8
2.2 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Zen 1999, mendifinisikan pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi dengan
memperhatikan daya tampung lingkungan untuk pemebrdayaan masyarakat. Menurut Nachrowi dan Suhandojo 1999, terdapat tiga komponen wilayah yang
harus diperhatikan dan disebut sebagai tiga pilar pengembangan wilayah yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi.
Pembangunan atau pengembangan adalah suatu kata yang mulai populer pada masa sesudah Perang Dunia II merupakan keinginan untuk melakukan
perubahan sosial sosial change yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan tujuan demi eksistensi dan perbaikan kualitas hidup
berdasarkan dengan kemampuan yang dimiliki untuk merealisasikannya Streeten 1981; Syafa’at et al. 2003; Zen 1999. Pada saat itu, tingkat Pendapatan
Domestik Bruto PDB merupakan indikator yang sangat praktis yang dipakai untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan. Pembangunan diharapkan
secara otomatis akan menetes ke wilayah atau golongan yang ekonominya kurang setelah tercapai tingkat PDB tertentu Singer 1981. Pembangunan akan
tercapai dengan sendirinya setelah suatu negara terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi dan berkembang melalui industrialisasi Misra 1981.
Tetapi ternyata peningkatan PDB saja tidak dapat menunjukkan telah terjadi pembangunan. Peningkatan PDB tidak dapat menghilangkan kesenjangan antara
kaya dan miskin maupun mengurangi kemiskinan. Pada saat ini pembangunan tidak hanya diukur dari kenaikan PDB atau
pendapatan per kapita seperti pada era 19501960. Pemerataan juga merupakan faktor yang harus diperhatikan karena trickle down effect tidak otomatis berjalan
begitu saja Singer 1981. Pembangunan berarti penciptaan kehidupan kaya dalam arti luas, di mana tercakup di dalamnya kemampuan semua orang untuk
mendapatkan barang yang lebih baik, lebih banyak dan lebih berharga bagi kehidupannya, hormat terhadap orang lain dan dirinya sendiri dan bebas dari
segala bentuk tirani Misra1981; Todaro 2001. Berdasarkan sisi lain dari hasil pembangunan, kemudian tumbuh alternatif
konsep lain seperti pembangunan dari bawah development from below.
9
Berlawanan dengan pembangunan dari atas development from above yang hanya dapat bekerjasama dengan modal asing dan pemerintah yang memihak
kepentingan asing untuk industrialisasi Hansen 1981, pembangunan dari bawah mengandalkan sepenuhnya pada sumberdaya alam dan keahlian setempat.
Konsep pembangunan dari bawah jauh lebih tepat diterapkan pada wilayah yang kecil. Meskipun keberhasilan menaikkan PDRB mungkin agak lambat,
tetapi pemerataan akan jauh lebih baik, serta aspirasi masyarakat akan lebih dihargai. Beberapa negara telah menerapkan konsep tersebut seperti Cina dan
Thailand Douglass 1981. Konsep tersebut memberikan hasil yang lebih baik bila terdapat pemerintahan yang lebih demokratis dan tidak terlalu sentralistis. Peru
yang memiliki pemerintahan militer yang teknokratis, mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep ini Hilhorst 1981.
Pada saat pengembangan lebih banyak dinyatakan hanya dengan ukuran Pendapatan Domestik Bruto PDB, konsep pengembangan yang populer adalah
konsep pusat pertumbuhan. Perkembangan konsep-konsep alternatif selanjutnya terkait dengan perkembangan falsafah atau pola pemikiran mengenai
pengembangan. Kedudukan dan pandangan setiap konsep dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Konsep Perencanaan wilayah vs perubahan pemikiran mengenai pembangunan Pergeseran sistem
nilai dunia
Lingkungan pembangunan
berkelanjutan
Globalisasi kaitan dengan wilayah dan negara lain
Top down Growth Pole
Kurang demokratis: lebih menekankan
kepentingan industri Lingkungan bisa
dikalahkan oleh tujuan pertumbuhan
- perkembangan mega urban - kesenjangan antar wilayah
- tumbuhnya wilayah terpinggirkan
Bottom up “Agropolitan”
Lebih demokratis: lebih menekankan
kepentingan rakyat Aspek lingkungan
sustainable lebih mendapat perhatian
- wilayah perdesaan menjadi basis perkembangan
- hubungan dengan wilayah luar dibatasi
Sumber: Nurzaman 2005
Pembangunan ekonomi yang sentralistis top-down mengakibakan terjadinya disparitas ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Kebijakan
pembangunan yang top-down, dimana pemerintah pusat cenderung terlalu banyak turut campur tangan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah akan
10
mengakibatkan perekonomian daerah tidak berakar kuat Syahrani 2001; Nurzaman 2005.
Selain penekanan yang bergeser dari hanya PDB atau PDRB ke hal yang lebih bersifat pemerataan dan kesejahteraan manusia, persepsi pembangunan juga
memberikan perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan Sunkel, 1981. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya paham pembangunan yang berkelanjutan
atau sustainable development, yaitu maksimasi keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi, dengan tetap memperhatikan tercapainya jasa serta
kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu. Jasa dan kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu tersebut dapat dicapai dengan: 1 pemakaian sumberdaya
terbarukan dalam tingkat yang lebih rendah atau sama dengan tingkat pembaruan sumberdaya alam tersebut, dan 2 mengoptimalkan efisiensi dalam pemakaian
sumberdaya alam tidak terbarukan dengan memperhatikan substitusi antara sumberdaya alam dengan kemajuan teknik Pearce Turner 1990.
Pembangunan berkelanjutan sustainable development didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development sebagai “pembangunan
untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Konsep
pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992.
Pendekatan perencanaan wilayah lainnya menurut Glasson dan Marshal 2007; Puradimaja et al. 2007; Rustiadi dan Pranoto 2007, adalah a Supply
side: berdasarkan analisis kapasitas; b Demand side: berdasarkan analisis kebutuhan; c Sustainable approach: keseimbangan antara supply side dan
demand side.
Tujuan pembangunan harus memuat tiga hal, yaitu: 1 pertumbuhan growth, 2 keberlanjutan sustainability dan 3 pemerataan equity Syafa’at et
al. 2003. Tidak mungkin dilakukan pemerataan tanpa adanya pertumbuhan, dan tidak mungkin pula dipertahankan keberlanjutan pembangunan tanpa adanya
pemerataan. Salah satu pembangunan sektoral yang sangat mendukung pengembangan ekonomi rakyat adalah pembangunan pertanian.
11
2.3 Pembangunan Desa dan Kota
Menurut Douglass 1998a, hubungan saling ketergantungan antara desa dan kota dalam perencanaan wilayah dapat dilihat pada Tabel 2. Kota pada
wilayah perkotaan bertindak sebagai pusat pasar dari pertanian dan komoditi pedesaan untuk kedua wilayah dan wilayah lainnya dalam penjualan dan
distribusi. Pusat kota tidak akan berfungsi sebagai pusat pemasaran tanpa produk perdesaan yang laku di pasaran, hal ini menunjukkan desa dan kota memiliki
hubungan yang saling tergantung. Untuk memperluas produksi perdesaan diperlukan jaringan pemasaran yang disediakan oleh kota dan sistem perkotaan,
tetapi tanpa pertanian dan proses berbasis pertanian yang terus menerus, kota perdesaan tidak akan berkembang.
Tabel 2 Hubungan perkotaan dan perdesaan serta saling ketergantungannya Perkotaan
Perdesaan
Perdagangan pertanian pusat transportasi
Produksi pertanian Jasa pendukung pertanian
- Input produksi - Jasa perbaikan
- Inovasi: metode informasi dan
produksi Intensifikasi pertanian
- Infrastruktur perdesaan
- Insentif produksi
- Pendidikan dan pelatihan untuk
adopsi inovasi Non pertanian: pasar konsumen
- Proses produk pertanian - Jasa perorangan
- Jasa umum kesehatan, pendidikan,
administrasi Pendapatan dan kebutuhan perdesaan
barang-barang non pertanian dan jasa
Industri berbasis pertanian Produksi panen tunai dan diversifikasi
pertanian Lapangan pekerjaan non pertanian
Sama dengan di atas Sumber: Douglass, 1998a
Selanjutnya Douglass 1998a menambahkan konsep regional network cluster merupakan pendekatan baru dalam pembagunan perdesaan, yang dapat
dibangun berdasarkan sumberdaya lokal dan hubungan kota-desa. Tabel 3 menunjukkan bagaimana growth pole terfokus pada industri perkotaan sebagai
sektor unggulan dalam pengembangan wilayah, sedangkan pendekatan regional network mengakui banyak sektor lokal dalam pembangunan wilayah perdesaan
dan mengakui peran sumberdaya wilayah perdesaan dan aktivitas yang sudah ada cukup bagi pembanguanan lokal untuk mendorong desentralisasi industri
footloose dari pusat wilayah.