DAS Hulu, program pengembangan Kawasan Usaha Peternakan
Kunak, Kawasan Usaha Bersama Agribisnis Kuba untuk komoditi tertentu di beberapa daerah, atau sentra Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan
SPAKU, Kimbun, PIR-Plasma, corporate farming, Kawasan Sentra Produksi KSP, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu KAPET, Kawasan Andalan
KADAL, Poverty Alleviation trough Rural – Urban Linkages Program PARUL, Program pengembangan kawasan tertinggal KATING, Program
Bimas, Program kawasan Industri Masyarakat Perkebunan KIMBUN, Program Penyediaan Prasarana dan Sarana Perdesaan PPSD, Program Pengembangan
Kecamatan PPK, Proyek Pengembangan Wilayah Bebasis Pertanian SAADP Rivai 2003; Rustiadi Pranoto 2007. Program kawasan yang dikembangkan
tersebut untuk mensinergikan berbagai program baik yang berasal dari pusat, propinsi dan kabupatenkota pada kawasan andalan yang ditetapkan daerah,
namun secara umum masih didominasi oleh teori pusat pertumbuhan growth pole dan strategi pembangunan dari sisi pasokan supply side.
3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI
3.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan
Menurut Mercado 2002 dan Nurzaman 2005, Agropolitan development adalah salah satu bentuk konsep pembangunan dari bawah yang dapat
menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan pendekatan growth pole
. Menurut Douglass 1998b dan Hastuti 2001, pendekatan growth pole
menginspirasikan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan, dan diharapkan dengan terbentuknya pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi proses
penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang trickle down process dan pemerataan akan terjadi secara “otomatis” dari kutub-kutub pertumbuhan ke
daerah belakang tersebut hinterland. Namun kenyataannya penetesan pembangunan tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang
dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran massive backwash effect. Menurut Stohr 1981, untuk menghindari backwash effect dari wilayah
yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya selective spatial closure. Berbagai keputusan,
baik dalam pemilihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat.
Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh penduduk setempat.
Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan polis. Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai
kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena
berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian agribisnis di wilayah
sekitarnya. Menurut Anwar 1999, secara kumulatif, dengan adanya agropolitan
maka akan tercipta berbagai peluang dalam pengembangan wilayah seperti tumbuhnya industri yang berbasis pada pertanian, peningkatan produk lokal dan
permintaan akan barang-barang lokal, penyerapan tenaga kerja, dan berbagai
26 keuntungan lain. Proses kumulatif dari perkembangan wilayah dengan pusat
pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses kumulatif dari pertumbuhan suatu wilayah yang didukung oleh suatu tempat pemusatan Anwar 1999.
Menurut Soenarno 2003, kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa, yakni
dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan Gambar 3. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
pemukiman nasional dan sistem pemukiman pada tingkat propinsi dan kabupaten.
Keterangan:
Penghasil bahan baku Batas kawasan lindung
Pengumpul bahan baku Batas kawasan agropolitan
Sentra produksi DPP
Desa pusat pertumbuhan Kota kecilpusat regional
Jalan dukungan sarana Kota sedangbesar
prasarana
Gambar 3 Konsep pengembangan kawasan agropolitan Soenarno 2003
PasarGlobal
DPP DPP
DPP Perusahaan industri baru
yang memilih lokasi pada tempat di wilayah perdesaan
tertentu
Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja
Peluasan produk-produk perusahaan lokal
Peningkatan keuntungan aglomerasi pada suatu
agropolitan Peningkatan lapangan kerja dan
pendapatan penduduk
Peningkatan permintaan akan barang dan jasa
lokal Perluasan sektor
jasapelayanan Peningkatan prasarana
lokal Peningkatan keuntungan
kepada pemerintah lokal
27 Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian sentra
produksi pertanian yang memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian
tersebut termasuk kotanya disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota
perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan atau wilayah sekitarnya
melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha
pertanian on farm dan off farm, industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain.
Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah desakelurahan, kecamatan, kabupaten tetapi lebih
ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Oleh karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal
dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi
satu wilayah Desakelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupatenkota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah
kabupatenkota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa, kota nagari, kota kecamatan, kota kecil atau kota menengah.
Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut Friedmann Douglass 1976; Friedmann 1996; Soenarno 2003;
Ferrario 2009: 1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari
kegiatan pertanian agribisnis. 2. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan
pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian termasuk perdagangan untuk
kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu sarana pertanian dan permodalan, agrowisata dan jasa pelayanan.