Latar Belakang Masalah Lambang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik. Kelompok etnik tersebut masing-masing mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dalam keragaman etnik ini, pada umumnya masyarakat di Indonesia memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih, yakni bahasa Indonesia selanjutnya disebut BI sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah BD sebagai bahasa ibu. Masyarakat Indonesia akan menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan penutur etnik lain dan akan menggunakan bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan penutur intraetniknya. Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian secara sosiolinguistik disebut sebagai bilingualisme. Sementara itu, seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa disebut penutur bilingual atau multilingual. Istilah bilingualisme diungkapkan Nababan sebagai suatu kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa 1984: 27-29. Dalam komunikasi yang terjadi di antara etnik yang beragam di Indonesia, bahasa yang selalu digunakan sehari-hari adalah BI yang merupakan bahasa nasional. BI digunakan di kantor, di pasar, di sekolah, di tempat-tempat umum, dan bahkan sering sekali juga dipakai di lingkungan rumah atau pada ranah keluarga. Universitas Sumatera Utara Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual sering terdapat peristiwa- peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik antara lain alih kode code- switching, campur kode code-mixing, dan interferensi interference. Alih kode dan campur kode merupakan gejala dalam bahasa yang memang tidak dapat dihindari oleh penutur bilingual. Alih kode yang merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain adalah gejala pemakaian bahasa karena perubahan situasi, sementara campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Dalam peristiwa campur kode maupun alih kode ketika terjadi kontak bahasa di antara penutur bilingual, kemungkinan terjadinya interferensi dalam bahasa selalu ada Budiarsa, 2006. Kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual menyebabkan munculnya gejala interferensi, yaitu penyimpangan dalam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Salah satu penyebab terjadinya interferensi adalah kecenderungan penutur bilingual dalam memasukkan unsur-unsur sistem kedua bahasa yang dikuasainya ketika berbahasa. Hal seperti itu memang tidak dapat dihindarkan karena bagi masyarakat bilingual seperti masyarakat Indonesia, salah satu dampak dari percampuran bahasa ketika berinteraksi sering terjadi suatu gejala dalam bahasa yang salah satunya disebut interferensi bahasa sehingga ranah bahasa tidak memiliki hubungan yang jelas dengan penggunaan bahasa. Penguasaan penutur bahasa terhadap lebih dari satu bahasa memungkinkan terjadinya penyimpangan norma-norma ataupun kaidah-kaidah bahasa yang dapat terjadi mulai dari tataran fonologi, leksikal sampai ke tataran sintaksis. Misalnya, penutur bahasa Indonesia yang berbahasa Inggris mengucapkan fonem p bahasa Inggris pada kata-kata Peter dan petrol menjadi [p εtə] dan [pεtrol] padahal menurut kaidah pengucapan bahasa Inggris, kata-kata Universitas Sumatera Utara tersebut seharusnya diucapkan dengan menggunakan aspirasi yang cara pelafalannya adalah [p h it ə] dan [p h εtrol]. Penyimpangan realisasi bunyi aspirasi seperti itu pernah diteliti oleh Budiarsa 2006 dalam disertasinya yang mengkaji penutur multilingual bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bali yang bekerja sebagai karyawan di hotel-hotel di Bali. Para penutur multilingual di hotel tersebut cenderung melafalkan konsonan bahasa Inggris beraspirasi [p h , t h , k h ] menjadi bunyi tanpa aspirasi. Penyimpangan itu disebabkan para penutur tersebut dipengaruhi BI yang tidak mengenal bunyi-bunyi aspirasi seperti dalam bahasa Inggris. Penyimpangan realisasi bahasa diduga juga akan ditemukan dalam masyarakat Medan yang pada umumnya merupakan penutur bilingual. Salah satu etnik di kota Medan adalah etnik Batak Toba yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnik Jawa, Aceh, Minangkabau, Nias, Melayu, Tionghoa, dan sebagainya. Masyarakat etnik itu merupakan salah satu masyarakat pendatang perantau di Medan yang berasal dari daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Seperti halnya masyarakat etnik lainnya, etnik Batak Toba memiliki bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba selanjutnya disingkat BT. Hidup berdampingan dengan penutur etnik lain di kota Medan menyebabkan penutur BT dituntut untuk menggunakan BI agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat etnik lain di sekitarnya, meskipun pada saat lainnya penutur BT terlihat masih menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan penutur BT lainnya. Sebagai salah satu bahasa daerah dari berbagai bahasa daerah yang terdapat di Medan, BT memiliki pola ataupun kaidah-kaidah tersendiri dalam sistem bahasanya, misalnya pada aspek sintaksis, kalimat BT memiliki pola Verba-Objek-Subjek VOS, seperti dalam kalimat berikut. 1 Manjaha bukku do imana di jolo ni jabuna V O T S K membaca buku dia di depan rumahnya Universitas Sumatera Utara ‘Dia membaca buku di depan rumahnya’ . Pada kalimat 1 dapat dilihat bahwa verba manjaha ‘membaca’ mendahului objek bukku ‘buku’ yang di ikuti oleh partikel pemarkah topik T do, kemudian diikuti subjek imana ‘dia’ dan keterangan di jolo ni jabuna ‘di depan rumahnya’. Pola sintaksis BT tersebut berbeda dengan BI yang berpola kalimat S – V – O , seperti dalam kalimat berikut. 2 Kami memancing ikan di sungai. S V O K Kalimat BI tersebut dapat dianalisis menjadi S kami -V memancing - O ikan, dan K di kolam. Dari segi fonologis, apabila ditinjau dari cara pelafalannya, BT juga memiliki kaidah yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan karena tidak semua fonem atau bunyi dilafalkan seperti yang tertera dalam tulisannya. Banyak didapati asimilasi di antara suku kata yang satu dengan suku kata yang lain atau antara kata yang satu dengan kata yang lain. Kata somba ‘sembah’ akan dilafalkan sevagai [sobba], dengan pola m+b → [bb], ende ‘lagu’ dilafalkan sebagai [edde] dengan pola n+d → [dd]. Hal yang sama terdapat juga dalam persandingan antarkata, misalnya, pasingot hami ‘ingatkan kami’ yang pelafalannya adalah [pasi ŋ0ttami], dengan polanya adalah jajaran fonem t+h → [tt] atau bereng hamu ‘kalian lihat’ dengan jajaran fonem ŋh → [kk] sehingga pelafalannya adalah [bεrεkkamu] . Terlihat bahwa dalam deretan kata tersebut terdapat perubahan bunyi fonem yang disebut asimilasi bunyi. Keberadaan penutur etnik BT di Medan yang bilingual dan hidup berdampingan dengan berbagai etnik dan penutur bahasa yang berbeda sebagaimana telah disebutkan tadi diasumsikan mengalami fenomena interferensi yaitu adanya kecenderungan penutur BT di Medan untuk memasukkan unsur-unsur BI saat bertutur dalam BT. Kata-kata BT seperti partamparahan, raut, Universitas Sumatera Utara dan gaol hampir-hampir tidak terdengar dalam percakapan masyarakat penutur BT di kota Medan. Mereka cenderung mengganti kata-kata itu dengan leksikal BI seperti asbak, pisau, dan pisang. Tidak dapat dipungkiri bahwa BI mengambil peranan yang sangat luas dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Medan, termasuk pada masyarakat BT sehingga diasumsikan bahwa mulai terjadi pergeseran bahasa BT di Medan karena penutur BT terlihat sering menggunakan BT daripada bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan sesama penutur BT. Kalau pun penutur tersebut menggunakan BT, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI di dalam tuturannya. Apabila suatu bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi dalam suatu masyarakat mulai ditinggalkan penuturnya dan menggantikannya dengan bahasa yang lebih dominan, maka ada kecenderungan akan terjadi pergeseran bahasa. Sebagaimana diungkapkan Siregar 1998:3 bahwa apabila bahasa yang biasa digunakan untuk fungsi tertentu sudah mulai ditinggalkan oleh suatu masyarakat bahasa, maka ada kemungkinan terjadi pergeseran bahasa language shift dalam masyarakat itu. Penggunaan bahasa BT oleh masyarakat itu sendiri dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu penggunaan bahasa 1 dalam kehidupan sehari-hari: dalam keluarga, antartetangga sesuku, antarteman sesuku, 2 dalam upacara adat: perkawinan, kelahiran, kematian, dan 3 dalam upacara keagamaan gereja: dalam berkhotbah, saat berdoa, meyampaikan pengumuman, dan sebagainya. Akan tetapi, apabila diperhatikan, penggunaan bahasa BT oleh masyarakat BT di Medan di dalam ketiga ranah pemakaian tersebut, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI. Bahkan, dalam beberapa acara etnik BT yang peneliti ikuti, seperti dalam acara natal Serikat Tolong Menolong STM marga, bahasa daerah ini cenderung tidak digunakan lagi karena acara disajikan dalam BI. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tuturan BT , beberapa kalimat dalam tuturan berikut ini memperlihatkan adanya gejala interferensi dalam sistem BT berupa masuknya unsur BI yang mengakibatkan penyimpangan dalam sistem BT. Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh tuturan berikut. 3 a. Partangiangan di bulan depan di jabu keluarga amang L. Tobing. kalimat tersebut seharusnya adalah sebagai berikut. b. Partangiangan di bulan na ro di jabu ni keluarga perkumpulan pada bulan yang datang di rumah dari keluarga amang L.Tobing bapak L.Tobing ‘Perkumpulan pada bulan depan di rumah keluarga bapak L.Tobing’ Dalam tuturan 3a interferensi terjadi pada tataran frasa BT. Penutur seharusnya mengatakan na ro BT, seperti dalam kalimat 3b. Hal itu merupakan contoh masuknya unsur BI ke dalam BT dalam bentuk kosakata. Masuknya unsur kosakata BI depan ke dalam BT pada contoh di atas dapat dikatakan merupakan penyimpangan, karena sebenarnya kata tersebut ada padanannya dalam BT, sehingga hal sedemikian merupakan bentuk interferensi negatif negative interference. Selain itu pada tuturan di atas terlihat pula adanya penyimpangan terhadap kaidah BT karena penutur tidak menempatkan partikel ni ’dari’ pada frasa jabu keluarga sebab frasa tersebut seharusnya adalah jabu ni keluarga. Hal tersebut mungkin disebabkan penutur BT terpengaruh kaidah BI yang tidak meletakkan preposisi dari untuk menyatakan kepunyaan. Interferensi dalam aspek fonologis adalah bilamana seorang bilingual mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua itu pada bunyi sistem bahasa pertama. Penyimpangan itu dapat dicontohkan terjadi dalam tuturan BT berikut. Universitas Sumatera Utara 4 Tuhor jolo kacang i [tuhor jolo kaca ŋ i] padahal pengucapan yang benar dan sesuai kaidah BT adalah [tuhor jolo hassa ŋ i]. Kata kacang dalam tuturan ini secara ortografis dalam BT adalah hansang. Pada kalimat 4 tersebut terlihat adanya interferensi dari unsur BI pada tataran fonologis, kata kacang seharusnya diucapkan [hassang], tetapi bunyi [h] diucapkan [k] dan bunyi [s] dilafalkan [c] sehingga diucapkan [kaca ŋ] seperti lafal dalam BI. Padahal dalam fonotaktik BT baku, fonem k tidak berposisi di awal kata dan BT baku juga tidak memiliki fonem c. Dampak dari peristiwa interferensi berupa masuknya unsur BI disebabkan penguasaan penutur BT terhadap lebih dari satu bahasa BT-BI seperti contoh-contoh dalam tuturan di atas diasumsikan memungkinkan akan terjadinya pergeseran bahasa BT yang disebabkan terdapatnya campur aduk bahasa saat penutur berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Apalagi dengan adanya pernyataan dalam dunia maya internet oleh seorang pemerhati BT, Charlie Sianipar, mengenai adanya duapuluh lima tanda kepunahan BT yang diantaranya adalah apabila orangtua tidak mau lagi mengajarkan bahasa BT kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga, bila bahasa BT tidak lagi digunakan sebagai bahasa sehari-hari di dalam keluarga www.gmail.co . Disamping itu, Sibarani dalam makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia 1997 mengungkapkan bahwa ada masyarakat bahasa seperti masyarakat BT yang malu menggunakan bahasanya. Hal ini terutama dialami oleh generasi muda atau mahasiswa di kota-kota, misalnya kota Medan. Fenomena yang terjadi pada generasi muda tersebut mengindikasikan sikap mereka terhadap bahasa daerahnya sebagai identitas diri. Saling mempengaruhi bahasa antaretnik pasti terjadi, pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan; terkadang dapat pula memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan. Sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya bahasa lain berdampak Universitas Sumatera Utara mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi penyimpangan kaidah atau menimbulkan gejala interferensi. Dengan demikian terjadinya gejala interferensi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari atau dikendalikan. Seperti halnya dalam BT, bunyi, kata, dan kalimat yang seharusnya menggunakan kaidah BT kemungkinan telah mengalami interferensi unsur BI sehingga diasumsikan bahwa bahasa BT di Medan mulai bergeser disebabkan adanya gejala interferensi BI terhadap BT dalam peristiwa penggunaan bahasa yang dikaitkan pula dengan sikap bahasa languages attitude penutur Batak Toba. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interferensi di samping dapat pula menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab bergeser atau punahnya suatu bahasa sangat ditentukan oleh keputusan yang berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat itu sendiri. Pendapat tersebut dipertegas Denes 1994:2 yang mengatakan bahwa terjadinya gejala interferensi tidak terlepas dari perilaku atau sikap bahasa penutur bahasa pertama. Penelitian tentang BT di Medan telah dilakukan W.Keith Percival 1964 dalam disertasi berjudul A Grammar of The Urbanised Toba-Batak of Medan. Diungkapkannya bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara penutur BT di Medan dengan masyarakat BT di pedesaan, antara lain dalam hal kolokasi bahasa sehari-hari dan bentuk gaya tuturannya. Selanjutnya diungkapkannya lebih jauh lagi bahwa pengaruh BI terhadap BT sangat meningkat setelah kemerdekaan Indonesia, terutama di kalangan penutur generasi muda yang telah mengenyam pendidikan sekolah menengah dan universitas. Berdasarkan paparan hasil pengamatan di atas dan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Percival terhadap penutur BT di Medan kurang lebih duapuluh delapan tahun lalu ini, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali bagaimana sebenarnya BT di Medan yang sekarang Universitas Sumatera Utara digunakan penutur BT mengingat semakin meluasnya penggunaan BI di tengah masyarakat bilingual di kota Medan. Di samping itu kajian ini juga ingin mengetahui bagaimana sikap bahasa masyarakat penutur BT di Medan terhadap BT untuk lebih mendapatkan gambaran apakah memang mulai ada pergeseran sikap terhadap BT atau apakah BT masih tetap bertahan sebagai bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat BT walaupun mereka berada di perantauan di Medan. Gambaran sikap dan bagaimana bahasa BT di Medan digunakan oleh penutur bilingual BT-BI dapat digambarkan dalam bagan berikut. GGambaran keberadaan Gambar 1 Bagan Sikap Bahasa Penutur BT dan Interferensi

1.2 Rumusan Masalah