31 kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam
pengembangan agropolitan. Pengembangan infrastruktur fisik di kawasan agropolitan dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan, agar tidak terjadi
penyimpangan terhadap tujuan pengembangan kawasan agropolitan. Harun 2004 dan Suwandi 2005, mengemukakan bahwa ditinjau dari
aspek tata ruang maka secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Orde yang paling tinggi kota tani utama dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar sebagai:
- Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah nasional dan internasional dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki
pelabuhan samudra - Pusat berbagai kegiatan pabrikasi final industri pertanian packing, stok
pergudangan dan perdagangan bursa komoditi - Pusat berbagai kegiatan tertier agrobisnis, jasa perdagangan, asuransi
pertanian, perbankan dan keuangan - Pusat berbagai pelayanan general agroindustry services
2. Orde kedua pusat distrik agropolitan yang berfungsi sebagai: - Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir
dan pergudangan komoditi sejenis - Pusat kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan
setengah jadi serta kegiatan agrobisnis - Pusat pelayanan agroindustri khusus special agroindustry services,
pendidikan, pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan. 3. Orde ketiga pusat suatu kawasan pertanian
- Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian - Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah
industri - Pusat penelitian, pembibitan, dan percontohan komoditi
- Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian - Koperasi atau badan usaha milik petani dan informasi pasar barang
perdagang
32
3.4 Agroindustri
Agroindustri memiliki peranan strategis dalam upaya pemenuhan bahan kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan
produksi dalam negeri, perolehan devisa, pengembangan sektor ekonomi lainnya, serta perbaikan perekonomian masyarakat di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik dari industri ini yang memiliki keunggulan komparatif berupa penggunaan bahan baku yang berasal dari sumberdaya alam yang tersedia di
dalam negeri IKAH Depperindag 2004. Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung
dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penigkatan
produktivitas faktor. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendaoatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan, sedangkan
peran secara tidak langsung adalah melalui sektor nonpertanian. Pembangunan agroindustri pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan
melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan. Komponen yang
mempengaruhi produktivitas faktor diantaranya adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, penelitian dan pengembangan, kepadatan
populasi perdesaan, serta perubahan teknologi Susilowati et al. 2007; Misra 2007.
Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui
berbagai produk olahannya. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama, industrialisasi perdesaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
yaitu: berlokasi di perdesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dimiliki oleh penduduk desa,
padat tenaga kerja, tenaga kerja berasal dari desa, bahan baku merupakan produksi desa, dan produk yang dihasilkan terutama dikonsumsi pula oleh penduduk desa
Simatupang Purwoto 1990. Peran agroindustri sebagai suatu kegiatan ekonomi yang diharapkan
mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat relevan dengan permasalahan
33 ketenagakerjaan saat ini, terutama beban sektor pertanian yang menyerap sekitar
46 persen dari total angkatan kerja dan adanya indikasi tingkat pengangguran terbuka dan terselubung yang semakin meningkat Rusastra et al. 2005;
Wilkinson Rocha 2009. Peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pada tahun
2001 pangsa nilai tambahnya dalam industri non migas sebesar 80,70 persen, kesempatan kerja 74,90 persen, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23.
Pada tahun 2004 dari industri makanan saja belum termasuk agroindustri non makanan dapat menyumbang nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja masing-
masing sebesar 23,3 dan 21,4 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa agroindustri yang bergerak di sektor makanan, perikanan, peternakan, dan
perkebunan merupkan sektor komplemen yang dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Sektor agroindustri
merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian Supriyati Suryani 2006; BP2HP Deptan 2001. Menurut Susila dan Setiawan 2007, industri
berbasis perkebunan memberi kontribusi 3,2 persen dari PDB nasional dan menyediakan lapangan kerja sebesar 16,6 juta orang.
Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperlihatkan bahwa pada tahun 1999 terdapat 2.075 unit usaha agroindustri skala menengah dan besar,
yang menyerap tenaga kerja sebesar 950.000 orang dengan nilai produksi sebesar Rp 41 trilyun dan nilai ekspor 3 milyar. Namun selama ini sektor agroindustri
kurang menunjukkan perkembangan berarti yang terlihat dari jumlah perusahaan agroindustri makanan skala besar dan sedang yang hanya bertambah 34
perusahaan atau 0,74 persen selama sepuluh tahun terakhir IKAH Depperindag 2004. Agroindustri yang menonjol pada saat itu adalah minyak sawit, minyak
kelapa, kalengan ikan, produk kakao, margarin, confectionery, buah-buahan kalengan, Mono Sodium Glutamat MSG, pakan ternak dan rokok.
Pemberdayaan masyarakat tani dan perdesaan sangat erat kaitannya dengan upaya penumbuh-kembangkan usaha produktif di tingkat rumah tangga
yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi petani. Selama ini pangsa pasar share usaha pertanian terhadap pendapatan rumah tangga perdesaan sebesar
60,45 persen sebagian besar 54,35 persen berasal dari kegiatan on-farm, dan
34 hanya 6,10 persen saja yang berasal dari kegiatan off-farm Balitbang PSE Deptan
dan Bank Dunia, 2000 di dalam BP2HP Deptan, 2001. Menurut Susilowati 2007, kebijakan di sektor agroindustri non makanan
akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan di sektor agroindustri makanan. Sebaliknya kebijakan di sektor agroindustri
makanan akan menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar. Kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri akan berdampak
lebih besar meningkatkan pendapatan rumah tangga, menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, jika
dialokasikan di sektor agroindustri prioritas industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan industri pengolahan
makanan sektor perikanan. Kendala kendala dalam pengembangan agroindustri adalah: 1 kontinuitas
produk pertanian kurang terjamin, karena tidak adanya kepastian pemanfaatan lahan usaha yang sesuai hak guna usaha dan rencana umum tata ruang serta
adanya kesenjangan pengembangan wilayah 2 kualitas bahan baku dan produk olahannya rendah karena kemampuan sumberdaya manusia terbatas, 3 informasi
dan teknologi yang digunakan sebagian besar masih relatif sederhana dan masih tergantung pada lisensi 4 kemitraan belum berkembang secara luas antara
agroindustri skala sedangbesar dengan agroindustri skala kecilrumah tangga maupun antara hulu dan hilir, 5 investasi di bidang agroindustri kurang
berkembang karena ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan, sumber dana investasi terbatas serta lembaga keuangan menerapkan suku bunga yang sama
untuk semua sektor IKAH Deperindag 2003 dan 2005; Supriyati Suryani 2006.
3.5 Agroindustri Hortikultura
Kegiatan-kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian pada umumnya masih sangat kurang. Komoditi pertanian pada
umumnya dipasarkan dalam bentuk primer belum diolah, sehingga bernilai rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga. Ekspor pertanian pun lebih banyak