102
11. Pengaturan mengenai tempat penahanan
11.1. Rumah Tahanan Negara Rutan
Pasal 22 ayat 1 KUHAP menyebutkan, selama rumah tahanan belum ada pada suatu tempat tertentu, penahanan dapat dilakukan di kantor
kepolisian negara, kantor kejaksaan negeri, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, dan dalam keadaan mendesak bisa di tempat lain. Akibat
ketidaktersediaan Rutan yang memadai untuk melakukan penahanan pra-persidangan, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM
dahulu Departemen Kehakiman, mengambil jalan pintas dengan cara menjadikan beberapa Lapas sekaligus sebagai Rutan.
Keb ij akan di atas kemudian diperkuat dengan keluarnya PP No.
27 Tahun 1983 yang mengharuskan pendirian tempat penahanan di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya. Bahkan jika perlu
didirikan cabang rumah tahanan di luar ibukota kecamatan. Selanjutnya pada 16 Desember 1983, Pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menteri kehakiman No M.04 UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah
Tahanan. Keputusan menteri Kehakiman dimaksud mempunyai dua lampiran: 1 Lampiran I; berisi da
t ar Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rutan; dan 2 Lampiran II; berupa da
t ar Lembaga pemasyarakat yang disamping tetap dipergunakan sebagai Lembaga
Pemasyarakatan, beberapa ruangannya ditetapkan sebagai Rutan. Pada masa awal terbitnya Keputusan Menteri Kehakiman tersebut
jumlah Lapas seluruh Indonesia yang dialihfungsikan sebagai rumah tahanan negara sebanyak 291, sedangkan yang dialihfungsikan
sebagian sebanyak 83 tempat.
Meski sudah disediakan tempat penahanan, baik di Rutan maupun yang berupa blok khusus di Lapas, sebagian besar tahanan lain masih
berada di dalam rumah tahanan polisi, militer, dan kejaksaan. Setelah reformasi politik 1998, pasca-dikeluarkannya polisi dari struktur
militer berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara
103
Republik Indonesia, polisi masih diperkenankan menjalankan fungsi pengelolaan rumah tahanan. Hingga kini pengelolaan tahanan di
Indonesia secara dominan masih dipegang oleh dua instansi, yakni Polri, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Data Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan, saat ini sedikitnya beroperasi 488 tempat penahanan, yang terdiri dari 180 Lapas, 16 Lapas
Narkotika, 16 Lapas Anak, 7 Lapas Wanita, 2 Lapas Pemuda, 5 Lapas Terbuka, 141 Rutan, 57 Cabang Rutan, dan 70 Bapas. Sementara yang
belum operasioanal—baru dilakukan pembangunan, sebanyak 102 tempat penahanan. Tempat penahanan yang secara khusus dinyatakan
sebagai rumah tahanan negara masih tetap jumlahnya, sebanyak 264 rumah tahanan dan cabang rumah tahanan. Jumlah ini sebenarnya
tidak jauh bergeser sejak tahun 1983, bahkan mengalami penurunan, dari angka 291 menjadi 264.
Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Semua tahanan berada dan ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali. Tetapi tempat tahanan
biasanya dipisahkan berdasarkan: jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan.
94
Rutan dipimpin oleh Kepala Rutan yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri,
95
yang kemudian mengatur tata tertib Rutan berdasarkan pedoman yang ditentukan Menteri
Kementerian Hukum dan HAM. Disebutkan dalam Pasal 21 ayat 1 PP No. 27 Tahun 1983, Rutan dikelola oleh Departemen Kehakiman
Kementerian Hukum dan HAM di bawah Ditjen Pemasyarakatan.
94 Pasal 19 PP No 27 Tahun 1983 jo. Pasal I Peraturan Menteri kehakiman No. M.04.
UM.01.06 Tahun 1983. 95
Pasal 22 PP No. 27 Tahun 1983.
104
Tabel 5: Jumlah tempat penahanan di Indonesia yang dikelola Ditjen Pemasyarakatan
No. Jenis Tempat Penahanan
Operasional Belum
Operasional Jumlah
1 Lembaga Pemasyarakatan
180 14
194 2
LAPAS Narkotika 16
28 44
3 LAPAS Anak
16 1
17 4
LAPAS Wanita 7
1 8
5 LAPAS Pemuda
2 -
2 6
LAPAS Terbuka 5
- 5
7 Rumah Tahanan
141 59
200 8
Cabang RUTAN 57
7 64
9 Balai Pemasyarakatan
70 2
72 Jumlah
494 102
590
Sumber: Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, 2010.
Salah satu fungsi operasional Kepala Rutan dan Lapas adalah menerima tahanan dari aparat penegak hukum, yang masih dalam
proses penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan.
96
Dalam melakukan penerimaan tahanan, Rutan harus melakukan pencatatan penerimaan tahanan dalam buku register da
t ar tahanan berdasar tingkat pemeriksaan. Kita mengenal tiga jenis buku register
di Rutan, yaitu untuk tahanan di tingkat penyidikan, tahanan di tingkat penuntutan, dan tahanan di tingkat pemeriksaan
pengadilan. Ke dalam register inilah para tahanan didaftar dan dicatat sesuai status tingkat pemeriksaan yang sedang dijalani.
Kepala Rutan tidak boleh menerima tahanan tanpa disertai surat penahanan yang sah.
97
96 Pasal 19 ayat 4 PP No. 271983 jo. Pasal 2 Pengaturan Menteri Kehakiman No.
M.04.UM.01.06 Tahun 1983. 97
Pasal 19 ayat 4 PP No. 271983.
105
Penelitian Surat dasar penahanan dilakukan untuk melihat apakah suatu penahanan sah atau tidak, sesuai dengan surat yang menjadi
dasar penahanan. Apakah penahanan dilengkapi “surat perintah” penahanan dari penyidik atau penuntut umum atau “surat penetapan”
penahanan dari hakim? Jika tidak ada surat perintah penahanan atau surat penetapan penahanan, Kepala Rutan dilarang untuk menerima
tahanan. Tujuan lain penelitian adalah untuk mencocokkan identitas tahanan, agar tidak terjadi kekeliruan orang yang ditahan. Selain itu,
pejabat Rutan dibenarkan melakukan penggeledahan badan dan barang-barang yang dibawa tahanan.
98
Setiap barang atau uang yang diperoleh pejabat Rutan dari hasil penggeledahan kemudian dicatat
dalam register barang penggeledahan, dan ditandatangani oleh petugas dan tahanan bersangkutan. Dalam melaksanakan tindakan penggeledahan,
pejabat Rutan wajib mematuhi beberapa ketentuan:
99
1 Penggeledahan badan tahanan perempuan harus dilakukan oleh “petugas perempuan”;
dan 2 Barang-barang yang berbahaya segera dirampas atau dimusnahkan.
Kotak 1: Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.UM.01.06 TH 1983
Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan Yang Ditetapkan Sebagai Rutan
Lembaga Pemasyarakatan yang disamping tetap sebagai LP Beberapa
Ruangannya Ditetapkan Sebagai Rutan DKI JAKARTA
2 DKI JAKARTA
2 JAWA BARAT
13 JAWA BARAT
6 JAWA TENGAH DAN DIY
28 JAWA TENGAH DAN DIY
9 JAWA TIMUR
26 JAWA TIMUR
8 SUMATERA UTARA
27 SUMATERA UTARA
5
98 Pasal 3 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri... Op.Cit.
99
Pasal 3 ayat 2 dan 3 serta Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Kehakiman.
106
SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGGARA
23 SULAWESI SELATAN DAN
SULAWESI TENGGARA 7
DI. ACEH 16
DI. ACEH 3
SUMATERA BARAT 16
SUMATERA BARAT 3
RIAU 12
RIAU 2
SUMATERA SELATAN DAN JAMBI
19 SUMATERA SELATAN DAN
JAMBI 6
LAMPUNG DAN BENGKULU 8
LAMPUNG DAN BENGKULU 3
KALIMANTAN BARAT 6
KALIMANTAN BARAT 2
KALIMANTAN SELATAN DAN KALIMANTAN TENGAH
11 KALIMANTAN SELATAN DAN
KALIMANTAN TENGAH 5
KALIMANTAN TIMUR 3
KALIMANTAN TIMUR 2
SULAWESI UTARA DAN SULAWESI TENGAH
15 SULAWESI UTARA DAN
SULAWESI TENGAH 6
BALI DAN NTB 9
BALI DAN NTB 5
NTT DAN TIMOR TIMUR 10
NTT DAN TIMOR TIMUR 4
MALUKU 17
MALUKU 2
IRIAN JAYA 15
IRIAN JAYA 3
Fungsi lain yang mesti dipenuhi pejabat Rutan dalam penerimaan tahanan ialah membuat “da
t ar bulanan” tentang tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Ini diatur dalam Pasal 19 ayat 5 PP No
27 Tahun 1983. Laporan ini selanjutnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan, dan tembusannya disampaikan kepada
pejabat yang bertanggung jawab secara hukum atas tahanan, serta Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Kepala Rutan juga wajib memberitahukan pejabat yang menahan bila ada tahanan yang hampir habis masa penahanan atau perpanjangan
penahanannya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat 6 PP No 27 Tahun 1983. Pemberitahuan ini penting untuk menghindari
kelalaian pihak yang bertanggung jawab atas penahanan. Kepala Rutan juga memiliki tugas dalam pengeluaran tahanan, terkait “keperluan”
107
atau “kepentingan” penyidikan atau pengadilan, atau kepentingan diri pribadi tahanan, seperti pemeriksaan kesehatan dan sebagainya.
Tugas lain dari pejabat Rutan adalah membebaskan tahanan dari Rutan. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar untuk membebaskan
seorang tahanan dari Rutan. Dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.0611983 disebutkan tiga syarat
untuk membebaskan tahanan: 1 InstansiPejabat yang menahan memerintahkan pembebasan tahanan dari Rutan karena tidak
diperlukan lagi penahanan; 2 Apabila hukuman yang d
ij atuhkan dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah sesuai
dengan masa tahanan yang telah d ij alani; dan 3 Pembebasan
tahanan demi hukum karena masa penahanan telah usai.
108
Kotak 2: Problematika Pembebasan Tahanan Demi Hukum
Meskipun dalam KUHAP ditentukan pembebasan tahanan demi hukum wajib dilakukan tanpa prosedur atau syarat apapun, namun
Kepala Rutan masih terbelunggu Pasal 28 Peraturan Menteri Kehakiman No M.04.UM.1.061983. Berdasarkan aturan ini dalam
waktu 10 hari sebelum habis masa penahanan, Kepala Rutan wajib memberitahukan kepada instansipejabat yang menahan dan apabila
ternyata tidak ada perpanjangan sebelum tahanan dikeluarkan demi hukum Kepala Rutan wajib berkonsultasi dengan instansipejabat
yang menahan. Secara mendasar Peraturan ini jelas bertentangan secara vertikal dengan ketentuan Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4,
Pasal 26 ayat 4, Pasal 27, dan Pasal 28 ayat 4 KUHAP.
Selain itu penting juga melihat keberadaan Surat Edaran Bersama antara Mahkamah Agung dan Dirjen Pemasyarakatan No MA
PAN36001983-E1. UM 04.11.227 tertanggal 19 November 1983, tidak wajib bagi Kepala Rutan untuk membebaskan tahanan
demi hukum apabila perkara tersebut adalah perkara subversi, perkosaan, penyelundupan, pembunuhan, narkotika, atau perkara–
perkara lain yang menarik perhatian masyarakat. Kepala Rutan wajib berkonsultasi dengan Ketua PN dan hasil konsultasi tersebut
disampaikan oleh Ketua Pengadilan Negeri ke Ketua Muda Bidang Pidana Umum di MA. MA selanjutnya akan berkonsultasi dengan
Dirjen Pemasyarakatan sebelum perlu tidaknya terdakwa tetap ditahan. Demikian juga apabila masa tahanan telah sesuai dengan
vonis Pengadilan di tingkat PN namun perkaranya masih berada pada tingkat kasasi, Kepala Rutan wajib menanyakannya terlebih
dahulu kepada MA.
109
Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No E.203.PK.02.03 Tahun 1987 sebagai penjelasan dari Surat Edaran Bersama di atas juga
menetapkan 1 KarutanKalapas wajib memberitahukan kepada pihak yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan, akan
habisnya masa penahanan atas perpanjangan penahanan dengan ketentuan sebagai berikut: a. 10 hari menjelang habisnya masa
penahanan atau perpanjangan penahanan KarutanKalapas memberitahukan kepada pihak yang bertanggung jawab secara
yuridis atas tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaannya; b. KarutanKalapas memberitahukan kepada pihak yang menahan
bahwa tiga hari lagi masa penahanannya telah berakhir; c. Karutan Kalapas mengadakan konsultasi dengan pihak yang menahan untuk
mengingatkan bahwa tahananterdakwa yang bersangkutan sudah habis masa penahanannya. 2. Sebagai pegangan KarutanKalapas
dalam menangani masalah penahanan, selain menempuh prosedur di atas, hendaknya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut: a. KarutanKalapas agar tetap menahan terdakwa meskipun masa penahanannya sudah habis, apabila permohonan perpanjangan
penahanan telah dikirimkan kepada pihak yang berwenang menahan PNPTMA; b. Para pelaku tindak pidana Perkosaan, Narkotika,
Penyelundupan, Pembunuhan dan tindak pidana yang mendapat sorotan dari masyarakatmass media, agar tetap ditahan walaupun
masa penahanannya sudah habis dan berkonsultasi terus dengan pihak yang berwenang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
c. Sementara Surat Penahanan dari Pengadilan Banding atau pengadilan Kasasi belum diterima, hendaknya agar amar putusan
yang menyatakan bahwa terdakwa tetap ditahan atau berada dalam tahanan d
ij adikan pegangan sambil menunggu Surat Penetapan dari yang berwenang tersebut.
110
Seluruh ketentuan tersebut jelas telah menjadi salah satu sebab terjadinya penumpukan tahanan karena overstaying di dalam
Rutan. Untuk mengurangi ini, Menteri Hukum dan HAM telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor M HH-24 PK 01.01.01 Tahun
2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum. Salah satu isi dalam peraturan tersebut yaitu, Kepala Rutan wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pejabat yang berwenang menahan mengenai tahanan yang akan habis masa penahanan atau habis masa perpanjangan
penahanannya. Pemberitahuan tersebut dilakukan paling lambat 10 hari sebelum masa penahanan atau masa perpanjangan penahanan
berakhir. Kepala Rutan atau Kepala Lapas wajib mengeluarkan tahanan demi hukum yang telah habis masa penahanan atau habis
masa perpanjangan penahanannya. Namun untuk mengeluarkan tahanan demi hukum terhadap tahanan yang ditahan karena
melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan HAM
yang berat, serta perkara lainnya yang menarik perhatian masyarakat, Kepala RutanKepala Lapas harus berkoordinasi terlebih dahulu
dengan Ketua Pengadilan Tinggi. Bila Ketua Pengadilan Tinggi tidak menindaklanjuiti hasil koordinasi tersebut maka Kepala Rutan
Kepala Lapas wajib mengeluarkan tahanan demi hukum.
11.2. Rumah Tahanan Polri