229
semua mantan tahanan menginformasikan bahwa dalam praktik ini banyak disalahgunakan, baik oleh tahanan yang ingin ditangguhkan
penahanannya, atau oknum aparat yang menginginkan kontraprestasi atas pemberian penangguhan penahanan tersebut.
1.6. Praktik suap dan jual beli dalam penahanan
Dalam praktiknya penahanan dapat juga menjadi komoditi bagi oknum penegak hukum untuk mendapat sejumlah uang. Penahanan
dalam hal ini menjadi alat untuk melakukan pemerasan terhadap tersangkakeluarga, misalnya melalui modus penjaminan untuk
penangguhan penahanan, untuk mempercepat proses penyidikan danatau penuntutan, atau untuk upaya pengurangan ancaman dalam
penuntutan. Penahanan menjadi sarana bagi penegak hukum untuk mendapatkan gratifi kasi atas pengabulan keinginan korban untuk
melakukan penahanan terhadap tersangka.
Dari satu kasus yang dinyatakan oleh seorang penyidik di Polresta Medan, atasan memerintahkannya untuk tidak menahan tersangka
karena permohonan tersangka disertai dengan gratifi kasi. Selain itu, pada kasus lain, penahanan dilakukan atas permintaan korban dengan
memberikan gratifi kasi kepada oknum kepolisian. Adapun jumlah gratifi kasi yang diberikan tergantung dari modus dan atau jenis
perkara dan hasil negosiasi dengan pihak kepolisian. Modus dan atau jenis perkara pidana ini sangat menentukan apakah ancaman pasal
mudah untuk diubah diperingan atau dimanipulasi sesuai dengan permintaan.
238
Berikut kutipan tentang pernyataan adanya intervensi atasan untuk tidak melakukan penahanan:
238 Dalam praktik penahanan ini, pasti ada keberatan dari pihak keluarga dari pihak yang merasa dirugikan, tapi tidak ada upaya yang bisa dilakukan, apabila dianggap
memenuhi unsur pidana. Jika tidak menahan biasanya keberatan dari pihak korban. Fungsi pengawasan atas praktik tersebut dari pihak internal kepolisian
sangat lemah. Dalam istilah yang umum dikenal, ialah “tahu sama tahu”, sehingga adanya penyimpangan dapat ditolerir, dan dipertahankan.
230
“...Saya dipanggil...,waktu itu ya kan, ditanya, ‘kenapa ditahan?’, saya lawan, ‘siap pak cukup bukti’, terus dia bilang, ‘kau biang keroknya’,
saya bingung, waktu itu psikotropika, ini kalo gak bisa dihukum ini, salah saya...ini bukan saya yang nentukan ini, waktu itu hasil
laboratorium, hasilnya ini,...terus dibuat memo, datang surat perintah, dipindahkan saya, enam bulan juga saya di situ...cemana saya bilang,
sedih juga,...
”.
239
Pada level penuntutan sangat terbuka peluang untuk terjadinya pemerasan terhadap tahanan. Terutama bertujuan meringankan
tuntutan. Berikut pengakuan terdakwa yang sudah dikenakan vonis, “...Ada mengeluarkan uang 5 juta rupiah untuk jaksa supaya meringankan
saya
...”.
240
1.7. Akses tahanan kepada advokat saat penyidikan
Meskipun bantuan hukum merupakan hak konstitusional tahanan, dalam praktiknya hak ini seringkali dilanggar. Bukan saja karena
keengganan polisi dan tahanan, tetapi juga karena keterbatasan jumlah advokat dan sebarannya yang tidak merata. Kantor advokat dan
organisasi bantuan hukum umumnya berada di pusat kota dan bisnis.
Hingga 30 Maret 2010, menurut data dari Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia Peradi, jumlah advokat anggota
Peradi hanya 11.333 advokat, padahal jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.556.363 orang. Artinya ketersediaan advokat bagi
seluruh penduduk Indonesia kurang dari 1. Jumlah ini terlihat sangat mengkhawatirkan dengan tingginya jumlah kasus yang masuk
ke pengadilan tingkat pertama.
Sepanjang tahun 2009, sedikitnya 3.531.613 kasus yang masuk ke pengadilan, yang 90,1 diantaranya masuk ke pengadilan umum.
Sebanyak 85 dari jumlah itu adalah kasus pidana, sementara kasus
239 Wawancara dengan AK, pada tanggal 11 Oktober 2011. 240 Wawancara dengan SA, Agustus 2011.
231
perdata hanya 5,1. Persoalan lainnya adalah konsentrasi advokat yang hanya terdapat di kota-kota besar khususnya di Jawa. Data Maret
2010 memperlihatkan dari jumlah 11.333 orang advokat, 7.954 orang diantaranya terdapat di Jawa. Dari jumlah tersebut 4.045 berada di
Jakarta, sedangkan yang berada di luar Jakarta, hanya 3.909 orang advokat. Jika di lihat persebaran berdasarkan pulau, di Sumatera
terdapat 2.351 advokat, 7.954 advokat di Jawa, di Kalimantan terdapat 482 advokat, Sulawesi memiliki 113 advokat, Bali dengan 281 advokat,
78 advokat di Nusa Tenggara, dan 74 advokat di Papua.
Diagram 11: Persebaran Advokat Berdasarkan Pulau
Sumber: Pusat Bantuan Hukum PERADI, 2010.
Dalam setiap pulau, pun sangat terlihat ketimpangan ketersediaan advokat di tiap kota, mayoritas advokat hanya tersedia di kota-kota
besar. Di Sumatera, 1.045 orang advokat tersedia di Medan, artinya dari 11 Dewan Pimpinan Cabang DPC Peradi yang ada di Sumatera,
44,44 advokat ada di Medan. Sisanya tersebar di 10 cabang lainnya. Keseluruhan DPC Peradi yang ada, umumnya pun masih terkonsentrasi
hanya di kota-kota besar, ibukota provinsi khususnya, dan belum merata di seluruh kabupatenkota.
232
Tantangan lainnya adalah masih munculnya perdebatan apakah hak atas bantuan hukum ini dapat dilepaskan begitu saja oleh tersangka
terdakwa khususnya bagi mereka yang miskin, diancam pidana 15 tahun atau lebih, dan diancam dengan pidana mati? KUHAP menjelaskan
bahwa “menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan
bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam Pasal
21 ayat 4 huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun,
penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di tempat itu”.
241
Penjelasan dari KUHAP ini sebenarnya menegaskan bahwa untuk orang yang diancam dengan pidana lebih dari 15 tahun ataupun
diancam dengan pidana mati maka sifat penunjukkan ini adalah wajib tanpa melihat faktor ketersediaan advokat di suatu wilayah. Data dari
obervasi LeIP di PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, dan PN Jakarta Barat menunjukkan sebaliknya:
242
241 Lihat penjelasan Pasal 56 ayat 1 KUHAP. 242 Lihat Laporan Final Survey dan Monitoring terhadap Pelaksanaan Bantuan Hukum
di Indonesia 2010 diunduh dari http:leip.or.idimagesleipFinal_Report_Legal_ aid_monitoring_BHS.docx.
233
Diagram 12: Pendampingan advokat berdasarkan ancaman hukuman
Sumber: Lembaga Kajian untuk Independensi Peradilan, 2010.
Melihat data ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi positif antara jumlah sebaran advokat dengan implementasi hak atas
bantuan hukum bagi tersangka. Dari temuan yang diperoleh, rata- rata narasumber yang diwawancarai, menyatakan bahwa jarang sekali
tersedia advokat yang memberikan pendampingan hukum ketika ada seseorang dalam tahanan terutama pada tahap penyidikan, apalagi
advokat yang sifatnya probono. Labih lanjut, berdasarkan data dari Pusat Bantuan Hukum PERADI, pada 30 Maret 2010, konsentrasi
advokat terbesar berada di wilayah Jakarta, sebanyak 4.253 orang advokat, serta mayoritas terkonsentrasi di Jakarta Selatan dan Jakarta
Pusat.
234
Digaram 13: Persebaran advokat di Jakarta
Sumber: Pusat Bantuan Hukum PERADI, 2010.
Sebenarnya berbagai peraturan internal untuk implementasi pasal 56 KUHAP di masing-masing lembaga telah secara tegas mencantumkan
hak didampingi oleh pengacara dalam proses penahanan. Misalnya pada tingkat penyidikan. Pasal 96 Perkap 12 menyatakan secara tegas
tindakan penahanan harus senantiasa menghormati dan menghargai hak-hak tersangka yang ditahan meliputi ”….g. tahanan berhak untuk
mendapatkan bantuan hukum”. Dalam Pasal 102 ayat 2 dinyatakan “Setiap pemeriksaan terhadap tersangka dapat didampingi oleh
penasihat hukumnya”. Pasal 103 juga menyatakan bahwa “Dalam hal petugas melakukan tindakan pemeriksaan terhadap tersangka, wajib:
a. memberikan kesempatan terhadap tersangka untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai“. Pasal 104
menambahkan, “Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap saksi tersangka, petugas dilarang: a. memeriksa saksitersangka sebelum
didampingi oleh penasihat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa”.
Namun dalam tataran praktis hal ini susah dilaksanakan karena di tingkat penyidikan terkesan sifatnya hanya fakultatif yakni “dapat
235
didampingi“ atau “memberikan kesempatan untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai“ seperti
pendapat bebeberapa mantan tahanan.
“………Biasanya sih petugas biasanya hanya bersifat menawarkan saja, namun ga pernah menyediakan pengacara, apalagi pengacaranya
harus kita bayar sendiri….kita tak mampu pak... ”.
“ …….susah pak cari pengacara, apalagi kita orang miskin…………… bagaimana membayarnya pak, kalau kita orang kaya ga masalah
”. Sulitnya askes bantuan hukum ini khususnya untuk orang–orang
miskin telah membuat posisi orang miskin menjadi lemah dan rentan terhadap upaya paksa yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh
penyidik.
Dalam praktik ada beberapa isu yang muncul terkait dengan hak atas bantuan hukum tersebut. Misalnya seringnya dalam Berita Acara
Pemeriksaan Tersangka di tingkat Penyidikan selalu ada formulasi pertanyaan tentang apakah tersangkaterdakwa akan menggunakan
hak untuk didampingi pengacara dan penasehat Hukum. Dan dalam kasus anak, banyak ditemui munculnya Surat Penolakan Didampingi
Advokat dan Berita Acara Penolakan Didampingi Advokat. Belum lagi sering ditemukan Surat Penunjukkan Advokat dari pihak Kepolisian
meskipun tak dikehendaki tahanan. Keseluruhan hal tersebut, biasanya dilakukan pada waktu yang bersamaan.
Di pengadilan, masih sangat sedikit putusan yang mengafi rmasi bahwa hak atas bantuan hukum ini menjadi ketentuan penting untuk
melindungi hak-hak tersangka ketika berhadapan dengan negara. Beberapa putusan penting antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung RI No 1565 KPid1991 tertanggal 16
September 1993 yang menyatakan pada pokoknya, “apabila syarat – syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk
penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima”.