Sejarah praperadilan di Indonesia

145 Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri. Ia hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan atas tugas yang telah ada. Selama ini tugas pokok, wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri adalah mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata. Melengkapi tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang pemeriksaannya diberikan lewat praperadilan. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang menegaskan praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus: sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Maksud dan tujuan yang hendak diwujudkan dari lembaga Praperadilan adalah demi tegak dan dilindunginya hukum serta perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

14. Sejarah praperadilan di Indonesia

Sejarah Praperadilan tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukkan hukum acara pidana nasional yang menggantikan Herziene Indonesisch Reglement HIR warisan kolonial Belanda Bermula dari Seminar Hukum Nasional II 1968 di Semarang yang secara khusus membahas Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia. Hasil–hasil seminar tersebut kemudian menjadi titik tolak penyusunan Rancangan KUHAP yang dimulai pada 1973 oleh Panitia Intern Departemen Kehakiman dan dibahas bersama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan Polri. Pada 1974, Rancangan KUHAP disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Kabinet dan oleh Sekretaris Negara rancangan tersebut 146 dimintakan pendapat ke Mahkamah Agung, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Polri, dan Departemen Kehakiman. Setelah dibahas dalam rapat koordinasi antar wakil-wakil instansi tersebut pada 12 September 1979 Rancangan KUHAP disampaikan ke DPR dengan Amanat Presiden No. R 06P.UIX1979. 149 Namun, Rancangan KUHAP yang disusun oleh tim pemerintah ini menuai kritik keras terutama dari Persatuan Advokat Indonesia PERADIN dan Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP 150 yang menganggap bahwa RUU itu jauh lebih buruk daripada HIR yang akan digantikannya. Komite Aksi Pembela Pancasila dan PERADIN melakukan pertemuan dengan Tim Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman Mudjono, S.H. Tim mendesak pemerintah mencabut Rancangan KUHAP yang baru tersebut. Pemerintah menolak mencabut Rancangan, tetapi menyetujui untuk membuat Rancangan KUHAP yang baru bersama-sama DPR dengan masukan dari Komite Aksi Pembela Pancasila, PERADIN, dan lembaga-lembaga sejenis. Setelah melalui perdebatan selama lebih dari dua tahun, pada 31 Desember 1981 Presiden kemudian mengesahkan Rancangan KUHAP menjadi UU No. 8 Tahun 1981. Salah satu hal baru dalam KUHAP adalah praperadilan. Praperadilan diperkenalkan untuk menggantikan model Hakim Komisaris yang ada dalam Rancangan KUHAP versi Pemerintah pada saat itu. 151 Menurut Adnan Buyung Nasution praperadilan terinspirasi dari Habeas Corpus Act yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas kemerdekaan. 152 149 Yahya Harahap, dalam Op. Cit., Pembahasan..., hal. 23. 150 Komite ini merupakan aliansi yang dibentuk oleh YLBHI, LBH – LBH Kampus, Akademisi, dan wakil – wakil pers. Lihat Adnan Buyung Nasution, Pra Peradilan Versus Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, Newsletter Komisi Hukum Nasional, April 2002. 151 Ibid. 152 Ibid. 147 Habeas Corpus Act adalah UU yang disahkan oleh Parlemen Inggris pada 1679 untuk mendefi nisikan dan memperkuat writ of habeas corpus yang telah dipraktikkan setidaknya tiga abad sebelumnya di Inggris. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya untuk membuktikan penahanan tersebut tidak melanggar hukum dan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar- benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan hak-hak asasi manusia. Surat perintah Habeas Corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan kepada pihak yang sedang menahan polisi atau jaksa melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus the writ of habeas corpus adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya ”. 153 Namun demikian, menurut Loebby Loqman, ada perbedaan antara praperadilan dengan Habeas Corpus yaitu: 1. Pada praperadilan, hakim yang mengadili perkara praperadilan memeriksa sebelum sidang biasa di pengadilan, sedangkan habeas corpus , hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan dalam sidang biasa. 2. Dalam praperadilan, kewenangannya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa dalam hukum acara pidana, sedangkan Habeas Corpus, lebih luas dalam arti permohonan dikeluarkannya surat perintah Habeas Corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan. 154 153 Ibid. 154 Loebby Loqman, Op.Cit., PraPeradilan, hal. 56. 148

15. Hukum acara dan proses pemeriksaan praperadilan