Waktu penelitian Keterbatasan penelitian

17

5. Waktu penelitian

Penelitian ini berjalan selama satu tahun, dimulai dari Juni 2011 hingga Juni 2012. Waktu dimaksud mulai dari pemetaan data awal, observasi lapangan, hingga tahap analisis data atau pengolahan hasil observasi.

6. Keterbatasan penelitian

Pada setiap penelitian dapat dipastikan terdapat keterbatasan. Penelitian mengenai Pemetaan Keb ij akan Penahanan Pra-persidangan di Indonesia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan selama periode pelaksanaan penelitian berjalan. Keterbatasan pertama, cakupan keterwakilan wilayah yang hanya empat kota di Indonesia. Dari aspek representasi kewilayahan disadari ada keterbatasan untuk mendapatkan gambaran utuh praktik penahanan pra-persidangan di Indonesia mengingat luasnya wilyah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dengan karakteristik permasalahan masing-masing. Untuk memperoleh gambaran yang utuh di 33 provinsi tersebut tentunya membutuhkan biaya yang besar. Pemilihan empat kota dalam batas-batas tertentu telah mewakili sisi ektrem dan sisi moderat dari aspek penegakan hukum dan permasalahan penahanan di Indonesia. Keterbatasan kedua, adanya hambatan psikologis dari informan. Keterbatasan yang telah dikalkulasi sejak awal adalah mengenai keutuhan informasi yang berasal dari informan penegak hukum khususnya polisi dan jaksa. Meskipun hakim memiliki keterbatasan untuk memberikan informasi, namun tidak seperti polisi dan jaksa yang memiliki karakteristik struktur hierarkis yang cukup ketat. Untuk itu dalam proses wawancara disusunlah panduan yang dapat memberikan arah agar konsisten dengan alur penelitian yang telah ditetapkan. Keterbatasan ketiga, waktu penelitian yang dirasakan terlalu singkat jika diperbandingakan dengan kesukaran untuk mengakses data 18 dan informasi kepada responden yang berasal dari instansi-instansi penegak hukum. Keterbatasan keempat, ketidaksamaan tingkat kedalaman data dan informasi dari informan, yang juga terkait dengan kualitas anggota tim peneliti lapangan yang beragam, untuk melakukan wawancara dan memperoleh data pendukung lainnya. 19

BAB II NORMA DAN STANDAR HAM INTERNASIONAL

DAN ISU-ISU KRUSIAL DALAM KEB IJ AKAN PENAHANAN PRA-PERSIDANGAN

1. Norma dan standar hak asasi manusia internasional yang

terkait dengan penahanan pra-persidangan. Sistem hukum hak asasi manusia internasional merupakan norma- norma hukum yang dibangun melalui berbagai aspek hukum yang keberadaannya bisa berdiri sendiri, saling beririsan, yang terintegrasi dalam hukum internasional dan hukum nasional. Konteks keberadaan sistem hukum hak asasi manusia ini berkembang melalui keberadaan standar norma-norma hak asasi manusia dalam hukum hard law maupun so t law. 16 Sistem nilai yang dikonstruksikan dalam hukum hak asasi manusia merupakan sistem nilai yang tidak kaku atau tuntas dan tertutup terhadap diskursus. Sistem ini menyuguhkan perangkat-perangkat standar minimum dan berbagai prosedural yang diaplikasikan bukan hanya bagi pemerintahan dan institusi penegak hukum, tetapi juga pada prinsipnya bagi sejumlah badan usahabisnis, organisasi internasional dan perorangan. 17 16 Isitilah hard law umumnya menunjuk pada mekanisme perjanjiankonvensi-konvensi atau dokumen lainnya yang berbasis perjanjian internasional sehingga secara langsung mengikat negara pihak dalam rangka pelaksanaan di tingkat nasional dan internasional. Biasanya melalui prosedurmekanisme tertentu based treaty, atau melalui adopsidomestifi kasi hukum atau pengaturan dalam pemberlakuan di tingkat undang-undang nasional pada negara yang bersangkutan. Sedangkan istilah soft law umumnya menunjuk pada pedoman, prinsip-prinsip umumasas-asas, kode tingkah laku, yang telah menjadi kesepakatan secara umum untuk dijadikan acuan dalam menentukan standar pelaksanaan pemenuhan hak asasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Meskipun instrumen soft law tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara ketat, namun karena substansinya sangat relevan dengan praktik-praktik penegakan hukum, maka pematuhan atas instrumen soft law sangat dianjurkan. Lihat C. De Rover, To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: Raja Grafi ndo Persada, 2000, hal. 152-153. 17 Lihat Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim Hak Asasi Manusia Internasional, Helsinki: RWI, 2006, hal. 51-74.