Penerapan unsur Pasal 21 ayat 1 KUHAP

243 Pendapat hukum tersebut dengan tegas menguatkan kedudukan unsur yuridis sebagai ukuran dan mengesampingkan perbedaan penafsiran dari pemohon dan termohon tentang kondisi yang menjadi unsur keadaan kekhawatiran. Hakim praperadilan tidak mencari titik temu perbedaan penafsiran tentang unsur keadaan kekhawatiran. Pendapat hukum tersebut juga tidak mempertimbangkan perlu tidaknya penahanan dilakukan karena hakim menilai penyidik sudah menggunakan ukuran syarat obyektif. Dalam praktik, untuk menentukan ada tidaknya unsur yuridis, terdapat perbedaan putusan apakah dibutuhkan pembuktian di persidangan praperadilan bahwa telah diduga terjadi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP atau tidak harus dengan melakukan pembuktian di praperadilan karena pembuktian hanya dilakukan dalam pemeriksaan pokok perkara.

2.3. Penerapan unsur Pasal 21 ayat 1 KUHAP

Terhadap pengujian sah tidaknya penahanan ditinjau dari unsur keadaan kekhawatiran dilakukan penahanan, terdapat perbedaan dalam praktik praperadilan. Pertama, putusan yang berpendapat unsur keadaan kekhawatiran harus jelas dimuat dalam dan dapat diuji. Pendapat pertama tidak banyak diikuti hakim praperadilan. Tim peneliti hanya menemukan satu pengujian terhadap unsur keadaan kekhawatiran. Kedua, unsur keadaan kekhawatiran menjadi kewenangan penyidik dan penuntut umum. Tentang perlunya menuangkan unsur keadaan kekhawatiran dalam Surat Perintah Penahanan, putusan No.04Pra.Pid.B2010PN.Mks memuat pendapat harus ada memuat secara jelas adanya suatu keadaan memaksa. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim praperadilan menyebutkan: “Termohon Praperadilan semestinya mencantumkan secara jelas “adanya suatu keadaan” yang menimbulkan kekhawatiran bahwa 244 Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana vida Pasal 21 ayat 1 KUHAP dan apabila itu tidak dilakukan maka panggilan itu adalah menjadi tidak sah menurut hukum. Surat Perintah Penahanan yang dibuat oleh Termohon yang tidak secara nyata-nyata mencantumkan dan menjelaskan “adanya suatu keadaan” yang menimbulkan kekhawatiran, adalah termasuk kategori Penahanan yang tidak sah menurut hukum dengan segala akibat hukumnya ”. 245 Pendapat hukum seperti di atas tidak banyak diikuti putusan praperadilan lainnya. Pendapat hukum lain yang banyak dianut hakim praperadilan adalah pendapat yang menyerahkan keadaan unsur keadaan kekhawatiran kepada penyidik dan penuntut umum. Dalam putusan No. 3Pid.Pra2009PN.KPG disebutkan berikut: ”Alasan pada point a merupakan alasan yang bersifat subyektif, sehingga keputusan untuk melakukan penahanan sangat bergantung pada keadaan subyektifi tas baik tersangka maupun pejabat yang berwenang untuk melakukan penahanan, dan tidak ada suatu standard ukuran yang pasti dapat digunakan untuk mengukur kekhawatiran, sehingga sudah cukup apabila ada kekhawatiran terhadap diri tersangka dari pejabat yang berwenang untuk melakukan penahanan, bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana, dan alasan penahanan seperti tersebut di atas adalah sah menurut hukum ”. 246 245 Dalam perkara praperadilan ini, hakim praperadilan memutuskan 1 mengabulkan permohonan praperadilan seluruhnya; 2 Menyatakan penahanan yang dilakukan Termohon praperadilan kepada Pemohon praperadilan berdasarkan Surat Perintah Penahanan dan Surat Perintah Penahanan tidak sah menurut hukum ; 3 Membebaskan tersangka segera dari Rumah Tahanan Negera; 4 Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;. 246 Dalam putusan yang sama pada halaman 22 paragraph yang lain PN Kupang secara tegas menyebutkan bahwa yang menentukan seorang tersangka ditahan atau tidak adalah ada pada penilai dari pejabat yang berwenang dan tidak pada penilaian tersangka. 245 Tentang adanya bukti yang cukup, putusan No. 08Pid.Prap2008 PN.Jkt.Sel dapat d ij adikan contoh, dimana hakim menyebutkan: “Sehingga keputusan untuk melakukan penahanan sangat bergantung pada keadaan subyektifi tas baik Tersangka yang akan ditahan maupun pejabat yang berwenang menahan dan tidak ada parameter yang pasti yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kekhawatiran, sehingga telah cukup dan sah apabila dari keadaan pada diri Tersangka pejabat yang berwenang menahan mempunyai kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana” . Dalam putusan No. 5Pid.Pra2008PN.KPG sepanjang ketentuan Pasal 21 ayat 1 KUHAP mempertimbangkan ”bahwa alasan pada point 1 merupakan alasan yang bersifat subyektif sehingga keputusan untuk melakukan penahanan sangat bergantung pada keadaan subyektifi tas baik Tersangka yang akan ditahan maupun pejabat yang berwenang menahan dan tidak ada parameter yang pasti yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kekhawatiran, sehingga telah cukup dan sah apabila dari keadaan pada diri Tersangka pejabat yang berwenang menahan mempunyai kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana ”. Dari petikan beberapa putusan praperadilan, terlihat hampir semua putusan praperadilan menganut pendapat bahwa kewenangan menguji sah tidaknya penahanan hanya menguji aspek formal. Beberapa argumentasi hakim yang mendukung pembatasan pada pengujian formal penahanan adalah tidak ada parameter mengukur kekhawatiran. Pendapat hukum dalam putusan praperadilan demikian dipicu karena KUHAP tidak mengatur secara lebih rinci unsur keadaan kekhawatiran. Seharusnya KUHAP memberikan indikator atau setidaknya tindakan awal akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Pada sisi lain, meski KUHAP tidak 246 mengatur secara ketat indikator-indikator tersebut, hakim praperadilan seharusnya dapat memperluas lingkup unsur keadaan kekhawatiran dengan membuat indikator-indikator tertentu.

2.4. Pengujian tata cara penahanan