penutur-penutur Batak yang dituliskan untuknya dan mereka sekaligus digunakannya sebagai informan.
2. Nababan, P.W.J 1966
Disertasi Nababan 1966 merupakan usaha untuk mendeskripsikan bahasa Batak Toba secara menyeluruh. Penelitiannya terdiri dari laporan sangat singkat tentang fonologi, yang lebih
penuh dengan perlakuan morfofonemik dan sintaksis, dan satu bagian yang terpusat pada morfologi. Di dalam penelitiannya tersebut, Nababan juga menganalisis tatabahasa teks sastra
sebagai sampelnya. Tetapi disayangkan bahwa ulasannya tentang banyak fenomena yang mendasar tidak mencukupi dan penyusunan materinya kurang memikat.
3. Silitonga, Mangasa 1973
Penelitian disertasi Silitonga berjudul Some Rules Ordering Constituents and their Constraints in Batak. disajikan dengan rangkaian teori murni dan difokuskan pada tiga fenomena
sintaktik yaitu tentang topikalisasi, pembentukan kalimat tanya, dan klausa relatif. Silitonga menggunakan teori tatabahasa generatif-transformasi sebagai kerangka teorinya, tetapi
disayangkan penelitiannya tidak menghasilkan konklusi yang kuat. Sementara itu perlu dicatat juga bahwa data-data dialek yang disajikannya kaya dengan kata-kata pinjaman BI.
4. Percival, W.K 1981
Penelitian Percival 1981 tentang bahasa BT di Medan yang dituangkannya dalam bukunya berjudul A Grammar of The Urbanised of Medan yang juga merupakan revisi
disertasinya tahun 1964 menyebutkan bahwa bahasa Batak Toba yang berkembang di kota
Universitas Sumatera Utara
Medan setelah terjadinya migrasi yang pesat menyebabkan bahasa Batak Toba memiliki karekteristiknya sendiri. Dalam temuan penelitiannya pada aspek fonologi, antara lain disebutkan
bahwa penggunaan semi vokal w cenderung digantikan oleh vokal u, misalnya ualu untuk kata walu ’delapan’, baoa dari kata bawa ’laki-laki’. Selain itu, penutur BT Toba di Medan
memiliki variasi dalam pelafalan fonem ns yaitu dengan ss atau cc. Dalam mengumpulkan data penelitian terhadap BT, Percival menggunakan tiga orang informan penutur BT yang sedang
belajar di Yale University dan di University of Kansas.
5. Sibarani, Robert 1994
Sibarani 1994 dalam disertasinya berjudul “Sintaksis Bahasa Batak Toba” mendekripsikan konjungsi bahasa Batak Toba BT dan pemakaiannya dengan tujuan
memaparkan jumlah konjungsi BT dan menguraikan peran konjungsi sebagai upaya penghubung unsur-unsur linguistik dan konstruksi yang kompleks. Metode pengumpulan data yang
diterapkan adalah metode wawancara, pengamatan, dan metode kepustakaan, sedangkan metode analisis data yang diterapkan adalah metode distribusional dan metode padan. Dalam disertasi ini
diperlihatkan bahwa berdasarkan bentuk, konjungsi BT berjumlah 139 buah, berdasarkan fungsi, konjungsi BT berjumlah 146 buah, dan berdasarkan makna, konjungsi BT berjumlah 140 buah.
Berdasarkan bentuk, konjungsi BT terdiri atas konjungsi monomorfemis, konjungsi polimorfemis, dan konjungsi korelatif. Berdasarkan fungsi, konjungsi BT terdiri atas konjungsi
koordinatif, konjungsi subordinatif, dan konjungsi kohesif. Berdasarkan makna, konjungsi BT terdiri atas konjungsi aditif, konjungsi adversatif, konjungsi klausal, dan konjungsi temporal.
Kaidah konjungsi perlu dipahami untuk mengetahui cara menghubungkan unsur-unsur linguistik
Universitas Sumatera Utara
dalam membentuk konstruksi yang kompleks dalam pemakaian bahasa. Hal itu juga penting untuk memahami makna hubungan antarunsur-unsur linguistik dalam pemakaian bahasa.
2.5 Simpulan
Dari berbagai penelitian yang telah disebutkan di atas, tampaknya belum satupun kajian tentang interferensi dalam bahasa BT yang dihubungkan dengan sikap bahasa penutur BT
berdasarkan variabel sosial seperti jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa, dan lamanya tinggal. Padahal untuk mengetahui sikap seseorang terhadap bahasanya sebagai lambang identitas diri,
salah satu caranya dapat diketahui melalui perilaku penutur saat bertutur. Sepengetahuan peneliti sampai saat ini, untuk berbagai kajian sosiolinguistik tentang bahasa daerah yang pernah
dilakukan di Indonesia, kajian tentang bahasa BT tampaknya belum ada yang menyentuhnya terutama dengan interferensi dalam tuturan penutur BT di Medan. Oleh karena itu, penelitian
disertasi ini diberi judul ”Bahasa Batak Toba di Medan: Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa”.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KONSEP BILINGUALISME, INTERFERENSI,
DAN SIKAP BAHASA 3.1 Pengantar
Bahasa merupakan hasil aktivitas manusia yang muncul dari ujaran manusia. Bahasa digunakan
manusia untuk berkomunikasi. Terdapat masyarakat yang mengenal dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Masyarakat ini disebut masyarakat bilingual dwibahasawan. Dalam masyarakat
bilingual saat dua bahasa yang dikuasai penutur bersentuhan cenderung akan menimbulkan interferensi. Pada peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan
suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan si penutur
dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain. Interferensi terjadi dalam menggunakan bahasa kedua, dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah
bahasa pertama atau bahasa ibu. Pada bab ini secara berurutan akan dibahas tentang konsep bilingualisme, kontak bahasa,
interferensi, dan sikap bahasa. Konsep yang telah disebutkan tadi terkait erat satu sama lainnya yang merupakan kajian sosiolinguistik.
3.2 Konsep Bilingualisme
Universitas Sumatera Utara
Bilingualisme adalah perilaku penggunaan dua bahasa atau dua kode secara bersamaan dalam interaksi dan komunikasi verbal. Konsep bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan
dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa lihat Nababan, 1984: 27-29.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Bilingualisme dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana individu atau masyarakat memiliki ciri-ciri kehadiran penggunaan bahasa secara simultan.
Istilah kedwibahasaan atau bilingualisme diungkapkan pertama sekali oleh Bloomfield 1933:56 yaitu penguasaan dua bahasa seperti penutur aslinya. Jadi, menurut Bloomfield
seseorang dapat dikatakan bilingual apabila ia dapat menggunakan bahasa pertama B
1
dengan bahasa kedua B
2
dengan derajat yang sama baiknya. Fishman 1972 membagi dua tipe bilingual yaitu tipe compound tidak sejajar dan tipe
coordinate sejajar. Tipe pertama bercirikan dua bahasa yang digunakan setelah terjadi tahap penyesuaian sosialisasi dari pendatang urban atau imigran. Pada tipe ini bahasa keduanya
masih dikendalikan oleh bahasa pertama. Sebaliknya tipe kedua bercirikan penutur-penutur bilingual yang tidak tersosialisasi sejak awal sehingga kedua bahasa digunakan secara bersama-
sama side by side dalam fungsi masing-masing. Pada penggunaannya bahasa kedua tidak dikendalikan oleh bahasa pertamanya.
Selain itu, Haugen dalam Romaine 1995:51 menyatakan bahwa jika penutur dari suatu bahasa dapat menghasilkan ujaran lengkap yang bermakna dalam bahasa lain, yang digunakan
dalam suatu peristiwa tutur, orang tersebut dapat dianggap sebagai dwibahasawan. Kedwibahasaaan bukan merupakan fenomena dalam bahasa, melainkan sebagai ciri pemakaian
Universitas Sumatera Utara
suatu bahasa lihat Mackey dalam Fishman, 1972:554. Kedwibahasaan tidak menunjukkan suatu kode tetapi pada suatu amanat bukan secara dominan atau sebagai ‘langue’ melainkan
sebagai ‘parole’. Jika bahasa milik suatu masyarakat, kedwibahasaan adalah milik perorangan. Pemakaian dua bahasa pada perseorangan berarti adanya dua masyarakat bahasa yang berbeda.
Sebagai contoh adalah masyarakat di kota-kota besar yang penduduknya berasal dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda, bahkan masyarakat di kota-kota besar tidak lagi
masyarakat yang berdwibahasa melainkan sudah banyak yang multibahasa lihat Wijana, Putu dan Rohmadi,2006 .
Selanjutnya Mackey mengungkapkan bahwa unsur-unsur atau aspek yang perlu diperhatikan adalah 1 degree tingkat kemampuan menggunakan kedua bahasa itu, maksudnya
kedwibahasaan itu ditentukan oleh adanya derajat atau tingkat kemampuan berbahasa. Apabila penutur bahasa itu ahli atau menguasai dua bahasa itu dengan baik, maka akan sering terjadi
peristiwa kedwibahasaan. Sebaliknya, apabila si penutur bahasa itu tidak menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik dan derajat yang sama maka akan jarang terjadi kedwibahasaan, 2
function fungsi atau pemakaian kedua bahasa itu, yaitu kapan suatu bahasa itu dipakai dan dalam situasi yang bagaimana bahasa itu digunakan. Dalam hal ini ada dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal bahasa itu digunakan oleh dwibahasaan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, misalnya dengan lingkungan tetangga, tempat ibadah,
lingkungan bekerja, tempat bermain. Sementara faktor internal adalah bila bahasa digunakan bukan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, melainkan untuk berkomunikasi dengan diri
sendiri, misalnya pada seorang yang sedang berpikir, berdoa, bermimpi, dan sebagainya, 3 alternation pengertian atau peralihan dari bahasa satu ke bahasa yang lain, yang keberadaan
alternasi ini bergantung pada kemahiran berbahasa dan fungsi bahasa. Yang dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
dengan kemahiran di sini adalah apabila dwibahasawan menggunakan dua bahasa cukup lancar, apabila kemahiran itu cukup tinggi maka akan sering terjadi alternasi demikian sebaliknya, dan
4 interference interferensi yaitu pemakaian unsur-unsur dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain baik secara lisan maupun secara tertulis. Menurut Mackey, interferensi itu bersifat individual
dan continent artinya adalah bahwa interferensi itu hanya terjadi pada tuturan perseorangan, dan tidak mempunyai sistem.
Terdapat dua jenis dwibahasawan dalam peristiwa kontak bahasa, yaitu dwibahasawan masyarakat dan individual. Secara kasar dapat dikatakan bahwa masyarakat dwibahasawan
biasanya terjadi jika dalam masyarakat tertentu digunakan dua bahasa atau lebih. Dalam hal ini hampir semua masyarakat adalah dwibahasawan, akan tetapi mereka bisa berbeda sehubungan
dengan tingkat atau bentuk dari dwibahasawan tersebut. Sementara itu, bilingual individual didefinisikan sebagai penguasaan seseorang terhadap
dua bahasa atau lebih lihat Weinreich,1968. Sangat jelas apa yang dimaksud dengan bilingual individual, tetapi menentukan apakah seseorang bilingual atau tidak, tidaklah gampang. Sebagai
contoh dapat diperhatikan pada orang Inggris yang telah mempelajari bahasa Prancis dan mempraktekkannya pada saat liburan tahunan, tetapi mereka adalah dwibahasawan seperti
orang-orang Puertorico di New York yang menggunakan bahasa Spanyol dan bahasa Inggris dengan kemampuan yang sama.
Dalam sejarah dwibahasawan bermacam-macam definisi telah diusulkan. Terdapat dua definisi yang ekstrem tetapi merupakan variasi yang terkenal. Pertama adalah pendapat
Bloomfield 1933 : 56 yang membuat definisi dengan tuntutan yang sangat tinggi terhadap penutur yang harus memiliki kemampuan seperti penutur asli dari dua bahasa atau lebih.
Pernyataan ekstrem kedua, MacNamara 1969 adalah seseorang dapat disebut dwibahasawan
Universitas Sumatera Utara
bila ia memiliki keterampilan bahasa kedua dalam salah satu dari empat modalitas yaitu berbicara, mendengar, menulis, dan membaca sebagai tambahan dari keterampilan bahasa
pertamanya. Berdasarkan pendapat para pakar bahasa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kedwibahasaan ialah pemakaian dua bahasa secara bergantian. Ada sementara pendapat yang memandang bahwa dalam kedwibahasaan terdapat peristiwa yang disebut dengan diglosia.
Pengertian istilah ini mengacu pada pemakaian dua bahasa atau variasi bahasa yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari Ferguson 1958 : 233 .
Selanjutnya disebutkan bahwa bahasa digolongkan atas dua tingkat, yaitu bahasa tingkat tinggi High atau H dan bahasa yang tingkatannya lebih rendah Low atau L. Bahasa yang
tergolong H pada umumnya dipakai sebagai bahasa pengantar dalam situasi resmi, dinas, dan indah; sedangkan bahasa L dipakai dalam situasi tidak resmi, santai, dan nonliterer Rindjin,
1981 : 15 . Pengertian diglosia pada dasarnya hampir dapat disamakan dengan pengertian kedwibahasaan itu sendiri. Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia di satu pihak dan bahasa
daerah di pihak lain. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan kedudukan bahasa H. Bahasa Indonesia sebagai bahasa H bersifat resmi, dinas, dan sastra sekurang-
kurangnya dalam lingkup nasional, sedangkan bahasa daerah sebagai bahasa L dipakai dalam situasi tidak resmi, keakraban, kekeluargaan, berlatar kedaerahan, dan tradisional.
Dalam hubungannya dengan kedwibahasaan tampak jelas adanya kontak atau persentuhan antara bahasa pertama B
1
dan bahasa kedua B
2
. Tinggi rendahnya kontak kedua bahasa tergantung pada ruang gerak komunikasi penutur dua bahasa dwibahasawan itu sendiri.
Sebagai konsekuensi dari kontak kedua bahasa akan tergantung pula pada proses pengaruh- mempengaruhi antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak
Universitas Sumatera Utara
langsung. Di antara pengaruh itu ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Pengaruh yang positif akan memperkaya keberadaan suatu bahasa, demikian pula sebaliknya
pengaruh negatif dapat mengganggu struktur dan kaidah suatu bahasa. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedwibahasaan mendukung
pengertian adanya penggunaan dua bahasa oleh seseorang yang menguasai dua bahasa secara bergantian yang akan menimbulkan pengaruh timbul balik, baik pengaruh positif maupun
negatif. Pengaruh yang terakhir pada dasarnya berupa gejala yang bersifat interferensif.
3.2.1 Kontak Bahasa Kontak bahasa languages in contact atau disebut juga bahasa-bahasa bersentuhan tidak
dapat dihindari dalam kedwibahasaan. Kontak bahasa dapat juga diartikan sebagai peristiwa dimana dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang bilingual. Dapat
dikatakan bahwa dalam setiap kedwibahasaan terdapat kontak bahasa, terlepas apakah kontak itu menimbulkan akibat yang tampak dalam perilaku berbahasa maupun yang tidak Sugiyono,
1996: 35-36. Kontak bahasa yang sebenarnya terjadi dalam diri seorang dwibahasawan, dan kontak bahasa hanya akan terjadi apabila dua bahasa atau lebih digunakan oleh penutur yang
sama lihat Weinreich, 1970 : 14.
3.3.2 Kontak Bahasa dan Interferensi
Dalam situasi kebahasaan sering terjadi gangguan, hambatan, atau pengaruh dari bahasa yang telah dikuasai sebelumnya terhadap bahasa yang sedang akan dikuasai. Keadaan ini disebut
interferensi yang mengacu pada pengejawantahan pola lain dalam merekognisi pola-pola dari bahasa sasaran. Dalam keadaan kontak antara B
1
dengan B
2
yang umum terjadi adalah penyerapan atau pemungutan borrowing - baik pada tingkat leksikal maupun tingkat struktur –
Universitas Sumatera Utara
dan penggabungan konvergence lihat McMahon, 1994. Pada tingkat leksikal, seorang penutur akan menggunakan leksikal B
1
begitu ia tidak berhasil menemukan konsep yang ingin dibicarakannya dalam basis data leksikal B
2
-nya, atau sebaliknya.
3.2.3 Kontak Bahasa dan Kebudayaan
Kaum antropologis kontak bahasa mengkategorikan kontak bahasa sebagai salah satu aspek dari kontak budaya, sedangkan interferensi bahasa merupakan salah satu segi
permasalahan penyebaran dan akulturasi budaya. Sementara itu, dalam interferensi linguistik, problema yang merupakan pusat perhatian adalah hubungan timbal balik dan saling keterkaitan
antara faktor-faktor struktural dan non-struktural kebahasaan yang sering menyebabkan interferensi. Menurut Ridwan 1998 : 63 faktor struktural kebahasaan berakar dari
pengorganisasian bentuk-bentuk linguistik ke dalam sistem yang definitif, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, serta pada taraf tertentu bebas dari pengalaman dan sikap
atau tata laku non-linguistik.
3.3 Konsep Interferensi
Suatu masyarakat bahasa yang mengenal dan menguasai lebih dari satu bahasa cenderung mengalami interferensi ketika berbahasa. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat yang bilingual atau pun dwibahasawan seperti yang terjadi pada masyarakat Indonesia, muncullah suatu fenomena bahasa yang disebut dengan
interferensi.
Universitas Sumatera Utara
Saling mempengaruhi bahasa antaretnik pasti terjadi, pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan; terkadang dapat pula memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan.
Sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya bahasa lain berdampak mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi penyimpangan kaidah atau
menimbulkan gejala interferensi. Dengan demikian terjadinya gejala interferensi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari atau dikendalikan. Chaer 1995 : 159
mengatakan bahwa interferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur
yang bilingual. Pernyataan tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa akibat adanya pengaruh bahasa lain.Interferensi merupakan salah
satu gejala yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa karena adanya dua sistem bahasa yang dikuasai. Yakni bahasa pertama bahasa ibu dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai dua
bahasa dwi bahasa dalam berbahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa pertama. Jadi bahasa pertama berinterferensi pada bahasa kedua. Interferensi lebih bersifat
individual. Interferensi yang terjadi berupa pengucapan baik secara lisan maupun tulisan. Interferensi
bahasa lisan terdapat dalam ujaran seorang dwi bahasa, akibat penguasaan bahasa pertama. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap penutur memiliki variasi bahasa. Ada penutur yang menguasai B
l
dan B
2
sama baiknya, ada pula yang tidak, serta ada pula yang kemampuan B
2
-nya sangat minim. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan bahasa pertama B
l
dan bahasa kedua B
2
sama baiknya tentu tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan
kemampuan bahasa sejajar, sedangkan yang mempunyai kemampuan terhadap B
2
jauh lebih
Universitas Sumatera Utara
rendah tidak sama dari kemampuan B
l
-nya disebut kemampuan bahasa majemuk Chaer, 1995:159. Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk atau compound language, istilah
yang disebutkan Fishman, biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B
2
-nya karena dipengaruhi oleh kemampuan B
1
-nya. Kemampuan bahasa yang sejajar misalnya seorang penutur bilingual BT-BI menyapa seorang penutur sesukunya dalam BT “Lao tu dia, inang?”
dan pada saat lainnya bila bertemu dengan penutur lain dengan menggunakan BI “Mau kemana, bu?”.
Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Masuknya unsur-unsur bahasa
yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa. Menurut Weinreich 1968:1 interferensi merupakan pemindahan unsur-
unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa.
Sementara Daulay, Burt, dan Krashen dalam Budiarsa 2006:355 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan interferensi sosiolinguistik adalah jika masyarakat atau negara yang
memiliki bahasa berbeda menggunakan kontak atau interaksi menggunakan bahasa.
Pendapat tersebut dipertegas Rusyana 1975:52 bahwa interferensi terjadi karena ada kecenderungan pada dwibahasawan untuk mempersamakan unsur-unsur yang ada pada bahasa
lain apabila dua bahasa berkontak, yang selanjutnya pula Valdman 1966:289 menyatakan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu
bahasa pertama dalam penguasaan bahasa yang dipelajari bahasa kedua. Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa
sasaran. Sementara Bell dalam Denes 1994 :15 mengatakan bahwa interferensi timbul karena
Universitas Sumatera Utara
dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi fon bahasa pertama kepada sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem
fonemik bahasa penerima. Interferensi terjadi apabila antara dua bahasa yang melakukan kontak tidak
menyebabkan dislokasi penutur maka peristiwa itu disebut pungut-memungut unsur bahasa yang satu oleh bahasa yang lain. Sebaliknya, apabila terjadi peristiwa dislokasi struktur maka
keberadaan norma suatu bahasa akan terganggu oleh masuknya gejala interferensi lihat Samsuri 1978:55. Dalam hal seperti ini, Mackey dalam Rusyana 1975:57 menyatakan tentang beda
interferensi dalam tuturan dwibahasawan dengan mengatakan bahwa ciri-ciri interferensi dalam tuturan dwibahasawan, pola, dan jumlah interferensinya tidak selalu sama dalam segala waktu
dan keadaan. Peluang kemungkinan terjadinya interferensi terbuka karena seorang dwibahasawan tidak mungkin mempelajari seluruh kemampuan penutur asli yang biasanya juga
memang tidak pernah mengeluarkan seluruh kemampuannya ketika bertutur. Hartman dan Stork dalam Chaer dan Agustina 1995 berpendapat bahwa interferensi adalah terdapatnya suatu
kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua . Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat terjadi
dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa interferensi merupakan gejala
yang timbul di dalam masyarakat bilingual ketika berbahasa dan karena adanya kontak dua bahasa atau lebih yang dikuasai penutur sehingga penutur memasukkan unsur-unsur bahasa yang
dikuasainya yang berakibat kepada terjadinya penyimpangan kaidah-kaidah bahasa. Interferensi dianggap sebagai penyimpangan sistem suatu bahasa
─ baik sistem bunyi, kosakata, sintaksis,
Universitas Sumatera Utara
maupun intonasi ─ sebagai akibat kontak dua bahasa atau lebih yang dikuasai oleh seorang
penutur dan akibat penguasaan beberapa bahasa dan pemakaiannya secara bergantian.
3.3.1 Jenis-jenis Interferensi
Interferensi sebagai gejala umum dalam peristiwa bahasa merupakan akibat dari kontak
bahasa. Interferensi sebagai suatu masalah dalam sosiolinguistik menarik perhatian para ahli sehingga mereka memberikan pengamatan terhadap keberadaan interferensi berdasarkan sudut
pandang yang berbeda-beda. Pandangan dari sudut yang berbeda itu menghasilkan pengamatan
yang berbeda pula maka timbul bermacam-macam interferensi .
Mengacu kepada pendapat Weinreich tentang interferensi, Huda 1981 : 17 mengidentifikasikan atas empat macam, yaitu 1 mentransfer unsur bahasa ke dalam bahasa
yang lain, 2 adanya perubahan fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pemindahan, 3 penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa yang pertama, dan 4
kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada ekuivalensi dalam bahasa pertama.
Sementara itu, Poedjosoedarmo 1978 : 36 berdasarkan jenisnya membedakan interferensi menjadi tiga macam yakni 1 interferensi bersifat aktif, yaitu adanya kebiasaan
dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia; 2 interferensi bersifat pasif yaitu penggunaan beberapa bentuk bahasa daerah oleh bahasa Indonesia karena dalam bahasa
Indonesia tidak ada bentuk atau pola bahasanya; 3 interferensi bersifat variasional yaitu kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.
3.3.2 Pembagian Bidang Interferensi
Universitas Sumatera Utara
Weinreich 1968 membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu interferensi
dalam bidang bunyi interferensi fonologis, interferensi dalam bidang gramatikal tatabahasa, dan interferensi dalam bidang leksikal. Bentuk-bentuk tersebut dijelaskan berikut ini.
3.3.2.1 Interferensi Fonologis Istilah interferensi bunyi digunakan para ahli untuk menyebut gejala penyimpangan
tingkat sistem bunyi. Menurut Weinreich 1953 interferensi bunyi terjadi bilamana seseorang
dwibahasawan mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua itu pada bunyi sistem bahasa pertama. Dengan perkataan lain, interferensi bunyi terjadi apabila seorang
dwibahasawan memperlakukan – mengidentifikasi dan memproduksi – bunyi bahasa yang satu seperti ketika ia memperlakukan bunyi lainnya. Pengertian itu tidak membedakan secara jelas
apakah ujud interferensinya itu fungsional atau hanya bersifat alofonis belaka. Realisasi ∫ atas
s, misalnya, dapat bersifat fungsional dalam kata seperti syarat dengan sarat , tetapi bersifat alofonis dalam kata seperti masyarakat, syarat, dan syukur. Itulah sebabnya atas ujud hasil
interferensi itu kemudian orang membedakan interferensi bunyi atas interferensi fonemis yang menghasilkan bunyi-bunyi fungsional, dan interferensi fonetis yang hanya menghasilkan bunyi-
bunyi alofonis.
Perlakuan bunyi secara berbeda akibat interferensi bunyi itu dapat berupa substitusi bunyi sound substitution, kenal-sama terhadap dua bunyi under-differentiation, kenal-beda terhadap
dua bunyi over-differentiation, penafsiran ulang perbedaan bunyi reinterpretation of distinctions, dan interferensi fonotaktik lihat Weinreich, 1958.
Jenis interferensi yang paling populer adalah substitusi bunyi. Interferensi seperti ini terjadi apabila ada fonem yang sama-sama terdapat dalam bahasa pertama B
1
dan bahasa kedua
Universitas Sumatera Utara
B
2
, tetapi secara fonetis bunyi itu direalisasikan berbeda, dan seorang dwibahasawan merealisasikan fonem B
2
seperti realisasinya dalam B
1.
Sebagai contoh adalah bahasa-bahasa Slavia dan Inggris sama-sama mengenal fonem t, tetapi dalam bahasa Slavia fonem itu
dilafalkan sebagai bunyi dental, sedangkan dalam bahasa Inggris t umumnya bunyi alveolar. Dalam bahasa Indonesia, posisi awal fonem d direalisasikan sebagai bunyi hambat alveolar,
sedangkan bahasa Jawa melafalkannya sebagai hambat dental. Substitusi bunyi terjadi apabila penutur bahasa Jawa merealisasikan d bahasa Indonesia sebagai hambat dental.
3.3.2.2 Interferensi Gramatikal
Interferensi yang terjadi pada bidang morfologi dan sintaksis biasa disebut interferensi gramatikal Weinreich, 1968. Menurut Rusyana 1975 : 68 interferensi bidang gramatikal tata
bahasa terjadi bilamana dwibahasawan mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa kedua B
2
dengan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa pertama B
1
, dan menggunakannya dalam tuturannya pada bahasa kedua, serta demikian pula sebaliknya. Weinreich 1968 menyatakan
bahwa interferensi gramatikal morfologis kadang-kadang sulit dibedakan dengan interferensi leksikon. Begitu pula halnya perbedaan interferensi morfologis dengan interferensi sintaktis.
Dengan demikian, meskipun BT dengan BI sebagai bahasa serumpun mengandung beberapa persamaan, interferensi BI dalam penggunaan BT dapat ditentukan kemungkinannya.
Sebagaimana pernyataan Weinreich 1968:30 dengan membandingkan sistem bunyi atau sistem tata bahasa dua bahasa, dan menggambarkan perbedaan-perbedaannya, biasanya bisa diperoleh
sejumlah kemungkinan bentuk interferensi yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, Chaer dan Agustina 1995:162 mengungkapkan bahwa interferensi dalam bidang morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Interferensi
morfologis terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks
bahasa lain Suwito, 1985:55. Misalnya penggunaan imbuhan ke, ke-an bahasa Jawa dan afiks
– nisasi, -is dari bahasa asing Belanda dan Inggris, digunakan ke dalam bahasa Indonesia misalnya kelanggar, ketabrak, kemahalan, bubaran, ikanisasi, agamais, cengkih nisasi.
Sementara itu, Weinreich menggolongkan interferensi gramatikal atas empat bagian, sebagai berikut.
1 Pemindahan Morfem
Pemindahan morfem dalam hal ini diartikan sebagai penggunaan morfem bahasa A ketika berbicara atau menulis ke dalam morfem bahasa B. Pengertian morfem yang dipindahkan
dalam hal ini dapat berbentuk morfem bebas, morfem terikat, atau morfem terikat bersama morfem bebas sekaligus.
Morfem-morfem yang mempunyai fungsi tatabahasa yang rumit, rupanya jarang dipindahkan oleh dwibahasawan dibandingkan dengan morfem yang mempunyai fungsi lebih
sederhana. Misalnya, kata depan preposisi ternyata lebih jarang dipindahkan dibandingkan dengan kata benda yang bebas. Bila diperhatikan kepindahan morfem-morfem dari yang paling
jarang dapat diurutkan sebagai berikut: akhiran infleksi yang paling terintergrasi, kata-kata tugas seperti kata depan, jenis-jenis kata, meliputi kata benda, kata kerja, kata keadaan dan kata seru
Rusyana,1975 : 70. Kadang-kadang terjadi pula bentuk morfem bebas yang dipindahkan dalam bahasa kedua
dalam bentuk kata majemuk, baik dengan imbuhan maupun tidak. Kehadiran pasangan kata
Universitas Sumatera Utara
majemuk dalam bahasa penerima memungkinkan si pemakai menguraikan kata majemuk itu menjadi kata dasar dan imbuhan, dan kemudian meluaskan imbuhan itu kepada kata dasar yang
asli.
2 Penerapan Hubungan Gramatikal
Arti yang dimaksudkan dalam penerapan hubungan gramatikal ini ialah penerapan hubungan tatabahasa A pada morfem bahasa B, atau mengabaikan hubungan bahasa B yang
tidak mempunyai prototip dalam bahasa A. Interferensi ini biasa terjadi dalam tuturan dwibahasawan, yang dibedakan atas beberapa
macam yaitu: 1 salinan hubungan dari bahasa lain itu menimbulkan arti yang dimaksudkan, 2 salinan hubungan dari bahasa lain itu melanggar pola hubungan yang telah ada, dan 3 salinan
hubungan dari bahasa lain itu menimbulkan hubungan yang tidak perlu. Selanjutnya Weinreich 1968 memberikan contoh kalimat dalam bahasa Inggris He
comes tomorrow home, yang disusun dengan struktur bahasa Jerman er komt morgen nach hause, yang terbukti sebagai penerapan bahasa Jerman dalam bahasa Inggris. Adapun unsur-
unsur bahasa yang satu pindah ke bahasa yang lain dinyatakan sebagai bentuk transfer pemindahan Samsuri,1978 :46-47.
Seorang Belanda yang menguasai bahasa Inggris mungkin akan mengatakan I have been there yesterday. Kalimat ini tidak gramatikal karena tidak dipakai oleh pembicara-pembicara asli
bahasa Inggris, sebab umumnya mereka mengucapkan I was there yesterday, dalam situasi yang sama. Kekeliruan itu disebabkan oleh pengaruh penguasaan bahasa Belanda mereka Ik ben
gisteren daar geweest. Atau seorang Indonesia yang mengatakan He yesterday went to Bogor,
yang mirip dengan Ia kemarin pergi ke Bogor. Dalam BI masih mungkin adanya permutasi antara komponen-komponen ia, kemarin, pergi, ke, Bogor, artinya antara keempat
Universitas Sumatera Utara
komponen bisa diselang-seling, tetapi tidaklah demikian halnya di dalam bahasa Inggris. Pemindahan di atas ini adalah penerapan hubungan dalam bidang sintaksis.
Dalam bidang morfologi terdapat juga penerapan seperti pada much, many atau a lot of yang berarti banyak. Misalnya pada I like many cream in my coffe, yang mestinya I like much
cream in my coffee, atau lebih biasa lagi I like a lot of cream in my coffee.
3 Perubahan fungsi morfem
Artinya perubahan baik perluasan atau pengurangan dalam fungsi-fungsi morfem B dengan berdasarkan gramatika bahasa A, karena identifikasi morfem bahasa B tertentu dengan
morfem bahasa A yang tertentu. Jika dwibahasawan mengidentifikasikan sebuah morfem atau kategori gramatikal bahasa A dengan morfem atau kategori gramatikal bahasa B, ia mungkin
menerapkan fungsi gramatikal yang diambil dari sistem bahasa A kepada morfem bahasa B. Yang mendorong dwibahasawan tersebut melakukan padanan morfem antarbahasa ialah adanya
keserupaan bentuk, atau adanya keserupaan fungsi sebelumnya Rusyana, 1975 : 72.
4 Pengabaian Kategori Wajib
Pengabaian kategori wajib artinya pengabaian hubungan gramatikal bahasa B yang tidak ada contohnya dalam bahasa A. Jenis interferensi ini mengakibatkan kategori-kategori
gramatikal seperti cases, genders, dan lain-lainnya hilang atau tidak menjadi kurang wajib Rusyana, 1975 : 72.
3.3.2.3 Interferensi Leksikal
Universitas Sumatera Utara
Interferensi leksikal terjadi antara satu perbendaharaan kata dengan yang lainnya melalui
bermacam-macam cara. Persoalan interferensi leksikal yang terjadi dalam suatu bahasa diklasifikasikan Weinreich 1970 atas a kata sederhana simple word, b kata majemuk dan
frase, dan c pinjaman dan kesejajaran beberapa bahasa. Pengklasifikasian interferensi leksikal yang diungkapkan Weinreich dijelaskan berikut ini.
a Kata sederhana simple word
Interferensi jenis ini mengacu pada unsur nir-majemuk leksikal yang merupakan transfer urutan fonemis dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Misalnya interjeksi bahasa Jerman-bahasa
Inggris : holismok holy smoke.
b Kata majemuk dan Frase
Terdapat tiga jenis interferensi terhadap satuan leksikal ganda yang terdiri lebih dari sebuah morfem yaitu 1 semua unsur dapat dipindah-alihkan, 2 semua unsur dapat direproduksi
melalui perluasan semantik, dan 3 semua unsur dapat dipindah-alihkan dan bersamaan direproduksi.
c Pinjaman dan Kesejajaran Antara Beberapa Bahasa.
Menurut Suwito 1985:58 interferensi dalam bidang kosa kata mungkin merupakan interferensi yang paling besar dalam rangka kontak bahasa lihat Weinreich,1968. Selanjutnya
Rusyana 1975 berpendapat bahwa dalam dua bahasa yang tertentu, bahasa A dan bahasa B, morfem-morfem bahasa A dapat dipindahkan ke dalam bahasa B, atau morfem-morfem bahasa B
dapat digunakan dengan fungsi yang baru berdasarkan model morfem bahasa A yang artinya
Universitas Sumatera Utara
dipersamakan. Akhirnya dalam hal unsur leksikal yang berbentuk kata majemuk, kedua proses
tersebut dapat digabungkan.
3.3.3 Faktor-faktor yang Memungkinkan Terjadinya Interferensi
Gejala interferensi yang hadir dalam suatu bahasa secara garis besar dapat dibedakan atas dua bagian, yang pertama dilatarbelakangi oleh adanya faktor internal dan yang kedua oleh
faktor eksternal. Pengertian internal di sini ialah kemungkinan yang terdapat dalam suatu bahasa, sedangkan faktor eksternal ialah segala sesuatu yang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang
bersifat nonlinguistik. Faktor internal dalam kaitan ini mengacu pada struktur bahasa yang bersangkutan
Rinjin 1981 : 80. Penutur bilingual yang berkontak bahasa dalam kehidupan sehari-hari sering menyusupkan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Kemungkinan
terjadi interferensi dimungkinkan oleh a penggunaan struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua, atau sebaliknya, dan b penggunaan struktur bahasa kedua dalam tuturan bahasa pertama.
Dengan adanya kesesuaian struktur dan keserupaan kosakata maka mudah terjadi bentuk campuran baster antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya.
Selain faktor internal, faktor eksternal atau faktor nonlinguistik sering menyebabkan terjadinya interferensi. Menurut Huda 1981 : 72 faktor nonlinguistik sebagai penyebab
terjadinya interferensi ialah faktor individu dan faktor sosial budaya. Dua faktor lain yang cukup dominan sebagai pendorong terjadinya interferensi ialah faktor komunikasi dan faktor situasi.
Hakikat individu yang dimaksud di sini ialah hal yang berkaitan dengan penutur sebagai dwibahasawan, antara lain meliputi penguasaan bahasa dan sikap bahasa Rinjin,1981.
Universitas Sumatera Utara
3.4 Konsep Sikap Bahasa
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan orang lain. Sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi lihat
Allport,1935 dan Sarnoff dalam Edwards,1985. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya positif, negatif, atau netral seseorang pada sesuatu.
Seseorang pun dapat menjadi ambivalen terhadap suatu target, yang berarti ia terus mengalami bias positif dan negatif terhadap sikap tertentu. Thomas dan Znaniecki dalam Baker 1992
mengungkapkan bahwa by attitude we understand a process of individual consciousness which determines real or possible activity of the individual in the social world.
Sementara itu, Edwards 1985 memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau
afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Azwar 1995 : 87 bahwa sikap merupakan respons evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun
negatif. Yang selanjutnya La Pierre dalam Allen et. al 1980 mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam
situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu
pada sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang individu. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak favorable pada objek tersebut Berkowitz,1972.
Sikap manusia, atau untuk singkatnya kita sebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz dalam Azwar 1995 : 45 bahkan menemukan adanya lebih dari
tigapuluh definisi sikap. Puluhan definisi dan pengertian itu pada umumnya dapat dimasukkan ke
Universitas Sumatera Utara
dalam salah satu diantara tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang
diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone 1928 salah seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap, Rensis Likert 1932 yang juga seorang pionir di bidang pengukuran
sikap. Menurut mereka, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak favorable maupun perasaan
tidak mendukung atau tidak memihak unfavorable pada objek tersebut Berkowitz, 1972. Secara lebih spesifik, Edwards 1957 sendiri memformulasikan sikap sebagai “derajat afek
positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis”. Kelompok pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli dalam Azwar, 1995 seperti
Chave 1928, Bogardus 1931, LaPierre 1934, Mead 1934, dan Gordon Allport 1935; tokoh terkenal di bidang Psikologi sosial dan Psikologi Kepribadian yang konsepsi mereka
mengenai sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa
kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons.
Kelompok pemikiran yang ke tiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadik triadic scheme. Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi
komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Sementara itu Secord Backman dalam
Azwar 1995 misalnya, mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan afeksi, pemikiran kognisi, dan predisposisi tindakan konasi seseorang terhadap suatu aspek
di lingkungan sekitarnya. Sikap muncul dari berbagai bentuk penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi yang selanjutnya Lambert
Universitas Sumatera Utara
dalam Baker 1992 yang mengutip pendapat Plato menetapkan sikap terbagi atas tiga komponen yaitu komponen kognisi, komponen afeksi dan komponen konasi.
1.Komponen Kognisi
Komponen kognisi berhubungan dengan proses berfikir, yang dapat berisikan kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Baker
1992 : 12 memberikan batasan sikap kognitif sebagai komponen yang berhubungan dengan pikiran dan kepercayaan. Respon kognisi adalah pengevaluasian secara kognisi terhadap suatu
objek sikap.
2. Komponen Afeksi
Komponen afeksi menyangkut dengan masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Yang apabila ditelusuri lebih jauh lagi, sikap afeksi ini sama dengan perasaan
yang dimiliki terhadap sesuatu.
3. Komponen Konasi
Komponen konasi disebut juga komponen perilaku yaitu sikap yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang.
Disamping pembagian kerangka pemikiran tradisional seperti di atas, di kalangan para ahli Psikologi Sosial mutakhir terdapat pula cara lain yang populer guna klasifikasi pemikiran
tentang sikap, dalam dua pendekatan berikut. 1 Pendekatan pertama, memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan
kognitif terhadap suatu objek Breckler,1984; Katz Scotland,1959; Rajecki,1982; dalam
Universitas Sumatera Utara
Brehm Kassin,1990. Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu. Pendekatan ini, yang pada uraian di atas dikenal dengan nama skema triadik, disebut
juga pendekatan tricomponent. 2 Pendekatan yang kedua, timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai
inkonsistensi yang terjadi diantara ketiga komponen kognitif, afektif, dan perilaku dalam membentuk sikap. Oleh karena itu pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi
konsep sikap hanya pada aspek afektif saja single component. Definisi yang mereka ajukan
mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah ‘afek atau penilaian – positif atau negatif – terhadap
suatu objek’. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu lihat Azwar, 1995 : 30
Konsep sikap untuk pertamakali telah dijadikan sebagai fokus kebahasaan dalam ilmu sains oleh Thomas William 1918 – 1920, seorang ahli sosiologi yang banyak mengkaji
kehidupan dan perubahan sosial. Dalam bukunya yang ditulis bersama dengan Florian Znaniecki
berjudul Polish Peasent in Europe and America : Monographe of an Immigrant Group, mereka
mengkaji tentang masyarakat Polish orang-orang Polandia yang berhijrah ke Amerika Serikat. Mereka menyebutkan bahwa terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang
kehidupan dan perubahan sosial yaitu sikap individu dan budaya objektif objective cultural. Sikap bahasa languages attitude adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari
sikap attitude pada umumnya. Language attitudes are the feelings people have about their own language or the languages of others lihat Crystal, 1992. Selanjutnya Crystal memberikan
Universitas Sumatera Utara
contoh sikap bahasa sebagai mother tongue, speakers may feel secure about their language and take pride in using it.
Dalam kajian sosiolinguistik, definisi sikap bahasa sering diperluas untuk mencakup sikap-sikap terhadap penutur-penutur bahasa tertentu Fasold, 1984. Pemerluasan yang
demikian mungkin akan memberikan kemungkinan bahwa seluruh jenis perilaku yang berhubungan dengan bahasa termasuk di dalamnya sikap terhadap pemertahanan bahasa dapat
dijelaskan. Sikap bahasa dapat diamati antara lain lewat perilaku berbahasa atau perilaku tutur.
Kehadiran gejala interferensi suatu bahasa tidak dapat dipisahkan dari perilaku penutur sebagai bagian dari individu. Sikap bahasa languages attitude merupakan tata keyakinan yang
berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang
disukainya Anderson,1974. Pernyataan Dittmar 1976:181 tentang sikap bahasa adalah bahwa sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri-ciri yang antara lain meliputi: pemilihan bahasa dalam
masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan-perbedaan dialektikal dan problem-problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu-individu.
Garvin dan Mathiot dalam Fishman, 1968 menyebutkan bahwa sikap bahasa itu setidak-
tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu 1 kesetiaan bahasa loyalty language 2 kebanggaan bahasa language pride, dan 3 kesadaran norma bahasa awarness of the norm .
Ketiga ciri sikap bahasa tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa di antara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah bersikap
positif atau bersikap negatif Suwito, 1985:90. Apabila ketiga ciri ketiga bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang positif terhadap bahasanya.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap
negatif terhadap bahasanya. Sikap negatif terhadap bahasa juga menurut Denes, dkk 1994:54 dapat terjadi apabila ketiga prinsip ini kurang dimiliki oleh dwi bahasawan, kecendrungan
timbulnya interferensi besar sekali.
3.5 Ciri-ciri Sikap Bahasa 3.5.1 Sikap Kesetiaan Bahasa language loyalty
. Weinreich 1970 : 99 mendefinisikan sikap kesetiaan bahasa sebagai daya ide yang
mengisi mental dan hati manusia untuk menterjemahkan kesadaran dalam tingkah laku berpola sebagai kesetiaan bahasa. Kesetiaan bahasa loyalty language adalah yang mendorong suatu
masyarakat tutur untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Masyarakat tutur yang mempertahankan kemandirian bahasanya
berarti masyarakat yang masih memiliki gairah terhadap bahasanya. Sebaliknya apabila seseorang atau suatu masyarakat tutur tidak memiliki lagi gairah untuk mempertahankan
kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah dan bukan tidak mungkin pada gilirannya akan menghilang sama sekali. Jadi
dalam sikap kesetiaan bahasa terdapat unsur sikap mempertahankan bahasanya, tidak mau terpengaruh dengan bahasa lain yang bukan miliknya.
3.5.2 Sikap Kebanggaan Bahasa language pride
Kebanggaan bahasa language pride yang disebut juga linguistic pride lihat Wijana, 2006 mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Weinreich 1970 : 99 mengungkapkan bahwa sikap kebanggaan bahasa ini merupakan dorongan terhadap seseorang atau masyarakat pendukung bahasa itu untuk menjadikan
bahasanya sebagai penanda jati diri identitas etniknya merupakan kebanggaan bahasa, dan sekaligus membedakan dari etnik lain.
Seseorang yang merasa bangga dengan bahasanya tidak akan mengalihkan bahasanya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Akan tetapi seseorang atau masyarakat tutur yang
merasa tidak berkewajiban atau merasa malu menunjukkan identitasnya dengan bahasanya, dan cenderung mengalihkan kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya, maka orang
atau masyarakat tutur seperti itu disebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya.
3.5.3 Sikap Kesadaran Norma Bahasa awareness of the norm
Kesadaran norma bahasa awarness of the norm yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Weinreich 1970 : 99 berpendapat bahwa dorongan dari diri masyarakat pemakai bahasa itu untuk memakai bahasanya secara baik,
benar, santun, korek dengan kaidah-kaidah yang berlaku merupakan sikap kesadaran akan norma. Sikap kesadaran demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku tutur
dalam ujud pemakaian bahasa language use.
Kesadaran berbahasa itu tercermin dalam tanggung jawab, sikap, perasaan memiliki
bahasa yang pada gilirannya menimbulkan kemauan untuk ikut membina dan mengembangkan bahasa.
Setiap orang mempunyai pandangan tentang bahasanya sendiri. Dia menyadari bahwa bahasa merupakan suatu kebutuhan. Kesadaran ini menimbulkan sikap, bagaimana ia bertingkah
Universitas Sumatera Utara
laku dalam menggunakan bahasanya. Sikap itu diwarnai pula oleh sikap menghormati, bertanggung jawab, dan ikut memiliki bahasanya. Sikap bertanggung jawab akan melahirkan
kemauan baik secara pribadi maupun kelompok untuk membina dan mengembangkan bahasanya. Perasaan bertanggung jawab itu tidak saja terletak pada penguasa atau badan yang
diserahi tugas untuk itu, tetapi orang yang berkesadaran berbahasa merasa bahwa ia pun bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasanya.
Sikap kesadaran berbahasa ialah sikap seseorang, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap bahasa sehingga menimbulkan rasa memiliki
bahasa, dan dengan demikian ia berkemauan untuk untuk ikut membina dan mengembangkan bahasa itu lihat Pateda, 2001. Jadi, dengan batasan ini terdapat ciri: 1 sikap terhadap bahasa
dan berbahasa; 2 tanggung jawab terhadap bahasa dan berbahasa; 3 rasa ikut memiliki bahasa, dan 4 berkemauan membina dan mengembangkan bahasa. Kesadaran ini perlu
ditumbuhkembangkan agar suatu bahasa terpelihara dan berkembang terus. Pateda 2001 mengemukakan ciri orang yang bertanggung jawab terhadap suatu bahasa
dan pemakaiannya adalah: 1. selalu berhati-hati menggunakan bahasanya,
2. tidak merasa senang melihat orang yang menggunakan bahasa secara serampangan, 3. mengingatkan pemakai bahasa kalau ternyata pemakai bahasa membuat kekeliruan,
4. tertarik perhatiannya kalau ada orang menjelaskan hal yang berhubungan dengan bahasa, 5. dapat mengoreksi pemakaian bahasa orang lain,
6. berusaha menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam bahasa tersebut, dan 7. segera bertanya kepada ahli bahasa kalau menghadapi persoalan bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Jelas di sini bahwa setiap orang diusahakan bukan saja harus mencintai bahasanya, melainkan menggunakan bahasanya secara tertib. Mereka harus sadar , bahasa itu akan
diwariskan lagi kepada generasi sesudah dia. Terkait dengan sikap bahasa terhadap BI, Moeliono 1975 menawarkan tiga ciri sikap
penutur bahasa terhadap BI yang baku, yakni: 1 sikap kesetiaan terhadap BI, 2 sikap kebanggaan berbahasa Indonesia, dan 3 sikap patuh terhadap aturan yang baku agar terhindar
dari sanksi, sebagaimana orang berusaha berbahasa Inggris dengan baik karena takut ditertawakan lihat Suwito; 1983: 91.
Sikap positif terhadap bahasa lebih banyak terlihat pada pemakaian bahasa sehari-hari oleh pemakai bahasa. Sikap positif terhadap bahasa dan berbahasa, selain ciri yang terlihat di
atas, juga terutama terlihat pada penampilan seseorang ketika menggunakan bahasa. Sikap terhadap bahasa itu terlihat dari penghargaannya terhadap bahasa.
Sikap negatif terhadap bahasa akan timbul bila seseorang atau masyarakat tutur tidak merasa terdorong atau terpanggil untuk memelihara cermat-bahasanya dan santun-bahasanya.
Apa yang dituturkannya dan dituliskannya tidak pernah memperhitungkan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku.
Kalau kita memperhatikan dalam kehidupan berbahasa dalam masyarakat, sikap seseorang terhadap suatu bahasa dapat dilihat dari beberapa aspek, misalnya usia, pendidikan,
dan jenis kelamin gender. Penelitian Crystal terhadap sikap bahasa para pelajar di Taiwan menggunakan 244 pelajar dan mahasiswa sebagai responden penelitian. Responden diminta
untuk mengevaluasi tujuh sampel bacaan dalam bahasa Taibun dengan tulisan dan ortografi yang berbeda dengan enam skala karakteristik. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa rating
paling tinggi berada hanya pada ciri ortografi bahasa Han, bahasa campuran Han-Roman berada
Universitas Sumatera Utara
pada peringkat kedua, dan hanya pada tulisan bahasa Roman yang memperoleh rating terendah. Akan tetapi secara keseluruhan para pelajar memperlihatkan sikap positif terhadap bahasa
Taibun. Sebagai tambahan terhadap faktor ortografi, latar belakang pelajar juga mempengaruhi evaluasi mereka. Faktor-faktor yang signifikan antara lain adalah 1 tempat tinggal, Taipei vs
non-Taipei, 2 pemakaian bahasa Taiwan dan bahasa Inggris vs. Mechanical Engineering vs.
bahasa Cina, Jepang, dan administrasi publik, 3 bahasa ibu, 4 kemampuan berbahasa, 5 kebangsaan, dan 6 status.
Penelitian sikap terhadap bahasa Wales dan terhadap bahasa Inggris yang dilakukan Baker 1992 menggunakan variabel usia, pendidikan dan jenis kelamin. Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa sikap meningkat seiring bertambahnya usia. Baker menyatakan bahwa pada usia antara 10 dan 15 tahun, sikap terhadap bahasa Wales menjadi kurang positif. Pendapat
Jones 1949,1950, dan Sharp et al dalam Baker 1992 menemukan relasi terbalik, yakni semakin bertambah usia, sikap positif terhadap bahasa semakin menurun. Selanjutnya mereka
juga menemukan bahwa kesetiaan terhadap bahasa Wales menurun, sedangkan kesetiaan terhadap bahasa Inggris meningkat seiring bertambahnya usia. Maka disimpulkan bahwa sikap
positif terhadap bahasa Inggris meningkat dengan bertambahnya usia. Pada konteks pendidikan dimana sikap bahasa berkembang dan berubah merupakan
faktor yang memungkinkan untuk mempengaruhi sikap bahasa. Roberts dalam Baker 1992 menemukan bahwa para pelajar sekolah menengah yang bilingual memiliki motivasi dan
komitmen yang relatif kuat seperti halnya para guru mereka terhadap bahasa Wales dan terhadap kegiatan-kegiatan budaya Wales misalnya dalam kegiatan ekstra kurikuler. Selain itu Baker
1992 : 43 menyebutkan bahwa sikap bahasa berkembang dan berubah mungkin juga disebabkan oleh faktor pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu berdasarkan aspek jender, Baker 1992 memberikan contoh beberapa ahli yang meneliti tentang sikap bahasa seperti Jones 1949,1950, Sharp et al 1973, dan Jones,E.P
1982 yang menemukan bahwa wanita memiliki sikap lebih positif terhadap bahasa Wales dari pada sikap pria. Sharp menemukan hubungan yang signifikan secara statistik pada usia 1011,
1213, dan 1415 tahun respek terhadap bahasa Wales, tetapi tidak terhadap bahasa Inggris. Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat dan hasil penelitian di atas adalah
bahwa sikap bahasa merupakan proses kejiwaan terkait dengan cara seseorang bereaksi terhadap sesuatu bahasa yang ditentukan oleh faktor-faktor terhadap siapa, membicarakan apa, situasi
penggunaan, dan bagaimana menggunakan. Sikap kebahasaan seseorang dapat dikatakan positif apabila orang tersebut memiliki ketiga ciri sikap bahasa yaitu memiliki perasaan setia, dan rasa
bangga, serta sadar akan norma bahasa sebagai penanda jati dirinya. Seseorang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap bahasanya apabila ketiga ciri sikap bahasa di atas tidak lagi
dimilikinya sebagai penanda jati dirinya. 3.6
Kerangka Teori
Beberapa teori yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu teori kontak bahasa languages in contact dan teori sikap bahasa languages attitudes yang merupakan cakupan kajian
sosiolinguistik dan teori struktural. Teori kontak bahasa languages in contact digunakan untuk mengkaji peristiwa
interferensi dalam sistem BT yang terdapat pada masyarakat BT di Medan yang bilingual BT-BI. Peristiwa kontak bahasa tidak dapat dihindari oleh penutur bilingual. Kontak bahasa merupakan
peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari peristiwa kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain
Universitas Sumatera Utara
mencakupi semua tataran kebahasaan yang disebutkan Weinreich 1968 sebagai peristiwa interferensi. Dalam proses penguasaan bahasa kedua masuknya unsur bahasa kedua yang dapat
dikatakan sama sehingga dapat lebih mudah menggunakannya. Demikian pula sebaliknya, apabila unsur yang masuk itu berlainan, maka akan terjadi gejala interferensi Huda dalam
Denes,1994:7. Sebagai konsekuensinya, dengan adanya kontak bahasa, proses pinjam meminjam atau pengaruh mempengaruhi terhadap unsur bahasa lain tidak dapat dihindari.
Kajian sikap bahasa yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teori sikap bahasa language attitude oleh Anderson 1974. Sikap bahasa languages attitude merupakan tata
keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu
yang disukainya. Sikap bahasa languages attitude adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap attitude pada umumnya.
Peristiwa. sikap bahasa ditandai oleh tiga prinsip sebagai acuan untuk menilai sikap penutur bahasa yakni 1 kesetiaan bahasa loyalty language 2 kebanggaan bahasa language
pride, dan 3 kesadaran norma bahasa awarness of the norm Garvin dan Mathiot,1968. Ketiga ciri sikap bahasa tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu
bahasa di antara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah bersikap positif atau bersikap negatif lihat Suwito, 1985:90. Apabila ketiga ciri ketiga bahasa ini
dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang positif terhadap bahasanya. Sebaliknya jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi
gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya. lihat Garvin dan Mathiot,1968. Jika ketiga prinsip
ini kurang dimiliki oleh dwi bahasawan maka kecendrungan timbulnya interferensi besar sekali
Universitas Sumatera Utara
Denes,dkk 1994 : 54. Terkait dengan sikap bahasa, Suwito 1985:87 berpendapat bahwa sikap bahasa language attitude adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap attitude
pada umumnya Penerapan teori struktural dalam penelitian ini untuk membahas perbandingan sistem BT-
BI. Dalam teori struktural ada dikotomi yang dapat dijadikan landasan pemecahan masalah, misalnya dikotomi signifié bentuk dan signifiant makna dan dikotomi yang mengacu pada
hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Pengamatan terhadap gejala interferensi sangat erat kaitannya dengan keberadaan bentuk dan makna bahasa yang bersangkutan termasuk hubungan
keduanya Denes,dkk,1994:7. Hubungan paradigmatik ialah hubungan unsur-unsur yang secara vertikal memperlihatkan persamaan fungsi dengan yang lain, sedangkan hubungan sintagmatik
ialah hubungan yang bersifat horizontal dan dapat bersubstitusi satu sama lain. Penelitian masalah interferensi dengan menggunakan teori struktural pernah dilakukan oleh Rindjin, Ketut
1979 dengan aspek kajiannya pada interferensi gramatikal bahasa Indonesia dalam bahasa Bali yang menggunakan pendekatan metode deskriptif.
Analisis interferensi berdasarkan teori struktural bertujuan untuk mendeskripsikan tuturan BT yang mengalami gejala interferensi BI pada masyarakat penutur bilingual BT di Medan.
Karena penelitian ini harus membandingkan antara faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya interferensi antara kedua bahasa itu, maka metode yang digunakan bersifat deskriptif
komparatif.
3.7 Simpulan
Terdapat masyarakat yang mengenal dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Masyarakat ini disebut masyarakat bilingual dwibahasawan. Dalam keadaan kontak antara B
1
Universitas Sumatera Utara
dengan B
2
yang umum terjadi adalah penyerapan atau pemungutan borrowing - baik pada tingkat leksikal maupun tingkat struktur – dan penggabungan konvergence. Pada tingkat
leksikal, seorang penutur akan menggunakan leksikal B
1
begitu ia tidak berhasil menemukan konsep yang ingin dibicarakannya dalam basis data leksikal B
2
-nya, atau sebaliknya. Suatu masyarakat bahasa yang mengenal dan menguasai lebih dari satu bahasa cenderung mengalami
interferensi ketika berbahasa Interferensi dianggap sebagai penyimpangan sistem suatu bahasa
─ baik sistem bunyi, kosakata, sintaksis, maupun intonasi
─ sebagai akibat kontak dua bahasa atau lebih yang dikuasai oleh seorang penutur dan akibat penguasaan beberapa bahasa dan pemakaiannya secara
bergantian. Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Masuknya unsur-unsur bahasa
yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa.
Bentuk-bentuk interferensi ada tiga, yaitu interferensi dalam bidang bunyi interferensi fonologis, interferensi dalam bidang gramatikal tatabahasa, dan interferensi dalam bidang
leksikal Interferensi bunyi itu dapat berupa substitusi bunyi sound substitution, kenal-sama
terhadap dua bunyi under-differentiation, kenal-beda terhadap dua bunyi over-differentiation, penafsiran ulang perbedaan bunyi reinterpretation of distinctions, dan interferensi fonotaktik.
Interferensi bidang gramatikal tata bahasa terjadi bilamana dwibahasawan mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa
kedua B
2
dengan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada sistem bahasa pertama B
1
, dan menggunakannya dalam tuturannya pada bahasa kedua, serta demikian pula
Universitas Sumatera Utara
sebaliknya. Weinreich 1968 mengklasifikasikan interferensi gramatikal atas 1 pemindahan morfem, 2 penerapan hubungan gramatikal 3 perubahan fungsi morfem, 4 pengabaian
kategori wajib. Interferensi dalam bidang morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukan kata
dengan afiks. Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain.
Interferensi leksikal diklasifikasikan atas: 1 kata sederhana simple word, 2 kata majemuk dan frase, 3 pinjaman dan kesejajaran antara beberapa bahasa.
Gejala interferensi yang hadir dalam suatu bahasa secara garis besar dapat dibedakan atas dua bagian, yang pertama dilatarbelakangi oleh adanya faktor internal dan yang kedua oleh
faktor eksternal. Faktor internal dalam kaitan ini mengacu pada struktur bahasa. Kemungkinan terjadi interferensi dimungkinkan oleh a penggunaan struktur bahasa pertama dalam bahasa
kedua, atau sebaliknya, dan b penggunaan struktur bahasa kedua dalam tuturan bahasa pertama. Dengan adanya kesesuaian struktur dan keserupaan kosakata maka mudah terjadi bentuk
campuran baster antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Selain faktor internal, faktor eksternal atau faktor nonlinguistik sering menyebabkan
terjadinya interferensi. Faktor nonlinguistik sebagai penyebab terjadinya interferensi ialah faktor individu dan faktor sosial budaya. Dua faktor lain yang cukup dominan sebagai pendorong
terjadinya interferensi ialah faktor komunikasi dan faktor situasi. Hakikat individu yang dimaksud di sini ialah hal yang berkaitan dengan penutur sebagai dwibahasawan, antara lain
meliputi penguasaan bahasa dan sikap bahasa. Sikap bahasa languages attitude sebagai faktor eksternal adalah peristiwa kejiwaan dan
merupakan bagian dari sikap attitude pada umumnya. Sikap kebahasaan seseorang dapat
Universitas Sumatera Utara
dikatakan positif apabila orang tersebut memiliki ketiga ciri sikap bahasa yaitu setia, bangga, dan sadar akan norma bahasa sebagai penanda jati dirinya. Akan tetapi, jika seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap
bahasanya. Sikap negatif terhadap bahasa juga dapat terjadi apabila ketiga prinsip ini kurang
dimiliki oleh dwi bahasawan maka kecende- rungan timbulnya interferensi besar sekali. Berdasarkan penjelasan konsep-konsep di atas dapat diperhatikan hubungan sikap bahasa
dengan fenomena interferensi yang terjadi pada penutur bilingual pada bagan berikut.
Gambar 2 Bagan Bilingualisme-Sikap Bahasa-Interferensi
BAB IV
Masyarakat Bahasa:
BilingualMulti- lingual
Sikap Bahasa
Kontak bahasa
languages in contact
Positif Negatif
Setia Bangga
Sadar
Bahasa Sejajar
Coord.Lan guage
B
1
= B
2
→ Bahasa Sejajar Coordinate Language
B
1
B
2
atau B
1
B
2
→ Bahasa Majemuk Compound Language
Interferensi
Bahasa Majemuk
Comp.Lan guage
BT-BI
:
Darimana, inang?
Intralinguistik Ekstralinguistik
B
1BT
:
Sian dia, inang ?
B
2 BI
:
Darimana, bu?
Fono- logis
Gramati- kal
Leksi- kal
Faktor sosial budaya
Faktor Struktur Bahasa Faktor
individu
Universitas Sumatera Utara
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Pengantar
Bagian bab ini menguraikan prosedur teknis pengumpulan dan pengolahan data penelitian. Di dalamnya secara rinci diuraikan metode, pengumpulan data, dan pengolahan data. Dalam
pengolahan data dibahas permasalahan dimana lokasi penelitian, siapa informan dan responden penelitian ini, apa instrumen yang digunakan dan bagaimana memvalidasi instrumen tes, dan
korpus data penelitian. Pada bagian pengumpulan data dibicarakan analisis data, baik data interferensi maupun data sikap bahasa hingga didapat temuan penelitian.
Variabel penelitian digambarkan sebagai berikut.
Bagan 4.1 Variabel Penelitian
4.2 Metode dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Miles dan Huberman 1992:1 berpendapat bahwa metode pendekatan kualitatif digunakan sebagai dasar dan
pendekatan kerja serta menjadi unsur utama dalam penelitian ilmu-ilmu sosial tertentu. Metode kualitatif dipakai untuk mengungkap permasalahan 1 perihal gejala interferensi dalam bahasa
Sikap Bahasa
Interferensi
Pengaruh Bahasa
Sumber
Bahasa Batak Toba di Medan
Universitas Sumatera Utara
BT dan 4 tentang bahasa BT di Medan, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk mengungkap permasalahan 2 tentang sikap bahasa berdasarkan variabel dan permasalahan 3
tentang hubungan antara sikap bahasa dan interferensi.
Analisis kualitatif dilakukan terhadap korpus data interferensi yang terjaring melalui perekaman tuturan BBT dari berbagai situasi yang digunakan sebagai data primer, pencatatan,
dan observasi atau pengamatan. Tuturan BBT yang direkam sebanyak 40 teks rekaman tuturan dari berbagai situasi , kemudian didengarkan kembali bersama dengan dua orang pria penutur
asli BT. Rekaman diputar berulang-ulang, sampai didapatkan kesamaan pendapat tentang kebenaran tuturan BT yang telah direkam. Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap rekaman untuk
mengetahui apakah terdapat interferensi fonologis , leksikal, dan gramatikal di dalam tuturan yang direkam sebagai data yang diperlukan untuk penelitian. Dari 40 teks lisan rekaman tuturan
BT, 20 data tuturan dianggap layak untuk dijadikan sebagai korpus data penelitian lihat dalam lampiran tuturan setelah sebelumnya keduapuluh tuturan yang diseleksi tersebut
ditranskripsikan dalam bentuk tulisan fonetis. Metode kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan dalam penelitian ini agar sifat atau
karakteristik data interferensi yang sebenarnya dapat diuraikan dan dijelaskan serta faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat-sifat data yang telah diperoleh dapat diungkapkan.
4.3 Pengumpulan Data
Data penelitian ini dikumpulkan dengan empat cara, yaitu kuesioner , tes, perekaman, dan observasi. Dalam kaitan dengan teknik perekaman atau pengamatan, peneliti menyadari akan
pentingnya apa yang disebut oleh Labov dalam Fishman 1971:171 yang mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
tujuan penelitian kebahasaan dalam suatu masyarakat guyup adalah menemukan bagaimana orang yang diamati atau yang direkam tuturnya ketika berbicara atau bercakap-cakap ketika
mereka seperti tidak dalam diamati secara sistematis, padahal kita hanya dapat memperoleh data ini dengan pengamatan yang sistematis. Dengan kata lain peneliti harus selalu menyadari bahwa
data harus diperoleh pada waktu subjek tidak menyadari perilakunya sendiri. Menurut Gulo 2005:117 metode tersebut sangat mengandalkan ” penglihatan” dan ”
pendengaran ” yang memiliki keterbatasan-keterbatasan yang perlu disadari oleh peneliti. Untuk itu, peneliti menggunakan alat rekam digital ’Samsung’ yang dapat melakukan perekaman
berdurasi 30 jam sebagai cara untuk memperoleh data yang relevan dengan tujuan penelitian. Selanjutnya data rekaman ditransfer ke dalam komputer untuk kemudian diperdengarkan
kembali kepada tiga orang penutur asli BT agar rekaman tuturan tersebut dapat ditranskripsikan dengan benar untuk dapat dijadikan sebagai data primer yang valid. Apabila hasil perekaman
tidak jelas maka data rekaman tidak dipakai sebagai data penelitian. Untuk menjaring sikap bahasa penutur digunakan angket berupa kuesioner. Sebagaimana
dalam penelitian Siregar 1998, Aruan 1981, Baker 1994, Sumarsono 1990 masing-masing menggunakan instrumen berupa kuesioner untuk mengungkap berbagai aspek yang terkait
dengan bahasa yang dikuasai penutur bilingual dengan menyediakan dua, empat atau lima opsi jawaban.
Penelitian Siregar mengungkap aspek kemampuan, penggunaan, kesetiaan, dan pengetahuan tentang bahasa daerah beberapa penutur dari berbagai daerah yang terdapat di
Medan. Aruan menggunakan kuesioner terstruktur yakni responden memilih jawaban yang telah disediakan untuk mengungkap aspek penguasaan, penggunaan, kemampuan, dan kesukaan
terhadap bahasa Batak. Baker, Colin 1992 menggunakan kuesioner untuk mengungkap
Universitas Sumatera Utara
penggunaan, nilai, kepentingan atau status bahasa Wales, Abdullah, Kamsiah 2004 menggunakan angket tentang sikap dan tes penguasaan menyimak, berbicara, menulis, dan
membaca murid-murid di Singapura terhadap bahasa Melayu, dan Sumarsono 1939 menggunakan kuesioner untuk mengungkap aspek kemampuan dan penggunaan bahasa.
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data tentang sikap bahasa sampel terhadap bahasa BT digunakan kuesioner dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan
dengan sikap bahasa. Kuesioner yang digunakan untuk menjaring data sikap bahasa penutur BT
bertujuan mengungkap sikap bahasa masih menguasai dengan mengajukan pertanyaan yang terkait dengan aspek fonologis, leksikal, dan gramatikal , sikap bahasa masih menggunakan dan
ingin mempertahankan dengan pernyataan selalu, sering, kadang-kadang, jarang, dan tidak
pernah untuk mengungkap aspek mengajarkan, mengoreksi, menjelaskan, bertanya, dan membaca. Selain itu, pernyataan favorabel setuju dan tidak favorabel tidak setuju penutur
juga digunakan untuk menjaring data sikap afeksi penutur terhadap BT dengan pernyataan positif dan pernyataan negatif lihat kisi-kisi instrumen penelitian.
Variabel yang diamati adalah jenis kelamin, usia, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa. Jenis kelamin dibedakan atas dua kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan. Variabel
usia menggunakan satuan generasi seperti penelitian Sumarsono 1993 : 128, yang menganggap generasi tua adalah mereka yang berusia 25 – 60 tahun. Walaupun tidak disebutkan, dapat
diartikan bahwa yang usianya kurang dari 25 tahun adalah generasi muda. Pengelompokan generasi dalam Sumarsono dan juga oleh Sugiyono 1996 : 53 sepenuhnya akan diambil untuk
pengelompokan usia dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini mengamati perilaku berbahasa dua generasi, yaitu generasi muda berusia
≤ 25 tahun dan generasi tua berusia 25 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap pertama, dibagikan kuesioner kepada calon responden dengan dibantu oleh tiga orang penutur asli BT yang sebelumnya telah diberikan simulasi tentang pengambilan data
penelitian. Tahap ini dilakukan untuk menentukan calon responden yang diperlukan. Data calon responden yang terpilih ini kemudian dipindahkan ke dalam lembar pengamatan. Mereka inilah
yang kemudian diambil datanya lebih lanjut sebagai korpus penelitian. Tahap berikutnya adalah membagikan angket tentang sikap dan instrumen tes untuk
mengetahui ada tidaknya interferensi.Untuk butir soal fonologis yang berupa pembacaan teks singkat dan daftar kata dalam menjaring data interferensi, dilakukan perekaman terhadap
responden. dengan menggunakan alat perekam digital ‘Samsung’ berdurasi 30 jam. Alat perekam ini memiliki kualitas yang sangat baik dibanding dengan alat perekam yang
menggunakan kaset biasa sebab suara rekaman tuturan yang dihasilkan jernih dan dapat ditransfer langsung ke dalam komputer sehingga rekaman dapat terjamin kualitasnya dan tidak
khawatir terjadi kerusakan. Pada tes aspek fonologis, responden diminta untuk membaca teks dan daftar kata yang
tersedia dalam instrumen tes dan saat yang sama dilakukan perekaman. Setelah selesai tahap perekaman, responden diminta untuk mengisi semua pertanyaan dalam angket dan instrumen tes.
Hasil rekaman diputarkan kembali dan diperdengarkan kepada dua orang penutur asli BT agar kesalahan-kesalahan pengucapan yang dilakukan responden penelitian dapat diberikan nilai.
4.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan dengan melakukan perekaman tuturan sebagai data primer dari penutur bahasa BT dalam berbagai situasi yaitu khotbah dan berdoa pada acara
keagamaan di gereja, percakapan dan laporankata-kata sambutan dalam perkumpulan marga dan
Universitas Sumatera Utara
acara gereja, percakapan dalam keluarga, dengan tetangga, dan percakapan dalam beberapa acara pesta adat.
Data sikap bahasa diperoleh dari hasil angket yang disebarkan di empat kecamatan di kota Medan yaitu Medan Baru, Medan Barat, Medan Labuhan, dan Medan Timur. Penetapan
lokasi penelitian ini adalah dengan pertimbangan bahwa masyarakat BT di kota Medan yang berjumlah hampir 365.758 jiwa atau sekitar 19,20 dari populasi masyarakat Medan BPS,
2000 lebih terkonsentrasi di wilayah tersebut di atas. Penetapan sampel penelitian berdasarkan stratified sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya Hadi,1993:83. Sumber data penelitian interferensi adalah tuturan-tuturan dalam berbagai situasi oleh
penutur BT. Sumber data penelitian sikap bahasa dan interferensi diperoleh dari hasil sebaran angket dan tes yang diberikan kepada penutur BT di kota Medan yang bilingual, yakni penutur
yang menggunakan BBT dan BI sehingga sangat relevan dengan tujuan penelitian ini. Di samping itu penutur yang akan dijadikan responden adalah penutur asli BBT yang sehat,
kelahiran daerah luar kota Medan dengan tanpa adanya perkawinan campuran dengan etnik lain dan telah berdomisili di Medan
≥ lima tahun. Ditetapkannya aspek lama tinggal ≥ lima tahun mengacu kepada penelitian Siahaan 2000 yang menetapkan populasi penelitiannya bertempat
tinggal di Medan paling sedikit lima tahun. Sebagaimana telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa kota Medan merupakan
salah satu kota di Indonesia yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnik. Salah satu masyarakatnya adalah penutur Batak Toba dengan jumlah yang relatif tinggi setelah masyarakat
penutur bahasa Jawa. Melihat kemajemukan penghuni kota Medan maka dirasa sangat tepat dijadikan sebagai lokasi untuk menunjang penelitian sosiolinguistik
Universitas Sumatera Utara
Sampel untuk sikap bahasa diambil secara proporsional dengan teknik pengambilan percontoh acak berstrata stratified random sampling, dengan mempertimbangkan ciri sosial
seperti jenis kelamin, usia, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa. Variabel jenis kelamin dibedakan atas Pria dan Wanita; usia dibedakan atas dua
kelompok usia I adalah ≤ 25 tahun, dan kelompik usia II adalah 25 tahun, penggunaan
bahasa dikelompokkan atas 3 kelompok yaitu selalu menggunakan BT, penggunaan BT dan BI sama seringnya, dan selalu menggunakan BI. Berdasarkan pengelompokan tersebut, jumlah
penutur BT yang akan dijadikan responden penelitian adalah 2 jenis kelamin x 2 usia x 3 pemakaian bahasa x 2 lama tinggal . Jumlah perkalian di atas digandakan sebanyak empat kali
dengan pertimbangan bahwa berbagai variasi sosial yang lain dapat terwakili meskipun ciri sosial tersebut tidak disertakan dalam penelitian. Dengan demikian jumlah responden seluruhnya
adalah 96 orang.
4.3.2 Informan dan Responden
Dalam penelitian ini digunakan 4 orang penutur asli BT sebagai informan. Salah seorang informan adalah ahli bahasa dan sekaligus peneliti BT dan juga pemerhati BT. Satu informan BT
lainnya adalah sarjana dan pernah meneliti BT, satu informan lainnya adalah sarjana bahasa daerah dan merupakan pimpinan pusat dokumentasi BT di Universitas Nommensen. Informan
keempat adalah ibu mertua peneliti sendiri yang banyak memberikan informasi tentang BT baik dalam bahasa maupun dalam adat budaya BT.
Responden dalam penelitian ini adalah penutur BT asli kelahiran Tapanuli dan berdomisili di Medan secara menetap ataupun secara temporer dengan lama tinggal di Medan
Universitas Sumatera Utara
selama 5 tahun atau lebih. Selain itu, responden penelitian juga tidak merupakan hasil perkawinan campuran dari etnik lain.
4.3.3 Instrumen Penelitian
Untuk menjaring data sikap bahasa penutur BT, digunakan angket berupa kuesioner sebanyak 25 pernyataan dengan jawaban tertutup dengan menyediakan lima opsi jawaban
rincian angket dapat dilihat pada tabel kisi-kisi yang disebarkan di empat kecamatan di kota Medan dengan variabel jenis kelamin, usia, lama tinggal, dan pemakaian bahasa.
Selain itu untuk memperoleh data penelitian interferensi dalam BT digunakan instrumen tes berupa soal-soal dalam BT yang diambil dari korpus data interferensi yang telah diperoleh
dari tigapuluh tuturan lisan penutur dari berbagai situasi sebagai data primer, untuk data penelitian interferensi diambil secara acak duapuluh item sebagai variabel fonologis, masing-
masing lima item untuk variabel leksikal, lima item untuk variabel morfologi, dan lima item untuk variabel sintaksis sehingga diperoleh 35 butir soal interferensi. Setiap butir soal disediakan
lima opsi jawaban yang di dalamnya terdapat unsur-unsur bunyi, kata, gramatikal BT dan juga BI sebagai distraktornya. Sebelum angket sikap bahasa dan instrumen tes interferensi
diujicobakan kepada penutur BT di Medan, terlebih dahulu dikonsultasikan kepada tiga orang penutur asli BT kelahiran Tapanuli yang berdomisili di Medan. Para penutur asli tersebut juga
merupakan ahli bahasa dan giat menekuni BT. Setelah melalui revisi yang berulangkali dilakukan disebabkan terdapatnya butir-butir
soal yang tidak sesuai dengan kaidah BT, maka angket dan instrumen tes dianggap layak untuk diujicobakan. Uji coba angket dan instrumen tes dilakukan kepada 30 orang penutur asli BT
kelahiran luar kota Medan yang dilakukan peneliti dibantu oleh 3 orang penutur asli BT. Setelah
Universitas Sumatera Utara
uji coba angket dan instrumen dilakukan, dihitung validitas dan reliabilitas butir soal pernyataan ternyata terdapat lima butir yang tidak valid gugur. Setelah kelima butir soal yang gugur
dibuang, maka dilakukan kembali penghitungan validitas dan reliabilitas angket dan instrumen, ternyata hasil perhitungan memperlihatkan valid. Selanjutnya angket dan instrumen yang telah
valid tersebut diujikan kembali kepada 96 responden penutur BT untuk mendapatkan data hasil penelitian.
4.3.3.1 Instrumen Sikap Bahasa Instrumen sikap bahasa yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes dan non tes.
Instrumen yang berupa tes digunakan untuk mengukur indikator sikap penguasaan bahasa BT. Sedangkan instrumen yang berupa non tes kuesioner digunakan untuk mengukur indikator
sikap bahasa menggunakan dan sikap bahasa ingin mempertahankan serta sikap afeksi terhadap bahasa BT. Adapun sebaran butir instrumen untuk mengukur sikap bahasa disajikan seperti
terlihat pada tabel kisi-kisi berikut.
Tabel 4. 1 Kisi-kisi Instrumen Sikap Bahasa Indikator
Sub Indikator Nomor Soal
Jumlah Soal
Sikap Bahasa 1. Masih Menguasai
2. Masih
Menggunakan 3. Ingin
Mempertahankan 1.1. Kosa kata
1.2. Pengucapan 1.3. Kalimat
2.1. Dalam keluarga: orang tua, saudara
kandung 2.2. Luar keluarga:
tetangga, teman sesuku 3.1. Mengajarkan
3.2. Mengoreksi 3.3. Menjelaskan
3.4. Bertanya 3.5. Membaca
1,2 6
3,4,5,7 8,9
10,11,12 13
14 15
16 17
17
Universitas Sumatera Utara
Sikap Afeksi - pernyataan positif
- pernyataan negatif 1,2,3,4,5,
6,7,8,9,10 10
Sebelum instrumen penelitian ini disebarkan untuk digunakan dalam menjaring data
penelitian, terlebih dahulu dilakukan ujicoba instrumen. Adapun ujicoba yang dilakukan adalah untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen. Ujicoba instrumen penelitian dilakukan
kepada responden sebanyak 30 orang penutur BT di Medan. Adapun hasil ujicoba instrumen diuraikan atas indikator dengan hasil sebagai berikut:
1. Sikap Bahasa
a. Indikator Sikap Bahasa: Masih Menguasai BT Instrumen untuk mengukur sikap bahasa penguasaan bahasa BT disusun berupa tes,
dengan jumlah pertanyaan sebanyak 7 item. Setiap butir item tes dibuat dengan 5 option alternatif jawaban. Dari kelima option yang dibuat, hanya salah satu option yang paling
benar. Jika responden menjawab benar diberi skor 1, dan bila menjawab salah diberi skor 0.
Uji validitas tes penguasaan bahasa BT dihitung dengan menggunakan rumus korelasi point biserial dan uji reliabilitas digunakan dengan rumus KR-20.
Hasil uji validitas yang dilakukan pada 30 responden, diperoleh 1 butir yang tidak valid yaitu butir nomor 4. Karena butir nomor 4 tidak valid, maka butir tersebut tidak
digunakan gugur dalam menjaring data penelitian. Hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus KR-20 diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,677.
Koefisien reliabilitas tersebut dapat dikategorikan relatif cukup baik, sehingga layak digunakan untuk menjaring data penelitian.
Universitas Sumatera Utara
b. Indikator Sikap Bahasa: Masih Menggunakan BT Instrumen untuk mengukur masih menggunakan BT disusun berupa kuesioner angket,
dengan jumlah pernyataan sebanyak 5 item. Option alternatif jawaban angket disusun dengan menggunakan skala Likert. Adapun jawaban tersebut terdiri dari 5 option, yaitu:
a selalu b sering c kadang-kadang d jarang e tidak pernah. Dalam penskoran jawaban yang diberikan oleh responden yaitu bila menjawab: Selalu = 5, Sering = 4,
Kadang-kadang = 3, Jarang = 2 dan Tidak pernah = 1. Uji validitas angket penggunaan bahasa BT dihitung dengan menggunakan rumus
korelasi Product Moment dan uji reliabilitas digunakan dengan rumus Alpha Cronbach. Hasil uji validitas yang dilakukan pada 30 responden, diperoleh semua butir valid
sehingga tidak ada yang gugur dan dapat digunakan untuk menjaring data penelitian. Hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach diperoleh
koefisien reliabilitas sebesar 0,726. Koefisien reliabilitas tersebut dapat dikategorikan relatif cukup baik, sehingga layak digunakan untuk menjaring data penelitian.
c. Indikator Sikap Bahasa: Ingin Mempertahankan BT Instrumen untuk mengukur mempertahankan bahasa BT disusun berupa kuesioner
angket, dengan jumlah pernyataan sebanyak 5 item. Option alternatif jawaban angket disusun dengan menggunakan skala Likert. Adapun jawaban tersebut terdiri atas 5
option. yaitu: a selalu b sering c kadang-kadang d jarang e tidak pernah. Dalam penskoran jawaban yang diberikan oleh responden yaitu bila menjawab: Selalu = 5,
Sering = 4, Kadang-kadang = 3, Jarang = 2 dan Tidak pernah = 1.
Universitas Sumatera Utara
Uji validitas angket mempertahankan bahasa BT dihitung dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dan uji reliabilitas digunakan dengan rumus Alpha Cronbach.
Hasil uji validitas yang dilakukan pada 30 responden, diperoleh semua butir valid sehingga tidak ada yang gugur dan dapat digunakan untuk menjaring data penelitian.
Hasil perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,749. Koefisien reliabilitas tersebut dapat dikategorikan
relatif baik, sehingga layak digunakan untuk menjaring data penelitian.
2. Sikap Afeksi
Instrumen untuk mengukur sikap afeksi terhadap bahasa BT disusun berupa kuesioner angket, dengan jumlah pernyataan sebanyak 10 item. Option alternatif jawaban angket
disusun dengan menggunakan skala Likert. Adapun jawaban tersebut terdiri atas 5 option. yaitu: a sangat setuju b setuju c kurang setuju d tidak setuju e sangat
tidak setuju. Dalam penskoran jawaban yang diberikan oleh responden, untuk pernyataan positif yaitu bila menjawab: Sangat setuju = 5, Setuju = 4, Kurang setuju = 3, Tidak
setuju = 2 dan Sangat tidak setuju = 1. Sedangkan untuk penyataan negatif, penskorannya yaitu : Sangat setuju = 1, Setuju = 2, Kurang setuju = 3, Tidak setuju = 4
dan Sangat tidak setuju = 5. Uji validitas angket sikap afeksi terhadap bahasa BT dihitung dengan menggunakan
rumus korelasi Product Moment dan uji reliabilitas digunakan dengan rumus Alpha Cronbach.
Hasil uji validitas yang dilakukan pada 30 responden, diperoleh satu butir yang tidak valid yaitu butir nomor 8, sehingga tidak digunakan dalam menjaring data penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Setelah reliabilitas dan validitas angket sikap afeksi terhadap bahasa BT diketahui, maka yang digunakan untuk menjaring data penelitian adalah sebanyak 9 butir. Hasil
perhitungan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha cronbach diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,711. Koefisien reliabilitas tersebut dapat dikategorikan
relatif baik, sehingga layak digunakan untuk menjaring data penelitian.
4.3.3.2 Instrumen Tes Interferensi
Instrumen interferensi terhadap bahasa BT yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes untuk semua indikator. Adapun sebaran butir instrumen untuk mengukur tes
interferensi terhadap bahasa BT disajikan seperti pada tabel kisi-kisi berikut.
Tabel 4.2 Kisi-kisi Instrumen Tes Interferensi Indikator
Sub Indikator Nomor Soal
Jumlah Soal
1. Fonologis 1.1. Teks Singkat A
1.2. Daftar Kata B 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
1, 2, 3, 4, 5, 6,7,8,9, 10
20
2. Leksikal 2.1 kata sederhana
2.2 kata serapan 1,2,3,4,5
5 3. Morfologis
3.1 pembentukan kata 3.2 penggunaan afiks
6,7,8,9,10 5
4. Sintaksis 4.1 penggunaan
partikel 4.2 konstruksi frase
11,12,13,14,15 5
Jumlah 35
Instrumen yang disusun dalam penelitian ini sebelum digunakan untuk menjaring data
penelitian, terlebih dahulu dilakukan ujicoba instrumen. Ujicoba yang dilakukan adalah untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen. Ujicoba instrumen penelitian dilakukan terhadap
Universitas Sumatera Utara
30 orang penutur BT. Adapun hasil ujicoba instrumen diuraikan atas indikator dengan hasil sebagai berikut.
1. Fonologis