1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang penelitian
Hukum acara pidana memiliki karakteristik otoritas yang unik dan sah secara hukum untuk menjalankan upaya-upaya koersif, yakni
pengekangan kebebasan individu seseorang yang patut diduga merupakan pelaku tindak pidana. Salah satu upaya koersif yang
dikenal dalam hukum acara pidana adalah penahanan orang yang diduga pelaku tindak pidana di tempat-tempat penahanan negara.
Isu mengenai penahanan memiliki banyak dimensi cara pandang, baik dari sisi aspek yang murni hukum maupun dimensi lain seperti
sosial dan ekonomi. Dalam konteks penerapan keb
ij akan penahanan, terdapat satu tahap krusial yakni penerapan keb
ij akan penahanan pra-persidangan. Istilah penahanan pra-persidangan dalam kerangka
rumusan defi nisi norma hukum di Indonesia secara tersurat memang tidak dikenal dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun
dalam konteks bekerjanya mekanisme administrasi peradilan dan hukum acara pidana, keb
ij akan untuk menahan seseorang ditempat penahanan negara sebelum tersangka diajukan di tahap persidangan
lazim dipraktikkan sebagai salah satu tahap berjalannya peradilan pidana. Dari aspek terminologis, istilah penahanan pra-persidangan
merupakan padanan dari pre trial detention atau dalam beberapa istilah lainnya dikenal dengan preventive detention. Penahanan pra-persidangan
biasanya dilakukan oleh penyidik yang memiliki kewenangan sah secara hukum untuk menerapkan pengekangan kebebasan kepada
orang yang diduga adalah pelaku tindak pidana agar hal-hal yang dapat menghambat proses pemeriksaan dan pengumpulan barang
bukti tidak terjadi. Secara sederhana penahanan pra-persidangan adalah bentuk penahanan di mana seseorang disimpan atau ditahan
di fasilitas pemerintah sementara orang tersebut menunggu proses hukum di persidangan.
2
Cakupan pengertian yang sederhana tersebut cukup relevan untuk memahami batas lingkup penahanan pra-persidangan. Dalam laporan
studi mengenai penahanan pra-persidangan di Uni Eropa juga mengemuka kesulitan perumusan untuk mendapatkan pemahamam
dan cakupan yang sama persis mengingat perbedaan sistem hukum dan hukum acara pidana di berbagai negara.
1
Dalam laporan tersebut negara-negara Uni Eropa mengakui keberadaan lembaga penahanan
pra-persidangan sebagai tindakan pencegahan yang menggunakan sarana pengekangan kebebasan pribadi terhadap tersangka atau orang
yang diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana.
2
Pada prinsipnya tahanan ini tidak boleh dianggap bersalah atas perbuatan kejahatan
apapun dan mereka tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggar hukum seperti layaknya seorang narapidana, walaupun mereka kehilangan
kebebasan mereka. Biasanya walaupun mereka memiliki kegiatan secara terbatas ketika sedang dalam tahanan, hal ini disebabkan alasan
keamanan semata.
1 Lihat A.M van Kalmthout dkk, Pre-trial Detention in European Union an Analysis of
Minimum Standards in Pre-trial Detention and the Grounds fo Regular Review in the Member States of the EU, European Commission, 2009, hal 55.
2 Menurut Webster Dictionary, Pretrial Detention adalah, “The detaining of an
accused person in a criminal case before the trial has taken place, either because of a failure to post bail or due to denial of release under a pre-trial detention statute
menahan seorang tersangka dalam kasus pidana sebelum persidangan dilakukan, baik karena ketidakmampuan membayar jaminan atau karena permohanan
pelepasannya ditolak berdasarkan undang-undang penahanan pra-sidang”. Lihat Webster’s New World Law Dictionary, 2010, Wiley Publishing, Inc., Hoboken,
New Jersey. Sementara Black’s Law Dictionary memberikan pengertian pre-trial detention sebagai: 1 The holding of a defendant before trial on criminal charges
either because the established bail could not be posted or because release was denied; 2 In a juvenile-delinquency case, the court’s authority to hold in custody,
from the initial hearing until the probable-cause hearing, any juvenile charged with an act that, if committed by an adult, would be a crime If the court fi nds that releasing
the juvenile would create a serious risk that before the return date the juvenile might commit a criminal act, it may order the juvenile detained pending a probable-
cause hearing. Juveniles do not have a constitutional right to bail. The Supreme Court upheld the constitutionality of such statutes in Schall v. Martin, 467 U.S. 253,
104 S.Ct. 2403 1984. Also termed temporary detention. Bryan A. Garner Ed., Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West: Thomson Publising, 2009.
3
Dalam tatanan hukum Indonesia perlakuan terhadap narapidana dan tahanan telah dibedakan dalam regulasi yang masing-masing telah
mengatur sesuai dengan porsi status hukumnya sebagai narapidana atau tahanan.
3
Keb ij akan penahanan pra-persidangan patut dicermati
karena beberapa alasan yakni: Pertama, penegak hukum penyidik khususnya memiliki otoritas yang luas dalam menafsirkan aspek
pentingnya keb ij akan penahanan tersebut untuk diterapkan. Kedua,
diskresi penyidik dalam situasikondisi tertentu cukup rawan untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berujung pada perilaku
koruptif atau ketidakadilan lainnya. Ketiga, seringkali aspek kerugian orang yang diduga pelaku baik secara sosial maupun ekonomi
tidak dipertimbangkan dalam penerapan keb
ij akan penahanan pra- persidangan.
Perhatian masyarakat internasional atas penggunaan mekanisme penahanan pra-persidangan semakin mengemuka seiring
berkembangnya norma-norma hukum hak asasi manusia baik dalam kerangka aksi internasional maupun dalam lingkup regional.
Sebagai contoh, dalam laporan mengenai masalah hak asasi manusia dan penahanan pra-persidangan, Open Society Justice Initiative
memaparkan beberapa permasalahan yang mengemuka secara global yakni:
4
a. Dalam jangka waktu satu tahun, lebih dari sembilan juta orang dimasukkan ke dalam tahanan pra-persidangan.
b. Satu dari tiap tiga orang yang mengalami penahanan berada dalam status sedang menunggu persidangan dan tidak terbukti bersalah
melakukan suatu tindak kejahatan. c. Di beberapa negara, lebih dari tiga perempat dari seluruh
3 Lihat Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas
dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
4 Lihat Justice Fact Sheet, Open Society Justice Initiative diunduh dari
h t p:www.
coe.inttdghlcoopera i oncepejeventsOnEnParleWhy_need_global_camp_pretrial_
jus i ce_sept_09.pdf
, diakses pada 5 Januari 2012.
4
narapidana adalah tahanan pra-persidangan. Angka-angka ini mencakup Liberia 97, Mali 89, Haiti 84, Andora 77,
Nigeria 76, dan Bolivia 75.
d. Jangka waktu rata-rata yang dihabiskan dalam tahanan pra- persidangan di Uni Eropa kira-kira selama 167 hari. Sedangkan di
Nigeria, jangka waktu rata-rata diperkirakan selama 3,7 tahun. e. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mempunyai
angka penahanan pra-persidangan tertinggi dengan menduduki peringkat ke-4 di dunia 158 per 100.000 penduduk.
f. Kebanyakan negara berkembang memiliki jumlah pengacara terlatih yang sangat sedikit dengan hanya satu pengacara untuk
setiap 50.000 orang di beberapa tempat. Di Sierra Leone, hanya tujuh pengacara yang bekerja di daerah pedesaan dimana 80 persen
dari penduduk bertempat tinggal.
Norma internasional pada umumnya melarang penerapan penahanan pra-persidangan yang tidak semestinya dan sewenang-wenang.
5
Pada prinsipnya seseorang yang telah berstatus tersangka dan sedang
menunggu persidangan sebenarnya diperbolehkan untuk kembali kepada masyarakat dengan syarat wajib menghormati hukum serta
menghadiri persidangan pada waktu yang ditentukan. Idealnya penahanan pra-persidangan lebih karena ada alasan kuat untuk
meyakini bahwa orang tersebut benar-benar diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana serta benar-benar terdapat resiko yang cukup kuat akan
melarikan diri sehingga menjadikan ancaman bagi masyarakat, atau mengganggu jalannya proses peradilan. Implikasi yang menonjol
dari penggunaan penahanan pra-persidangan yang berlebihan dan semena-mena tidak hanya melemahkan asas praduga tidak bersalah
sebagai manifestasi konsepsi peradilan yang adil serta berkontribusi juga terhadap sesaknya sarana penahanan. Penggunaan penahanan
pra-persidangan yang lebih rasional memungkinkan pemerintah untuk mengurangi kepadatan penghuni dan menyalurkan berbagai
biaya terkait untuk kepentingan kesejahteraan rakyat lainnya.
5 Ibid.
5
Meskipun telah muncul upaya-upaya penggalangan di tingkat internasional oleh PBB terkait dengan penerapan penahanan pra-
persidangan, tahanan di banyak negara mengalami kondisi penahanan yang buruk seperti yang terjadi di banyak tempat penahanan yang
penghuninya terlalu padat, kondisi sanitasi yang tidak sehat dan kondisi lainnya yang tidak layak bagi manusia. Laporan yang dimuat dalam
lembar fakta Justice Initiatives: Pretrial Detention, yang dikeluarkan oleh Open Society Justice Initiative pada 2008, situasi dan kondisi secara
global menunjukkan setiap harinya diperkirakan tiga juta jiwa di seluruh dunia berada di belakang jeruji menunggu persidangan.
Laporan tersebut juga menunjukkan banyak tahanan menghabiskan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun dalam penahanan
tanpa disidangkan atau dinyatakan bersalah sehingga mengalami penderitaan yang lebih buruk dibandingkan dengan orang yang
terbukti bersalah melakukan kejahatan dan dihukum penjara. Sejumlah besar tahanan pra-persidangan rentan terhadap penyiksaan, kekerasan
dan serangan penyakit. Pejabat yang korup cenderung bertindak sewenang-wenang terhadap mereka dan pada umumnya mereka
hampir tidak pernah bertemu dengan penasihat hukum.
6
Kondisi umum lainnya terkait dengan penahanan adalah kepadatan yang di luar batas, situasi ini banyak terjadi di tempat-tempat
penahanan di seluruh dunia, yang berdasarkan laporan PBB kepadatan yang paling buruk terjadi di negara-negara sedang berkembang.
7
Menurut pelapor khusus PBB, kerap ditemukan fakta bahwa hampir di semua negara jumlah tahanan dua kali lipat kapasitas penjara, dan
bukan merupakan suatu hal yang luar biasa apabila sel-sel tahanan menampung tiga atau empat kali kapasitas mereka, sel-sel penuh
sesak sehingga tahanan hanya mempunyai ruang untuk berdiri. Bahkan di beberapa negara Eropa, sel-sel yang dirancang untuk satu
6 Ibid.
7 Ibid.
6
orang kemungkinan digunakan untuk menampung dua-tiga orang.
8
Kepadatan dan kondisi yang kotor mengakibatkan penyebaran penyakit menular lebih mudah. Penyebarluasan penyakit menular bisa
diakibatkan kepadatan penghuni dan lingkungan yang tidak sehat. Dimensi lain yang kurang mendapatkan perhatian publik adalah
implikasinya terhadap orang yang ditahan dapat kehilangan pekerjaan atau penghasilan dan kesulitan ekonomi lainnya.
Dalam konteks keb ij akan penahanan pra-persidangan di Indonesia
saat ini belum terdapat kajian yang menyediakan data dan informasi terhadap praktik penahanan pra-persidangan termasuk dampak
penerapannya. Studi ini merupakan upaya awal untuk mengetahui dan mendalami secara lebih jauh mengenai praktik penahanan pra-
persidangan dan implikasi-implikasi penerapannya. Melalui studi ini diharapkan akan banyak menarik para pemangku kepentingan
penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia agar lebih memberikan perhatian terhadap praktik-praktik penahanan pra-
persidangan dan eksesnya terhadap aspek perlindungan hak asasi manusia, hukum, sosial, dan ekonomi.
2. Tujuan dan lingkup studi