Tahanan yang meninggal dalam Rutan

130

12.1.3. Perawatan tahanan yang menderita sakit jiwa

Perawatan tahanan yang menderita sakit jiwa diatur dalam Pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri Kehakiman No.M04.UM.01.061983. Bertitik dari ketentuan ini telah digariskan petunjuk yang menjadi pedoman pelaksanaan sebagai berikut : 1 Tahanan dirawat di rumah sakit jiwa setempat yang terdekat. 2 Perawatan dilakukan berdasar keterangan dokter Rutan. 3 Keterangan itu diberikan dokter Rutan setelah terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan dokter spesialis penyakit jiwa. 4 Mendapatkan izin dari instansi yang menahan Dokter Rutan tidak bisa bertindak sendiri untuk mengeluarkan pendapat dan data medis, sebelum berkonsultasi dengan dokter spesialis penyakit jiwa. Konsultasi ini penting agar dokter Rutan tidak mudah terkecoh oleh para tahanan yang bersandiwara atau pura-pura gila.

12.2. Tahanan yang meninggal dalam Rutan

Apabila ada tahanan yang meninggal dunia “karena sakit” maka Kepala Rutan harus segera mengambil tindakan berikut: 1 Memberitahukan kepada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan, Pemberitahuan kepada keluarga; 2 Mengembalikan barang milik pribadi tahanan kepada keluarga dengan tanda bukti penerimaan. Barang-barang milik tahanan yang tidak diambil atau diperlukan keluarga, jatuh “menjadi milik negara”. Apabila tahanan meninggal dunia karena “sebab lain” atau bukan karena penyakit, tapi karena disebabkan oleh sesuatu hal, seperti mati tiba-tiba, mati karena penganiayaan yang dilakukan tahanan lain, atau penganiayaan dan penembakan yang dilakukan petugas Rutan, Kepala Rutan harus mengambil tindakan penyelesaian berupa: 1 Segera memberitahukan kepada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan; 2 Segera memberitahukan kepada keluarga tahanan, dan membuat berita acara kematian yang disampaikan kepada instansi yang menahan, kepolisian setempat, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, dan Dirjen Pemasyarakatan. 131 Dalam peristiwa meninggalnya seorang tahanan karena sebab lain berlaku ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Menteri Kehakiman, yakni untuk setiap peristiwa kematian yang demikian, diperlukan visum et repertum. Cuma, ketentuan tersebut tidak menegaskan instansi mana yang berwenang untuk meminta visum et repertum , apakah Kepala Rutan atau instansi lain yang berwenang. Ada pendapat bahwa instansipejabat yang berwenang mengajukan permintaan kepada dokter dalam pembutaan visum et repertum adalah penyidik kepolisian. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 133 ayat 1 KUHAP, yang memberi wewenang kepada kepolisian sebagai penyidik untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter apabila terjadi suatu peristiwa kematian yang mencurigakan serta ada dugaan peristiwa kematian itu merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, apabila pihak kepolisian telah menerima berita acara kematian yang dibuat Kepala Rutan, kepolisian meminta kepada dokter yang berwenang untuk membuat visum et repertum. Pembuatan visum et repertum hanya untuk tahanan yang mati karena disebabkan hal lain sebetulnya kurang tepat. Semestinya visum itu diperlukan terhadap setiap kematian yang terjadi pada Rutan. Hal ini diperlukan untuk menjernihkan dan menenteramkan batin pihak keluarga dan masyarakat. Tanpa pembuatan visum et repertum bagi setiap kematian yang menimpa tahanan, bisa terjadi manipulasi yang dilakukan oleh pejabat Rutan yang kurang bermoral. Dan juga untuk menghindari pembongkaran mayat di kemudian hari. Selain itu terdapat kemungkinan kematian bukan karena penyakit, tapi karena penganiayaan yang dilakukan petugas Rutan. 130 130 Kemungkinan seperti ini sering terjadi. Sebagai contoh kasus di Rutan Binjai pada sekitar 1973. Petugas tahanan ramai-ramai bergantian membenturkan kepala seorang tahanan ke tembok. Bahkan sebagian dari petugas menghantam martil ke kepala tahanan. beberapa hari sesudah kematian, baru keluarga diberitahu. Pemberitahuan resmi dari pejabat tahanan yang diterima keluarga adalah karena sakit sehingga tidak dibuat visum. Beberapa bulan kemudian, setelah muncul pemberitaan di surat kabar, barulah pihak Departemen Kehakiman campur tangan serta terjadilah penggalian mayat. Terbongkarlah keterlibatan beberapa petugas Rutan, dan perkaranya diajukan ke pengadilan. 132 Dalam hal pemakaman tahanan yang meninggal, ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.061983 menyerahkan pelaksanaan pemakaman mayat tahanan yang meninggal kepada keluarga. Prinsip ini tidak mengurangi kewajiban Rutan untuk melaksanakan pemakaman dalam keadaan: 1 Apabila keluarganya tidak diketahui dan tidak dapat ditemukan setelah diusahakan pencarian secara wajar, keluarga tidak memberi penegasan tentang penyelenggaraan pemakaman setelah dihubungi dalam waktu paling lambat 2x 24 jam; 2 Apabila keluarga dengan pernyataan tertulis menyerahkan penyelenggaraan pemakaman kepada Rutan. Apabila yang menyelenggarakan pemakaman dilakukan Rutan, biaya pemakaman dibebankan kepada negara.

12.3. Hak atas perawatan rohani