132
Dalam hal pemakaman tahanan yang meninggal, ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.061983 menyerahkan
pelaksanaan pemakaman mayat tahanan yang meninggal kepada keluarga. Prinsip ini tidak mengurangi kewajiban Rutan untuk melaksanakan
pemakaman dalam keadaan: 1 Apabila keluarganya tidak diketahui dan tidak dapat ditemukan setelah diusahakan pencarian secara wajar, keluarga
tidak memberi penegasan tentang penyelenggaraan pemakaman setelah dihubungi dalam waktu paling lambat 2x 24 jam; 2 Apabila keluarga
dengan pernyataan tertulis menyerahkan penyelenggaraan pemakaman kepada Rutan. Apabila yang menyelenggarakan pemakaman dilakukan
Rutan, biaya pemakaman dibebankan kepada negara.
12.3. Hak atas perawatan rohani
Selain memiliki hak atas perawatan jasmani yang baik, tahanan juga memiliki hak atas perawatan rohani, atau lebih tepatnya “pembinaan
rohani”. Perawatan jasmani dan pembinaan rohani tahanan dalam rutan, semestinya diberikan dalam porsi yang selaras kualitas dan
kuantitasnya.
Pelaksanaan yang seimbang dan layak memang memerlukan pembiayaan, fasilitas, keterampilan dan dedikasi petugas Rutan. Pasal
13 dan Pasal 14 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.061983 menyebutkan, tahanan berhak mendapatkan fasilitas pendidikan,
keagamaan, serta olahraga dan kesenian.
12.4. Larangan wajib kerja
Larangan wajib kerja diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kehakiman No.M.04.UM.01.061983. Menurut ketentuan ini, selama
seseorang berada dalam status penahanan Rutan: 1 Para tahanan tidak dikenakan wajib kerja; 2 Namun hal ini jangan diartikan secara sempit.
Seandainya pekerjaan itu terbatas untuk membersihkan kamar tidur dan tempat tidur serta ruangan, pekerjaan yang demikian tidak termasuk
kategori wajib kerja; 3 Bagi para tahanan yang ingin bekerja secara sukarela tidak ada larangan, dan untuk itu harus ada izin dari instansi
yang menahan. Sarana kerja bagi tahanan yang dengan sukarela ingin bekerja, disediakan oleh Rutan; 4 Bagi tahanan yang bekerja dapat
diberi upah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
133
12.5. Hak mendapat kunjungan
Setiap tahanan berhak untuk mendapatkan kunjungan, baik dari keluarga maupun penasihat hukumnya. Sebelum berkunjung, keluarga terlebih
dahulu mendapat izin dari instansi yang menahan. Setiap anggota keluarga atau orang lain yang ingin mengunjungi tahanan dalam Rutan harus
“minta surat izin” dari instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Tanpa surat izin kunjungan tidak dapat diperkenankan
Petugas Rutan. Akan jadi problem jika instansi yang menahan adalah Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, yang letaknya jauh dari tempat
dilakukannya penahanan. Pelayanan hukum yang seperti ini secara tidak langsung telah membunuh hak tahanan untuk mendapat kunjungan
dari keluarga atau penasihat hukum. Tata cara semacam ini tidak praktis, bahkan keterlaluan dan berlebihan, jika setiap kali keluarga atau penasihat
hukum hendak mengunjungi terdakwa yang berada dalam Rutan harus ke Jakarta terlebih dulu meminta surat izin berkunjung.
131
Pasal 20 Peraturan Menteri Kehakiman mengatur dengan rinci tata tertib pertemuan dan pembicaraan antara penasihat hukum dengan
orang yang ditahan. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan:
1. Penasihat hukum harus lebih dulu meminta izin dari instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Jika
instansi yang menahan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, izin diminta dan diberikan oleh Pengadilan Negeri
sebagai instansi yang mewakili.
131 Menurut Yahya Harahap, peraturan seperti ini jelas bersifat diskriminatif. Sifat diskriminatif bertentangan dengan prinsip negara hukum, yang menempatkan semua
warga negara sama di depan hukum. Berdasarkan pemikiran di atas, cukup alasan untuk mencari dan menemukan prosedur hukum yang praktis dan legal. Untuk
menemukan prosedur yang praktis dan legal tadi, kita tempatkan Pengadilan Negeri sebagai suatu rangkaian struktural dan fungsional dengan Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung. Ditinjau dari segi struktur dan fungsi, Pengadilan Negeri sebagai unit yudikatif terbawah yang ditempatkan di daerah, sekaligus merupakan pos dan
perwakilan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung yang diwakilinya. Dengan demikian, Pengadilan Negeri berwenang mengeluarkan izin berkunjung untuk dan
atas nama Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Oleh karena itu, apabila instansi yang menahan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, permintaan izin
diajukan kepada Pengadilan Negeri.
134
2. Pelaksanaan kunjungan pertemuan dan pembicaraan akan diatur oleh Kepala Rutan. Sudah barang tentu pengaturan itu dapat
memberi kemungkinan bagi penasihat hukum dan tahanan mengadakan pembicaraan dalam batas-batas yang dibenarkan
undang-undang. Sedapat mungkin pertemuan dan pembicaraan itu diatur dalam suatu tempat atau ruangan yang bebas dari
gangguan tahanan lain, sehingga pertemuan dan pembicaraan efektif dan efi sien.
3. Petugas Rutan mengawasi pertemuan tanpa mendengar isi pembicaraan within sight and not within hearing kecuali dalam
hal kejahatan terhadap keamanan negara. 4. Dari ketentuan ini, prinsip pengawasan yang dilakukan petugas
Rutan atas pertemuan dan pembicaraan penasihat hukum dan tahanan, hanya bersifat sebagai “penonton”, sepanjang perkara
yang disangkakan kepada tahanan tidak menyangkut perkara kejahatan terhadap keamanan negara.
5. Petugas dapat memberi “peringatan” kepada penasihat hukum“. Jika penasihat hukum menyalahgunakan haknya
dalam pembicaraan dengan tahanan maka kepala rutan dapat memberikan teguran kepada penasihat hukum dan
memberitahukan kepada instansi yang menahan”.
6. Apabila penasihat hukum mengabaikan pengawasan pertemuan dan pembicaraan, maka pengawasan berikutnya akan lebih
diperketat. Pengetatan pengawasan oleh petugas Rutan dilakukan setelah berkonsultasi pada instansi yang menahan.
Pengetatan pengawasan merupakan tindakan yang dibenarkan hukum, setelah lebih dahulu pihak Rutan mengadakan
konsultasi dengan pihak yang menahan.
7. Tahap pelarangan atau pemutusan hubungan antara penasihat hukum dengan tahanan, baru dapat dilakukan apabila
peringatan diabaikan.
135
13. Pengujian keabsahan penahanan
Mekanisme kontrol terhadap upaya penahanan tidak terpisahkan dari hak untuk menguji keabsahan upaya penahanan. Oleh karena
penahanan merupakan upaya paksa dari negara terhadap hak dan kebebasan bergerak seseorang, maka jaminan untuk melakukan
pengujian penahanan merupakan syarat penting.
Berdasarkan pengalaman yang cukup lama dari negara-negara lain seperti Perancis, Belanda dan Amerika Serikat dalam menjalankan
sistem pengujian penahanan. Dari praktik di beberapa negara tersebut dapat diambil komparasi, seperti lembaga judge d’ instruction di Perancis.
Lembaga ini mempunyai wewenang untuk memeriksa terdakwa, saksi- saksi dan alat-alat bukti lainnya. Judge d’ Instruction dapat membuat
berita acara pemeriksaan, melakukan penahanan, penyitaan, bahkan menentukan apakah cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Akan tetapi, hanya perkara besar dan sulit pembuktiannya yang dilakukan pemeriksaan melalui judge d’ instruction.
132
Di Belanda, dikenal Hakim Komisaris Rechter Commissaris. Melalui pranata
ini, hakim berfungsi baik sebagai pengawas, sekaligus berwenang melakukan eksekusi. Hakim tidak hanya menguji atau berperan
sebagai examinating judge tetapi juga berperan sebagai investigating judge
dimana hakim berwenang memeriksa saksi dan tersangka.
133
Selain Rechter Commissaris, di Belanda juga dikenal pranata submissie
134
dan compositie. Kedua pranata tersebut berkaitan dengan perkara yang
132 Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Jakarta: Sinar Grafi ka, 2002, hal. 193.
133 Loebby Loqman,
Praperadilan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal. 47 134 Submissie diadakan atas permohonan terdakwa yang disepakati oleh penuntut
umum yang berisi permasalahan-permasalahan yang sulit pembuktiannya di persidangan. Kesepakatan tersebut diajukan kepada hakim untuk dimintai
putusan hakim tanpa melakukan pembuktian di persidangan. Hakim dengan kewenangannya akan memutus mengenai hal atau kasus tersebut. Dalam
compositie, jaksa penuntut umum dapat menghentikan proses penuntutan dengan cara terdakwa membayar sejumlah uang tertentu. Pembayaran uang tertentu ini
dimaksudkan sebagai penebusan, terutama untuk kejahatan ringan.