Mekanisme penghitungan pengurangan hukuman Akses kepada advokat

84 Berdasarkan pertimbangan tertentu atas dasar permohonan, pejabat bersangkutan dapat mengalihkan status penahanan. Sebaliknya, pejabat bersangkutan tanpa diminta dapat mengalihkan penahanan berdasarkan wewenang yang diberikan undang-undang kepadanya.

7. Mekanisme penghitungan pengurangan hukuman

Pasal 22 ayat 4 KUHAP terdapat ketentuan yang memerintahkan kepada hakim atau pengadilan yang memutus perkara, agar memperhatikan masa penangkapan dan penahanan untuk kemudian dikurangkan seluruhnya dari jumlah hukuman pidana yang akan d ij atuhkan. Cara pengurangan masa tahanan sehubungan dengan vonis yang d ij atuhkan diatur dalam Pasal 22 ayat 5 KUHAP yang membedakan pengurangan masa penahanan ditinjau dari jenis penahanan. Penahanan Rutan, pengurangannya sama dengan jumlah masa penahanan. Berarti 1 hari masa tahanan harus dikurangi secara berbanding 1 hari dengan 1 hari. Penahanan rumah, pengurangannya sama dengan 13 jumlah masa penahanan. Jadi kalau masa penahanan rumah yang dialami seseorang 50 hari maka pengurangannya adalah 13 x 50 hari. Penahanan kota, jumlah pengurangan masa penahanannya sama dengan 15 jumlah masa penahanan kota yang telah d ij alani. Jika seseorang telah dikenakan penahanan kota selama 50 hari maka jumlah pengurangan masa penahanan adalah 15 x 50 hari. Dari sini dapat ditemukan bahwa terdapat perbedaan berat ringannya kualitas jenis penahanan yang mendorong pembuat undang-undang untuk membuat perbedaan dalam pengurangan jumlah masa penahanannya dalam putusan pemidanaan.

8. Penangguhan penahanan

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Berdasarkan KUHAP penangguhan penahanan diartikan sebagai kegiatan 85 mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Tahanan yang resmi dan sah pada dasarnya masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanannya ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Dengan penangguhan penahanan ini maka seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan. Pasal 31 KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaan penangguhan penahanan, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin. Oleh karena itu, Pasal 31 KUHAP tersebut masih memerlukan peraturan pelaksana, yaitu: Mengenai jaminan penangguhan penahanan diatur dalam Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 271983. Pelaksanaan penangguhan penahanan diatur dalam Bab IV, Pasal 25 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.061983. Dengan adanya berbagai peraturan tersebut, maka terjadi penyempurnaan terhadap pengaturan penangguhan penahanan, karena penjelasan Pasal 31 KUHAP tidak memberi petunjuk mengenai jaminan. Yang dibicarakan dalam penjelasan pasal tersebut hanya mengenai syarat penangguhan yakni wajib lapor, tidak keluar rumah, atau kota. Alinea kedua penjelasan Pasal 31 hanya menyinggung “status” tahanan yang ditangguhkan penahanannya dimana tidak termasuk masa status tahanan. Oleh karena penjelasan Pasal 31 KUHAP itu sendiri tidak memberi petunjuk tentang jaminan dan pelaksanaan penangguhan, dua tahun kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 27 Tahun 1983 yang dikeluarkan pada 1 Agustus 1983, disusul Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.061983, ditetapkan pada 16 Desember 1983. Masalah serupa disinggung pula pada angka 8 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.031983, tanggal 10 Desember 1983. 86

8.1. Syarat–syarat penangguhan penahanan

Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 KUHAP penangguhan penahanan terjadi atas dasar: Karena permintaan tersangka atau terdakwa; Permintaan itu disetujui oleh instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan; dan Ada persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan. Dalam konteks penangguhan penahanan, orang yang menjalani tahanan berjanji akan melaksanakan dan memenuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan instansi yang menahan. Sebaliknya, pihak yang menahan mengeluarkan orang tersebut dari tahanan dengan menangguhkan penahanannya. Seluruh instansi yang memiliki kewenangan untuk menahan berhak memberikan penangguhan penahanan selama tahanan yang bersangkutan masih berada dalam lingkup tanggung jawab yuridis instansi yang menahan. Kewenangan ini dengan sendirinya tidak berlaku apabila tahanan sudah beralih menjadi tanggung jawab instansi lain. Alasan penangguhan penahanan sendiri tidak diatur dalam Pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan pasal tersebut. Namun dalam praktik, alasan yang umum dikemukakan untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan adalah alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dan ayat 4 huruf a KUHAP. Syarat yang menjadi dasar hukum penangguhan penahanan dapat dibaca dalam kalimat terakhir Pasal 31 ayat 1 KUHAP yang berbunyi: “berdasarkan syarat yang ditentukan”. Dari kalimat ini dapat disimpulkan bahwa penetapan syarat oleh instansi yang memberi penangguhan adalah faktor yang menjadi dasar dalam pemberian 87 penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu dan tahanan yang bersangkutan tidak menyatakan kesediaan untuk menaati, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan. Dengan demikian, penetapan syarat dan kesediaan untuk menaati syarat tersebut merupakan prinsip dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Penegasan dan rincian syarat yang harus ditetapkan dalam penangguhan penahanan, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 31 KUHAP tersebut. Syarat yang dapat ditetapkan oleh instansi yang menahan adalah wajib lapor, tidak keluar rumah, atau tidak keluar kota. Pada dasarnya dari ketiga syarat tersebut, instansi yang menahan dapat memilih salah satu syarat atau dua syarat. Yang paling mendasar adalah syarat wajib lapor ditambah dengan salah satu syarat yang lain. Perlu dipaparkan bahwa di tingkat Kejaksaan, telah dikeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Jampidum No. 98EEjp052002, tanggal 15 Mei 2002, mengenai penahanan dan penangguhan. Surat Edaran ini terbit karena berdasarkan pengamatan Jampidum selama ini sering ditemukan tahanan yang ditangguhkan penahanannya atau dialihkan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota hanya karena tekanan massa pendukung tersangka, baik berupa ancaman fi sik maupun psikis. Bahkan tidak jarang secara konkrit telah dilakukan dalam bentuk serangan fi sik kepada aparat atau aset kejaksaan. Oleh karena Surat Edaran Jampidum mendorong untuk mengutamakan pemenuhan aspek yuridis melalui pemberian petunjuk-petunjuk yang akurat dan tepat sasaran. Agar dalam setiap perkara, terutama yang dianggap penting dan sensitif, penyidik dan jajaran intel ij en harus berkoordinasi dengan mempertimbangankan segala kemungkinan yang terjadi jika tersangka ditahan. Jika keb ij akan menahan yang ditempuh, maka dibutuhkan sikap konsisten dan tidak mudah goyah sekalipun ada tekanan massa. 88 Apabila ada permohonan penangguhan penahanan, aparat kejaksaan harus tetap mempedomani Surat Jampidum No. B-675EEpoll21994 tanggal 1 Desember 1994 perihal permohonan penangguhan penahanantahanan luar dan wajib lapor. Berdasarkan Surat Jampidum ini, untuk mencegah ekses akibat permohonan penangguhan penahan tahanan luar dan wajib lapor, diminta perhatian aparat bahwa tidak dibenarkan ada surat permohonan penangguhan penahanan atau permohonan untuk ditahan luartidak ditahan dalam hal tersangka tidak dalam status tahanan tidak ditahan. Selain itu, perubahan status tersangka yang diserahkan Penyidik kepada Kejaksaan hanya dapat dilakukan apabila benar-benar beralasan. Dengan demikian akan dapat dicegah terjadinya rekayasa penahanan dimana disangkakandidakwakan pasal-pasal yang memungkinkan tersangkaterdakwa dapat ditahan padahal sebenarnya perbuatan yang disangkakan tidak dapat dilakukan penahanan. Sedangkan kewajiban melapor hanya dapat dibebankan kepada tersangka yang dalam status tahanan rumah, tahanan kota, dan yang ditangguhkan penahanannya.

8.2. Jaminan penangguhan penahanan

Pasal 31 ayat 1 KUHAP telah menentukan bentuk “jaminan uang” atau “jaminan orang” dalam penangguhan penahanan. Namun ketentuan tersebut tidak menentukan cara pelaksanaannya. Pelaksanaan unsur jaminan dalam Pasal 31 ayat 1 KUHAP diatur lebih lanjut dalam Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983. Penetapan jaminan dalam penangguhan penahanan bersifat “fakultatif”, sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat 1 KUHAP. Oleh karena itu jaminan uang atau jaminan orang “dapat” ditetapkan oleh instansi yang menahan. Tanpa jaminan, tindakan penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Unsur jaminan pada dasarnya dapat dikesampingkan. Tetapi agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati, maka penangguhan penahanan dibarengi dengan jaminan. Pemberian jaminan ini merupakan upaya untuk memperkecil kemungkinan tersangkaterdakwa melarikan diri. 89 Tata cara pelaksanaan jaminan itu diatur kemudian dalam Bab X, Pasal 35 dan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983. Sedangkan mengenai petunjuk pelaksanaan jaminan tersebut diatur dalam angka 8 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.031983, tanggal 10 Desember 1983.

8.2.1. Jaminan uang

Berdasarkan ketentuan KUHAP, penangguhan penahanan dengan jaminan atau tanpa jaminan diadakan dan dilaksanakan dalam bentuk “perjanjian” antara tersangkaterdakwa atau penasihat hukunya dengan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan.

8.2.1.1. Ditetapkan oleh pejabat atau instansi yang menahan

Apabila jaminan penangguhan berbentuk uang, instansi atau pejabat yang bersangkutan menetapkan besarnya uang jaminan. Besaran uang jaminan secara “jelas” disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan. Dalam hal ini ada beberapa aturan yang harus dipahami. a Uang jaminan disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Instansi manapun yang memberi penangguhan penahanan, uang jaminan disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Panitera yang berwenang menyimpan uang jaminan sekalipun yang memberi penangguhan penahanan instansi penyidik, penuntut umum, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. b Penyetoran uang jaminan dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya. Berdasarkan penetapan besarnya jaminan yang dicantumkan secara jelas dalam surat perjanjian, uang tersebut disetor ke kepaniteraan Pengadilan Negeri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya. Penyetoran dilakukan berdasar formulir penyetoran yang dikeluarkan instansi bersangkutan. Jika penyidik yang memberikan penangguhan penahanan, instansi itu yang mengeluarkan formulir penyetoran uang jaminan, untuk selanjutnya dibawa pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri. 90 c Bukti setoran dibuat dalam rangkap tiga. Hal ini ditentukan dalam angka 8 huruf a Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.031983. Bukti penyetoran dibuat dalam rangkap tiga, dengan perincian: - Selembar sebagai arsip penitera Pengadilan Negeri, - Selembar diberikan kepada yang menyetor untuk digunakan bukti kepada instansi yang menahan bahwa dia telah melaksanakan isi perjanjian yang berhubungan dengan pembayaran uang jaminan, - Selembar lagi dikirim panitera kepada pejabat atau instansi yang menahan melalui kurir untuk digunakan sebagai alat kontrol. d Berdasar tanda bukti penyetoran, pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan. Terdapat dua cara yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kebenaran penyetoran, yaitu: Tanda bukti penyetoran tersebut diperlihatkan oleh pemohon atau penasihat hukum atau keluarganya, atau Berdasarkan penerimaan tanda bukti penyetoran yang dikirim panitera kepada instansi yang menahan. Melalui salah satu cara ini, instansi yang menahan kemudian mengeluarkan surat perintahpenetapan penangguhan penahanan.

8.2.1.2. Saat uang jaminan jatuh menjadi milik negara

Pada dasarnya uang jaminan secara hukum masih merupakan hak milik Pemohon. Cuma, untuk sementara dipisahkan dari penguasaan pemohon dengan jalan dititipkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Uang jaminan tersebut harus dikembalikan ke pemohon setelah perjanjian penangguhan penahanan berakhir dan semua syarat yang ditetapkan dalam perjanjian dipenuhi. Jika pemohon melanggar syarat- syarat yang ditentukan dalam perjanjian berupa tindakan “melarikan 91 diri”, uang jaminan yang dititipkan di kepaniteraan dengan sendirinya berubah menjadi milik negara dan disetorkan ke kas negara oleh panitera. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat 2 PP No. 27 Tahun 1983 dan angka 8 huruf i Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14- PW.07.031983. Dalam ketentuan-ketentuan ini diatur landasan dan tata cara peralihan uang jaminan menjadi milik negara, yakni: a Landasan pemilikan, tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu tiga bulan tidak ditemukan. Berdasarkan Pasal 35 ayat 2 PP No. 27 Tahun 1983, dasar peralihan uang jaminan menjadi milik negara, apabila yang bersangkutan “melarikan diri” selama 3 bulan dan sejak dari tanggal melarikan diri tersebut yang bersangkutan “tidak ditemukan”, maka sejak saat dilewatinya masa 3 bulan tersebut, uang jaminan beralih menjadi milik negara. b Tata cara peralihan dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri. Tata cara peralihan diatur dalam angka 8 huruf i Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman dimaksud. Jika tersangka atau terdakwa yang sedang ditangguhkan penahanannya melarikan diri dan dalam tempo tiga bulan tidak ditemukan, Pengadilan Negeri mengeluarkan atau menerbitkan “penetapan” yang berisi: i Pengambilan uang jaminan menjadi milik negara; ii Sekaligus memerintahkan panitera untuk menyetorkan uang tersebut ke kas negara.

8.2.1.3. Pengembalian uang jaminan

Pengembalian uang jaminan ternyata tidak diatur lebih lanjut dalam PP No. 27 Tahun 1983 dan pada angka 8 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.031983. M. Yahya Harahap 87 berpendapat pengembalian uang jaminan dari penitipan dapat diminta dan harus dikembalikan apabila: 87 Lihat Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafi ka, 2007, hal. 221. 92 a Penangguhan penahanan telah dicabut kembali oleh instansi yang menahan. Prosedur permintaan kembali uang jaminan dapat didasarkan atas surat pencabutan penangguhan penahanan. Atas dasar surat inilah yang bersangkutan atau penasihat hukumnya maupun keluarganya mengajukan permintaan pengembalian uang jaminan dari panitera Pengadilan Negeri. b Berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk mengakhiri perjanjian penangguhan penahanan, bila terdakwa telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Apapun putusan dari pengadilan, dengan sendirinya telah mengubah status terdakwa dan secara otomatis mengakiri perjanjian penangguhan penahanan. Dengan berakhirnya perjanjian penangguhan penahanan, uang jaminan dikembalikan menjadi milik yang bersangkutan dan yang bersangkutan atau penasihat hukum atau keluarganya mengajukan permintaan pengembalian uang titipan dari panitera Pengadilan Negeri.

8.2.2. Jaminan orang

Jaminan penangguhan penahanan berupa orang diatur dalam Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983 dan angka 8 huruf c, f dan j Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.031983. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan jaminan orang hampir sama dengan tata cara jaminan uang. Pengertian jaminan dengan orang, yakni berupa perjanjian penangguhan dimana seseorang bertindak dan menyediakan diri secara sukarela sebagai jaminan. Penjamin sendiri bisa penasihat hukumnya, keluarganya atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan tahanan. Penjamin bersedia memberi pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia akan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri. Tata cara pelaksanaannya dapat diuraikan seperti di bawah ini: 93 1 Menyebut secara jelas identitas orang yang menjamin. Identitas penjamin dicantumkan secara jelas dalam perjanjian penangguhan. 2 Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan”. Surat perjanjian penangguhan penahanan juga harus memuat besarnya “uang yang harus ditanggung” oleh orang yang menjamin apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri. Besarnya uang tanggungan itu ditetapkan oleh instansi yang menahan. Dalam jaminan orang, uang tanggungan tidak segera disetor. Penyetoran masih harus tersedianya keadaan atau peristiwa lain yaitu apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri. Uang tanggungan disetorkan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan sudah lewat tiga bulan tidak juga ditemukan. 3 Pengeluaran surat perintahpenetapan penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin. Pengeluaran surat perintah penetapan penangguhan didasarkan atas bukti “surat jaminan” dari penjamin yang disampaikan kepada instansi yang menahan. Dengan diserahkannya surat jaminan dari penjamin, instansi yang menahan dapat mengeluarkan surat perintah penangguhan penahanan. 4 Uang tanggungan wajib disetor oleh penjamin ke kas negara melalui panitera pengadilan. Orang yang menjamin wajib menyetor uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan: a Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri, b Setelah lewat tiga bulan tidak ditemukan, c Penyetoran uang tanggungan ke kas negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 36 ayat 3 PP No. 27 Tahun 1983 jo angka 8 huruf j Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07.031983, pelaksanaan penyetoran uang tanggungan tidak diperlukan penetapan Pengadilan Negeri apabila yang menjamin secara sukarela melaksanakan penyetoran uang tanggungan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang untuk selanjutnya diserahkan kepada kas Negara sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan. 94 Apabila orang yang menjamin tidak melaksanakan kewajiban penyetoran uang tanggungan maka untuk memaksakan pemenuhan penyetoran orang yang menjamin, diperlukan “penetapan” Pengadilan Negeri. Penetapan itu berisi perintah kepada jurusita pengadilan untuk melakukan “sita eksekusi” terhadap barang milik orang yang menjamin. Pelaksanaan sita eksekusi atau executorial beslag dan pelelangan dilakukan jurusita sesuai dengan hukum acara perdata. Oleh karena itu proses pelaksanaan penyetoran dan pelelangan dilakukan sesuai ketentuan Pasal 197 HIR atau Pasal 208 RBG. Dengan demikian, sita eksekusi terhadap harta orang yang menjamin, oleh Pasal 35 ayat 3 PP No. 27 Tahun 1983 dipersamakan dengan executorial beslag terhadap harta debitur berdasar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap guna memenuhi pembayaran utang kepada pihak kreditur. Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan untuk meletakkan sita eksekusi atas harta orang yang menjamin dengan ketentuan didahulukan penyitaan terhadap harta yang bergerak sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata jo. Pasal 197 ayat 1 HIR. Jika harta yang bergerak belum memenuhi jumlah pelunasan uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan, barulah penyitaan dilanjutkan terhadap harta yang tidak bergerak sampai dianggap cukup untuk melunasi jumlah uang tanggungan. Penjualan lelang atas sita eksekusi dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 220 HIR atau Pasal 215 RBG. Setelah jurusita selesai melaksanakan peletakan sita eksekusi atas harta kekayaan orang yang menjamin, disusul dengan pelaksanaan penjualan lelang sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum acara perdata. Hasil penjualan lelang tersebut disetor ke kas negara melalui panitera sesuai dengan jumlah uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan. Jika hasil penjualan lelang masih kurang, 95 Ketua Pengadilan Negeri dapat lagi mengeluarkan surat penetapan kepada jurusita untuk meletakkan sita eksekusi lanjutan terhadap harta milik orang yang menjamin, sampai terpenuhi pelunasan penyetoran uang tanggungan yang ditetapkan.

8.3. Mekanisme pengeluaran tahanan karena penangguhan

penahanan Tata cara pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 25 Peraturan Menteri kehakiman No. M.04.UM.01.061983. Mekanismenya sebagai berikut: a. Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan harus berdasarkan surat perintahpenetapan pengeluaran tahanan dari instansi yang menahan. b. Dalam pembebasan tahanan dimaksud Petugas Rutan harus: i Meneliti surat perintahpenetapan pengeluaran tahanan dari instansi yang menahan; ii Membuat berita acara pengeluaran tahanan dari Rutan, dan menyampaikan tembusan kepada instansi yang menahan; iii Mencatat surat-surat penangguhan penahanan dan mengambil cap sidik jari tengah dari tangan kiri tahanan yang bersangkutan ke dalam register yang disediakan; iv Memeriksa kesehatan tahanan ke dokter Rutan, dan menyampaikan hasilnya kepada instansi yang menahan dan kepada tahanan; dan v Menyerahkan barang-barang milik tahanan yang ada dan dititipkan kepada Rutan dengan berita acara dan mencatat dalam register yang disediakan.

8.4. Pencabutan penangguhan penahanan

Berdasarkan Pasal 31 ayat 2 KUHAP, penyidik, penuntut umum dan hakim berwenang untuk sewaktu-waktu mencabut kembali penangguhan penahanan apabila tersangka atau terdakwa “melanggar” syarat-syarat yang ditentukan. 96

9. Peralihan penahanan

Karena ada pembatasan kewenangan penahanan yang dimiliki setiap instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara, maka tanggung jawab hukum atas penahanan akan beralih kepada instansi lain sejak pengalihan taraf pemeriksaan perkara. Kita perlu mengetahui tempus terjadinya peralihan dengan tujuan: memperhitungkan jumlah masa tahanan defi nitif yang dilakukan oleh suatu instansi; menentukan kapan suatu tahanan sudah berada dalam penahanan yang tidak sah; dan memudahkan pihak yang berkepentingan mengetahui, di tangan instansi mana berada tanggung jawab yuridis penahanan yang sedang berlangsung. Kekaburan saat peralihan tanggung jawab yuridis penahanan, akan melanggar prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu asas KUHAP.

9.1. Peralihan tanggung jawab penahanan dan kelanjutan

penangguhan penahanan Apabila perkara orang yang ditangguhkan penahanannya dilimpahkan dari suatu instansi ke instansi lain, maka terjadi peralihan tanggung jawab sesuai angka 8 huruf g dan h Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW. 07.031983.

9.2. Mekanisme peralihan penangguhan penahanan dari

penyidik ke penuntut umum Jika berkas perkara telah diserahkan kepada penuntut umum dan penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara sudah lengkap, sementara tersangka masih dalam status penangguhan penahanan dengan jaminan, maka penyidik wajib berkonsultasi dengan penuntut umum guna mempertimbangkan kelanjutan penangguhan penahanan di tingkat penuntutan. 97 Jika penuntut umum sependapat dengan saran penyidik untuk mengakhiri penangguhan, penyidik mengeluarkan surat perintah penghentian penangguhan dan serta merta dikuatkan lewat surat perintah penahanan oleh penuntut umum. Namun jika penuntut umum menyetujui status penangguhan penahanan yang diberikan penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan, berarti penangguhan penahanan dapat dilanjutkan penuntut umum dalam tingkat penuntutan. Apabila penangguhan penahanan dilanjutkan oleh penuntut umum di tingkat penuntutan maka diperlukan pembaruan perjanjian penangguhan penahanan.

9.3. Mekanisme peralihan penangguhan penahanan dari

penuntut umum ke Ketua Pengadilan Negeri Tata cara peralihan kelanjutan penangguhan penahanan dari instansi penuntut umum kepada Pengadilan Negeri, diatur lebih lanjut dalam angka 8 huruf h Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14- PW.07.031983. Tata caranya adalah sebagai berikut: 1 Jika penuntut umum berpendapat bahwa penangguhan penahanan “tidak perlu dilanjutkan” dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri, penuntut umum mengeluarkan “surat perintah penghentian penangguhan” sebelum berkas perkara dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri. 2 Jika penuntut umum berpendapat bahwa penangguhan penahanan dapat dilanjutkan dalam tingkat pemeriksaan pengadilan, penuntut umum mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. 3 Ketua Pengadilan Negeri dapat menyetujui atau menolak permintaan penuntut umum. 4 Penolakan atau persetujuan harus dinyatakan Ketua Pengadilan Negeri secara tegas dengan surat. 5 Jika Ketua Pengadilan Negeri menyampaikan penolakan maka berakhir status hukum penangguhan penahanan. 98

10. Akses kepada advokat

Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu perlu ada jaminan kuat terhadap persamaan kedudukan di muka hukum. 88 Jaminan itu tidak boleh dilanggar atas dasar perbedaan status sosial ekonomi, kedudukan, pandangan politik, perbedaan keyakinan, perbedaan jenis kelamin dan lain–lain. Untuk itu suatu proses hukum yang adil diperlukan guna menjamin kesetaraan hak dari setiap orang yang berada di suatu wilayah negara. Untuk itu penyediaan akses dan mekanisme pemenuhan hak atas bantuan hukum yang tersedia secara nasional dipandang penting dalam suatu negara hukum yang demokratis. Dalam sistem peradilan pidana, kehadiran advokat menjadi titik penting untuk melindungi hak tersangka dan terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang adil. Oleh karena itu bantuan hukum dinyatakan sebagai hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan akses terhadap keadilan dimana warga negara secara umum dianggap tidak mampu menghadapi kekuatan negara. Hak atas bantuan hukum pertama kali diatur di Indonesia melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 35 UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa bantuan hukum adalah hak bagi setiap orang yang tersangkut perkara. Dalam konteks sistem peradilan pidana, Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa bantuan hukum terhadap tersangka diberikan sejak saat penangkapan dan penahanan. Pengaturan hak atas bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana diperkenalkan pertama kali melalui diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di sini, dinyatakan bahwa guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan. Secara khusus bantuan hukum ini diatur dalam Bab XVII tentang Bantuan Hukum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tersebut, namun hak tersangka dan terdakwa 88 Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. 99 mengenai bantuan hukum diatur sejak Pasal 54-57, dan Pasal 59-62 KUHAP. Khusus untuk masyarakat miskin atau yang diancam dengan pidana penjara 15 tahun atau lebih atau yang diancam dengan pidana mati, KUHAP telah mengatur secara khusus hak atas bantuan hukum ini dalam Pasal 56. Pada 1985 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.24- UM.06.02 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat yang Kurang Mampu. Instruksi ini menjadi landasan dimana pos bantuan hukum atas inisiatif masyarakat yang ada di pengadilan mendapat dana dari Negara dan pengelolaan dana tersebut dilakukan oleh pengadilan negeri setempat. Khusus untuk anak yang terlibat tindak pidana, Indonesia mengundangkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Pasal 51 dan Pasal 52 UU No. 3 Tahun 1997 telah menjamin hak dari setiap anak yang diduga terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum sejak ditangkap atau ditahan dan di setiap tingkat pemeriksaan. Selepas masa reformasi, Indonesia kemudian mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana dalam Pasal 18 ayat 1 UU tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melengkapi perlindungan terhadap anak, Indonesia kemudian mengundangkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 17 UU No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum 100 yang berlaku dengan tujuan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Untuk melengkapi hak atas bantuan hukum ini, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 22 ayat 1 menekankan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Sebagai implementasi UU No. 18 Tahun 2003 ini kemudian Pemerintah membuat PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma- Cuma. Menindaklanjuti kedua peraturan ini, pada 2010 Perhimpunan Advokat Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Pada 2005, Indonesia kemudian meratifi kasi Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005 dimana dalam Pasal 16 dan Pasal 26 Kovenan ini dinyatakan bahwa setiap orang d ij amin haknya atas persamaan di hadapan hukum. Semua orang berhak atas perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi. Namun, bagaimana dan cara serta mekanisme pemberian bantuan hukum belum diatur dalam undang-undang di atas, mekanisme yang tersedia dari 1981 hingga 2009 masih diatur menggunakan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.24-UM.06.02 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat Yang Kurang Mampu. Mekanisme yang lebih kuat kemudian diundangkan oleh pemerintah melalui disahkannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, 89 UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas 89 Lihat Pasal 56 dan Pasal 57 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 101 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, 90 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, 91 dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 92 Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peradilan ini mencantumkan hak atas bantuan hukum kepada orang yang terlibat perkara hukum dan merupakan kewajiban dari setiap pengadilan untuk membuat pos bantuan hukum. Munculnya peraturan perundang-undangan ini kemudian membuat Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Melalui SEMA tersebut di setiap pengadilan umum, agama dan tata usaha negara akan diakti k an kembali pos bantuan hukum. Sejak kemerdekaan hingga 2011, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki sistem dan mekanisme pemberian bantuan hukum yang tersedia secara nasional melalui disahkannya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam UU ini diatur tentang siapa saja yang dapat menerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, dan juga pengelola bantuan hukum. Meski terdapat banyak tantangan, namun pemerintah bertekad untuk tetap melaksanakan amanat UU ini. 93 90 Lihat Pasal 68B dan Pasal 68C UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 91 Lihat Pasal 60B dan Pasal 60C UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 92 Lihat Pasal 144C dan Pasal 144 D UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 93 Lihat http:www.hukumonline.comberitabacalt4eb66ae12eb0dtantangan-dan- peluang-undangundang-bantuan-hukum. diakses pada 5 Januari 2012. 102

11. Pengaturan mengenai tempat penahanan