6 Etnik dan Bahasa Batak Toba 12 7 Asumsi dan Hipotesis 25 8 Klarifikasi Istilah 26 Singkatan Batak Toba Tapanuli: mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Batak Simalungun: mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, d

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK i ABSTRACT ii KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG xiii BAB I PENDAHULUAN 1 1. 1 Latar Belakang Masalah 1 1. 2 Rumusan Masalah 10 1. 3 Tujuan Penelitian 11 1. 4 Manfaat Penelitian 11 1. 5 Batasan Penelitian 12

1. 6 Etnik dan Bahasa Batak Toba 12

1. 7 Asumsi dan Hipotesis 25

1. 8 Klarifikasi Istilah 26

1. 9 Sistematika Penelitian 28

BAB II BERBAGAI KAJIAN TENTANG INTERFERENSI, SIKAP BAHASA DAN BAHASA BATAK TOBA 29

2.1 Pengantar

29 2.2 Kajian Tentang Interferensi 29 2.3 Kajian Tentang Sikap Bahasa 36 2.4 Kajian Tentang Bahasa Batak Toba 44 BAB III KONSEP BILINGUALISME, INTERFERENSI,DAN SIKAP BAHASA 46

3.1 Pengantar

46 3.2 Konsep Bilingualisme 41

3.2.1 Kontak Bahasa 55

3.2.2 Kontak Bahasa dan Interferensi 56

3.2.3 Kontak Bahasa dan Kebudayaan 56

3.3 Konsep Interferensi 57

3.3.1 Jenis-jenis Interferensi 62

3.3.2 Pembagian Bidang Interferensi 63 3.3.2.1 Interferensi Fonologis 63

3.3.2.2 Interferensi Gramatikal

64 3.3.2.3 Interferensi Leksikal 68 3.4 Konsep Sikap Bahasa 70 Universitas Sumatera Utara

3.5 Ciri-ciri Sikap Bahasa 76

3.5.1 Sikap Kesetiaan 76

3.5.2 Sikap Kebanggaan Bahasa 76

3.5.3 Sikap Kesadaran Norma Bahasa 77

3.6 Kerangka Teori 83

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 86 4.1 Pengantar 86 4.2 Metode Penelitian 86 4.3 Metode Kajian 89 4.4 Pengumpulan Data 89 4.4.1 Lokasi Penelitian 89 4.4.2 Populasi dan Sampel 90 4.4.3 Informan Penelitian 92 4.5 Instrumen Penelitian 95 4.5.1 Instrumen Sikap Bahasa 95 4.5.2 Instrumen Tes Interferensi 96 4.6 Korpus Data Penelitian 101 4.7 Pengolahan Data 101 4.7.1 Pengolahan Data Interferensi 102 4.7.2 Pengolahan Data Sikap Bahasa dan Interferensi 102 BAB V INTERFERENSI DALAM BAHASA BATAK TOBA 108 5.1 Pengantar 108 5.2 Interferensi Fonologis 108 5.2.1 Interferensi Alternasi Fonem Batak Toba 109 5.2.2 Interferensi Realisasi Asimilasi Fonem Batak Toba 128

5.3 Interferensi Gramatikal 173

5.3.1 Interferensi Morfologis 173

5.3.2 Interferensi Sintaksis 185

5.4 Interferensi Leksikal 204

5.5 Simpulan 215

BAB VI SIKAP BAHASA PENUTUR BATAK TOBA BERDASAR VARIABEL DAN INTERFERENSI 218 6.1 Pengantar 218 6.2 Sikap Bahasa Berdasarkan Variabel 219 6.2.1 Sikap Masih Menguasai 207 6.2.2 Sikap Masih Menggunakan 224 6.2.3 Sikap Ingin Mempertahankan 229 6.2.4 Sikap Afeksi 233 6.3 Signifikansi Sikap Bahasa Penutur Batak Toba 238 6.4 Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur Batak Toba 241 6.5 Uji Interferensi Terhadap Bahasa Batak Toba 242 Universitas Sumatera Utara

6.5.1 Interferensi

Fonologis 243

6.5.2 Interferensi

Gramatikal 254

6.5.3 Interferensi

Leksikal 256

6.6 Simpulan

258 6.7 Interpretasi dan Pembahasan 262 BAB VII SIKAP BAHASA PENUTUR BATAK TOBA DI MEDAN DAN INTERFERENSI 273 7.1 Pengantar 273

7.2 Deskripsi Sikap Bahasa Penutur BT

274 7.3 Deskripsi Interferensi dalam Bahasa Batak Toba 279 7.4 Hubungan Sikap Bahasa Penutur Batak Toba dengan Interferensi 282

7.5 Simpulan

287

BAB VIII BAHASA BATAK TOBA DI MEDAN

289 8.1 Pengantar 289

8.2 Fonologi Bahasa Batak Toba 289

8.2.1 Vokal Batak Toba 291

8.2.2 Konsonan Batak Toba 292

8.2.3 Pelafalan Fonem Batak Toba 294

a. Interferensi Alternasi Fonem Bahasa Batak Toba 298

b. Interferensi Asimilasi Fonem Bahasa Batak Toba 303

8.3 Morfologi Bahasa Batak Toba 305

8.3.1 Wujud dan Jenis Morfem Batak Toba 315

8.3.2 Morfologi Nomina Batak Toba 316

8.3.3 Morfologi Verba Batak Toba 321

a. Interferensi Pembentukan Nomina Batak Toba 330

b. Interferensi Pembentukan Verba Batak Toba 332

8.4 Sintaksis Bahasa Batak Toba 334

8.4.1 Frasa Bahasa Batak Toba 335

8.4.2 Klausa Bahasa Batak Toba 340

8.4.3 Pola Kalimat Batak Toba 344

a. Interferensi Penggunaan Preposisi ni 367

b. Interferensi Penggunaan Partikel na 368

c. Interferensi dalam Pemarkah Kalimat Topik 369

d. Interferensi Pola Konstruksi Frasa 366

8.5 Leksikal Bahasa Batak Toba 378

a. Interferensi Kata Kelas Nomina 381

b. Interferensi Kata Kelas Verba 382

c. Interferensi Kata Kelas Ajektiva

383 d. Interferensi Kata Kelas Adverbia 384 8.6 Simpulan 384 BAB IX PENUTUP 386

9.1 Pengantar

384 9.2 Simpulan 387

9.3 Saran

390 Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA 392 LAMPIRAN Daftar Gambar Halaman Gambar 1.1 Bagan Sikap Bahasa Penutur Bilingual BT dan Intrerferensi 10 Gambar 1.2 Peta Etnik Batak di Sumatera 13 Gambar 3.1 Bagan Biligualitas Sejajar dan Majemuk 52 Gambar 3.2 Model Komponen Sikap 74 Gambar 3.3 Bagan Biligualisme-Sikap Bahasa-Interferensi 84 Gambar 4.1 Variabel Penelitian 85 Gambar 4.2 Bagan Prosedur Penelitian Kualitatif 87 Gambar 4.3 Bagan Prosedur Penelitian Kuantitatif 87 Gambar 4.4 Diagram Pencar Hubungan Negatif Dua Variabel 106 Gambar 4.5 Diagram Pencar Hubungan Positif Dua Variabel 106 Gambar 4.6 Diagram Pencar Hubungan Lemah Dua Variabel 107 Gambar 5.1 Penyimpangan Alternasi Fonem Vokal 216 Gambar 5.2 Penyimpangan Alternasi Fonem Konsonan BT 217 Gambar 5.3 Penyimpangan Asimilasi BT 217 Gambar 5.4 Penyimpangan Morfologis BT 218 Gambar 5.5 Penyimpangan Sintaksis BT 218 Gambar 5.6 Penyimpangan Leksikal BT 219 Gambar 6.1 Bagan Sikap Bahasa Penutur BT 261 Gambar 6.2 Bagan Sikap Afeksi Penutur BT 262 Gambar 6.3 Hasil Uji Statistik Sikap Bahasa dan Sikap Afeksi 262 Gambar 6.4 Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur 263 Gambar 6.5 Interferensi dalam BT 263 Gambar 7.1 Histogram Skor Data Sikap Bahasa Penutur 279 Gambar 7.2 Histogram Skor Data Interferensi 283 Gambar 7.3 Grafik Scatter Flot Korelasi Sikap Bahasa dengan Universitas Sumatera Utara Interferensi 285 Gambar 8.1 Bagan Vokal dan Artikulasi Batak Toba DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Model Sampel Acak Berstrata 94 Tabel 4.2 Kisi-kisi Instrumen Sikap Bahasa 97 Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Tes Interferensi 100 Tabel 5.1 Penyimpangan Asimilasi Fonem m+b Æ [bb] 132 Tabel 5.2 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+m Æ [mm] 135 Tabel 5.3 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+d Æ [dd] 137 Tabel 5.4 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+j Æ [jj] 140 Tabel 5.5 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+h Æ [kk] 142 Tabel 5.6 Penyimpangan Asimilasi Fonem l+d Æ [ll] 145 Tabel 5.7 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+p Æ [pp] 147 Tabel 5.8 Penyimpangan Asimilasi Fonem r+n Æ [rr] 150 Tabel 5.9 Penyimpangan Asimilasi Fonem 1+h Æ [kk] 152 Tabel 5.10 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+s Æ [ss] 154 Tabel 5.11 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+t Æ [tt] 156 Tabel 5.12 Penyimpangan Asimilasi Fonem 1+p Æ [kp] 158 Tabel 5.13 Penyimpangan Asimilasi Fonem 1+s Æ [ks] 161 Tabel 5.14 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+l Æ [ll] 163 Tabel 5.15 Penyimpangan Asimilasi Fonem n+r Æ [rr] 165 Tabel 5.16 Penyimpangan Asimilasi Fonem 1+d Æ [1g] 166 Tabel 5.17 Penyimpangan Asimilasi Fonem k+h Æ [kk] 168 Tabel 5.18 Penyimpangan Asimilasi Fonem p+h Æ [pp] 170 Tabel 5.19 Penyimpangan Asimilasi Fonem s+h Æ [ss] 172 Tabel 5.20 Penyimpangan Asimilasi Fonem t+h Æ [tt] 174 Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Sikap Bahasa Penguasaan BT 222 Tabel 6.2 Uji Statistik Sikap Bahasa Penguasaan BT 223 Tabel 6.3 Distribusi Frekuensi Sikap Bahasa Masih Menggunakan Universitas Sumatera Utara BT 227 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. Singkatan

a = Adjektiva B1 = Bahasa Pertama B2 = Bahasa Kedua BT = Batak Toba BI = Bahasa Indonesia BD = Bahasa Daerah BP = Bahasa Prancis Eksl = Ekslusif FR = frasa relatif HP = hukum persengauan Inkl = inklusif M = preposisi menyatakan kepemilikan n = nomina pk = prakategorial PR = pronomina relatif T = topik Vtras = verba transitif V = verba

2. Lambang

= transkripsi fonemis [ ] = transkripsi fonetis { } = tanda morfem ... = dan seterusnya “...” = pengapit tuturan Î = seharusnya → = membentuk = tidak berterima Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Disertasi ini merupakan kajian tentang bahasa Batak Toba BT yang mengalami interferensi dan dikaitkan dengan sikap bahasa penutur BT bilingual yang tinggal di Medan. Bahasa BT mengalami interferensi disebabkan masuknya unsur sistem bahasa Indonesia BI, sehingga terjadi penyimpangan dalam bahasa BT baku. Penyimpangan tersebut tampak pada tataran fonologis, gramatikal, dan leksikal. Interferensi dalam bahasa ini dihubungkan dengan sikap bahasa penutur BT yang bilingual. Tujuan penelitian ini adalah untuk a mendeskripsikan interferensi yang terdapat dalam bahasa BT, b mengukur sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa, dan lamanya tinggal, c melihat bentuk hubungan sikap bahasa penutur BT dengan interferensi, dan d mendeskripsikan pemakaian bahasa BT di Medan sekarang ini. Dalam disertasi ini digunakan tiga teori utama yaitu teori kontak bahasa Languages in Contact oleh Weinreich 1968 yang mengungkapkan bahwa interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa, teori sikap bahasa Languages Attitudes oleh Anderson 1974 yang menyebutkan bahwa sikap merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Terdapat tiga ciri sikap bahasa seperti yang diungkapkan Garvin dan Mathiot 1968 yakni kesetiaan bahasa, sikap kebanggaan bahasa, dan sikap kesadaran terhadap norma-norma bahasa. Penerapan teori struktural dalam penelitian ini untuk membahas perbandingan sistem BT-BI. Dalam teori struktural ada dikotomi yang dapat dijadikan landasan pemecahan masalah, misalnya dikotomi signifié bentuk dan signifiant makna dan dikotomi yang mengacu pada hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik angket dan tes, serta teknik rekam.. Data interferensi dari tuturan dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif, sedangkan data sikap bahasa diuji secara statistik dengan uji-t dan uji Anova. Hasil uji statistik sikap bahasa penutur dikorelasikan dengan hasil tes interferensi dalam BT dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment oleh Pearson. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bahasa BT di Medan terinterferensi BI pada aspek fonologis berupa alternasi dan asimilasi fonem, interferensi morfologis dalam pembentukan nomina dan verba, interferensi aspek sintaksis pada penggunaan partikel ni, na, pada pemarkah topik kalimat do, ma, pe, dope, nama, dan be, dan pola konstruksi frasa. Interferensi pada aspek leksikal terdapat dalam kata kelas nomina, kelas verba, kelas ajektiva, dan kelas adverbial. Hasil sikap bahasa penutur BT di Medan memperlihatkan sikap positif terhadap BT. Hubungan sikap bahasa dengan interferensi penutur BT memperlihatkan bentuk hubungan negatif yang signifikan yang bermakna bahwa bila sikap penutur BT terhadap bahasa BT semakin ditingkatkan, maka fenomena interferensi dalam BT akan semakin menurun. Kata Kunci: Bahasa Batak Toba, Interferensi, Sikap Bahasa Universitas Sumatera Utara ABSTRACT This dissertation deals with interference in Batak Toba language BT related to the language attitudes of bilingual BT speakers living in Medan.BT language is interferenced due to the intervention of the element of Bahasa Indonesia BI system that there is a deviation in standard BT. The deviation is clearly revealed in the phonological, grammatical,and lexical levels.Theinterference in this language is related to the language attitudes of bilingual BT speakers. The purposes of this study are to a to describe interferences found in BT, b to describe the language attitudes of BT speakers based on the variables of sex,age,language use,and length of stay,c to describe the relationship between the language attitudes of BT speakers and interference, and d to describe the current use of BT in Medan. The main theories are used in this dissertation such as a the languages in contact theory by Weinreich 1968 describing that interference in the relocation of language element into the other languages and the deviation of the use of rules and norms of language, b language attitude by Anderson 1974 arguing that attitude is a belief system related to the language which lasts relatively long about a language object which makes someone tend to act in a certain way heshe likes.Garvin and Mathiot 1968 argued that there are three characteristics of language attitude such as language loyalty, language pride, and the awareness of language norms. The application of structural theory of this study is to discuss the comparison of BT – BI systems. This study employed qualitative and quantitative methods. The data for this study were collected by a passive participatory observation technique, questionnaire, and test as well as recording technique. The speech interference data were analyzed through comparative descriptive techniques, while the data of language attitude were statistically tested through t-test and ANOVA test. The statistic result of the speakers language attitude were correlated with the result of the test of interference in BT by using the Product Moment by Pearson. The result of the study showed that in Medan BT has been interferenced by BI in the phonological aspect in the forms of phoneme alteration and assimilation, morphological interference in the forming of noun and verb, interference in the aspect of syntaxe on the use of particles ni, na,on the marker of topic sentence do, ma, pe, dope,and be, and phrase construction pattern. Interference of the lexical aspect is found in noun, verb, adjective, and adverb. The result of the language attitudes of BT speakers in Medan showed a positive attitude toward BT.The relationship between language attitude with the interference of BT speakers showed a significant negative relationship which means that if the attitudes of BT speakers are more increased,the phenomenon of interference in BT will be decreasing. Key words: Batak Toba language, language attitudes, Interference. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik. Kelompok etnik tersebut masing-masing mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dalam keragaman etnik ini, pada umumnya masyarakat di Indonesia memiliki keterampilan menggunakan dua bahasa atau lebih, yakni bahasa Indonesia selanjutnya disebut BI sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah BD sebagai bahasa ibu. Masyarakat Indonesia akan menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan penutur etnik lain dan akan menggunakan bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan penutur intraetniknya. Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian secara sosiolinguistik disebut sebagai bilingualisme. Sementara itu, seseorang yang menguasai lebih dari satu bahasa disebut penutur bilingual atau multilingual. Istilah bilingualisme diungkapkan Nababan sebagai suatu kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa 1984: 27-29. Dalam komunikasi yang terjadi di antara etnik yang beragam di Indonesia, bahasa yang selalu digunakan sehari-hari adalah BI yang merupakan bahasa nasional. BI digunakan di kantor, di pasar, di sekolah, di tempat-tempat umum, dan bahkan sering sekali juga dipakai di lingkungan rumah atau pada ranah keluarga. Universitas Sumatera Utara Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual sering terdapat peristiwa- peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik antara lain alih kode code- switching, campur kode code-mixing, dan interferensi interference. Alih kode dan campur kode merupakan gejala dalam bahasa yang memang tidak dapat dihindari oleh penutur bilingual. Alih kode yang merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain adalah gejala pemakaian bahasa karena perubahan situasi, sementara campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Dalam peristiwa campur kode maupun alih kode ketika terjadi kontak bahasa di antara penutur bilingual, kemungkinan terjadinya interferensi dalam bahasa selalu ada Budiarsa, 2006. Kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual menyebabkan munculnya gejala interferensi, yaitu penyimpangan dalam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Salah satu penyebab terjadinya interferensi adalah kecenderungan penutur bilingual dalam memasukkan unsur-unsur sistem kedua bahasa yang dikuasainya ketika berbahasa. Hal seperti itu memang tidak dapat dihindarkan karena bagi masyarakat bilingual seperti masyarakat Indonesia, salah satu dampak dari percampuran bahasa ketika berinteraksi sering terjadi suatu gejala dalam bahasa yang salah satunya disebut interferensi bahasa sehingga ranah bahasa tidak memiliki hubungan yang jelas dengan penggunaan bahasa. Penguasaan penutur bahasa terhadap lebih dari satu bahasa memungkinkan terjadinya penyimpangan norma-norma ataupun kaidah-kaidah bahasa yang dapat terjadi mulai dari tataran fonologi, leksikal sampai ke tataran sintaksis. Misalnya, penutur bahasa Indonesia yang berbahasa Inggris mengucapkan fonem p bahasa Inggris pada kata-kata Peter dan petrol menjadi [p εtə] dan [pεtrol] padahal menurut kaidah pengucapan bahasa Inggris, kata-kata Universitas Sumatera Utara tersebut seharusnya diucapkan dengan menggunakan aspirasi yang cara pelafalannya adalah [p h it ə] dan [p h εtrol]. Penyimpangan realisasi bunyi aspirasi seperti itu pernah diteliti oleh Budiarsa 2006 dalam disertasinya yang mengkaji penutur multilingual bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bali yang bekerja sebagai karyawan di hotel-hotel di Bali. Para penutur multilingual di hotel tersebut cenderung melafalkan konsonan bahasa Inggris beraspirasi [p h , t h , k h ] menjadi bunyi tanpa aspirasi. Penyimpangan itu disebabkan para penutur tersebut dipengaruhi BI yang tidak mengenal bunyi-bunyi aspirasi seperti dalam bahasa Inggris. Penyimpangan realisasi bahasa diduga juga akan ditemukan dalam masyarakat Medan yang pada umumnya merupakan penutur bilingual. Salah satu etnik di kota Medan adalah etnik Batak Toba yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnik Jawa, Aceh, Minangkabau, Nias, Melayu, Tionghoa, dan sebagainya. Masyarakat etnik itu merupakan salah satu masyarakat pendatang perantau di Medan yang berasal dari daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Seperti halnya masyarakat etnik lainnya, etnik Batak Toba memiliki bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba selanjutnya disingkat BT. Hidup berdampingan dengan penutur etnik lain di kota Medan menyebabkan penutur BT dituntut untuk menggunakan BI agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat etnik lain di sekitarnya, meskipun pada saat lainnya penutur BT terlihat masih menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan penutur BT lainnya. Sebagai salah satu bahasa daerah dari berbagai bahasa daerah yang terdapat di Medan, BT memiliki pola ataupun kaidah-kaidah tersendiri dalam sistem bahasanya, misalnya pada aspek sintaksis, kalimat BT memiliki pola Verba-Objek-Subjek VOS, seperti dalam kalimat berikut. 1 Manjaha bukku do imana di jolo ni jabuna V O T S K membaca buku dia di depan rumahnya Universitas Sumatera Utara ‘Dia membaca buku di depan rumahnya’ . Pada kalimat 1 dapat dilihat bahwa verba manjaha ‘membaca’ mendahului objek bukku ‘buku’ yang di ikuti oleh partikel pemarkah topik T do, kemudian diikuti subjek imana ‘dia’ dan keterangan di jolo ni jabuna ‘di depan rumahnya’. Pola sintaksis BT tersebut berbeda dengan BI yang berpola kalimat S – V – O , seperti dalam kalimat berikut. 2 Kami memancing ikan di sungai. S V O K Kalimat BI tersebut dapat dianalisis menjadi S kami -V memancing - O ikan, dan K di kolam. Dari segi fonologis, apabila ditinjau dari cara pelafalannya, BT juga memiliki kaidah yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan karena tidak semua fonem atau bunyi dilafalkan seperti yang tertera dalam tulisannya. Banyak didapati asimilasi di antara suku kata yang satu dengan suku kata yang lain atau antara kata yang satu dengan kata yang lain. Kata somba ‘sembah’ akan dilafalkan sevagai [sobba], dengan pola m+b → [bb], ende ‘lagu’ dilafalkan sebagai [edde] dengan pola n+d → [dd]. Hal yang sama terdapat juga dalam persandingan antarkata, misalnya, pasingot hami ‘ingatkan kami’ yang pelafalannya adalah [pasi ŋ0ttami], dengan polanya adalah jajaran fonem t+h → [tt] atau bereng hamu ‘kalian lihat’ dengan jajaran fonem ŋh → [kk] sehingga pelafalannya adalah [bεrεkkamu] . Terlihat bahwa dalam deretan kata tersebut terdapat perubahan bunyi fonem yang disebut asimilasi bunyi. Keberadaan penutur etnik BT di Medan yang bilingual dan hidup berdampingan dengan berbagai etnik dan penutur bahasa yang berbeda sebagaimana telah disebutkan tadi diasumsikan mengalami fenomena interferensi yaitu adanya kecenderungan penutur BT di Medan untuk memasukkan unsur-unsur BI saat bertutur dalam BT. Kata-kata BT seperti partamparahan, raut, Universitas Sumatera Utara dan gaol hampir-hampir tidak terdengar dalam percakapan masyarakat penutur BT di kota Medan. Mereka cenderung mengganti kata-kata itu dengan leksikal BI seperti asbak, pisau, dan pisang. Tidak dapat dipungkiri bahwa BI mengambil peranan yang sangat luas dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Medan, termasuk pada masyarakat BT sehingga diasumsikan bahwa mulai terjadi pergeseran bahasa BT di Medan karena penutur BT terlihat sering menggunakan BT daripada bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan sesama penutur BT. Kalau pun penutur tersebut menggunakan BT, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI di dalam tuturannya. Apabila suatu bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi dalam suatu masyarakat mulai ditinggalkan penuturnya dan menggantikannya dengan bahasa yang lebih dominan, maka ada kecenderungan akan terjadi pergeseran bahasa. Sebagaimana diungkapkan Siregar 1998:3 bahwa apabila bahasa yang biasa digunakan untuk fungsi tertentu sudah mulai ditinggalkan oleh suatu masyarakat bahasa, maka ada kemungkinan terjadi pergeseran bahasa language shift dalam masyarakat itu. Penggunaan bahasa BT oleh masyarakat itu sendiri dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu penggunaan bahasa 1 dalam kehidupan sehari-hari: dalam keluarga, antartetangga sesuku, antarteman sesuku, 2 dalam upacara adat: perkawinan, kelahiran, kematian, dan 3 dalam upacara keagamaan gereja: dalam berkhotbah, saat berdoa, meyampaikan pengumuman, dan sebagainya. Akan tetapi, apabila diperhatikan, penggunaan bahasa BT oleh masyarakat BT di Medan di dalam ketiga ranah pemakaian tersebut, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI. Bahkan, dalam beberapa acara etnik BT yang peneliti ikuti, seperti dalam acara natal Serikat Tolong Menolong STM marga, bahasa daerah ini cenderung tidak digunakan lagi karena acara disajikan dalam BI. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tuturan BT , beberapa kalimat dalam tuturan berikut ini memperlihatkan adanya gejala interferensi dalam sistem BT berupa masuknya unsur BI yang mengakibatkan penyimpangan dalam sistem BT. Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh tuturan berikut. 3 a. Partangiangan di bulan depan di jabu keluarga amang L. Tobing. kalimat tersebut seharusnya adalah sebagai berikut. b. Partangiangan di bulan na ro di jabu ni keluarga perkumpulan pada bulan yang datang di rumah dari keluarga amang L.Tobing bapak L.Tobing ‘Perkumpulan pada bulan depan di rumah keluarga bapak L.Tobing’ Dalam tuturan 3a interferensi terjadi pada tataran frasa BT. Penutur seharusnya mengatakan na ro BT, seperti dalam kalimat 3b. Hal itu merupakan contoh masuknya unsur BI ke dalam BT dalam bentuk kosakata. Masuknya unsur kosakata BI depan ke dalam BT pada contoh di atas dapat dikatakan merupakan penyimpangan, karena sebenarnya kata tersebut ada padanannya dalam BT, sehingga hal sedemikian merupakan bentuk interferensi negatif negative interference. Selain itu pada tuturan di atas terlihat pula adanya penyimpangan terhadap kaidah BT karena penutur tidak menempatkan partikel ni ’dari’ pada frasa jabu keluarga sebab frasa tersebut seharusnya adalah jabu ni keluarga. Hal tersebut mungkin disebabkan penutur BT terpengaruh kaidah BI yang tidak meletakkan preposisi dari untuk menyatakan kepunyaan. Interferensi dalam aspek fonologis adalah bilamana seorang bilingual mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua itu pada bunyi sistem bahasa pertama. Penyimpangan itu dapat dicontohkan terjadi dalam tuturan BT berikut. Universitas Sumatera Utara 4 Tuhor jolo kacang i [tuhor jolo kaca ŋ i] padahal pengucapan yang benar dan sesuai kaidah BT adalah [tuhor jolo hassa ŋ i]. Kata kacang dalam tuturan ini secara ortografis dalam BT adalah hansang. Pada kalimat 4 tersebut terlihat adanya interferensi dari unsur BI pada tataran fonologis, kata kacang seharusnya diucapkan [hassang], tetapi bunyi [h] diucapkan [k] dan bunyi [s] dilafalkan [c] sehingga diucapkan [kaca ŋ] seperti lafal dalam BI. Padahal dalam fonotaktik BT baku, fonem k tidak berposisi di awal kata dan BT baku juga tidak memiliki fonem c. Dampak dari peristiwa interferensi berupa masuknya unsur BI disebabkan penguasaan penutur BT terhadap lebih dari satu bahasa BT-BI seperti contoh-contoh dalam tuturan di atas diasumsikan memungkinkan akan terjadinya pergeseran bahasa BT yang disebabkan terdapatnya campur aduk bahasa saat penutur berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Apalagi dengan adanya pernyataan dalam dunia maya internet oleh seorang pemerhati BT, Charlie Sianipar, mengenai adanya duapuluh lima tanda kepunahan BT yang diantaranya adalah apabila orangtua tidak mau lagi mengajarkan bahasa BT kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga, bila bahasa BT tidak lagi digunakan sebagai bahasa sehari-hari di dalam keluarga www.gmail.co . Disamping itu, Sibarani dalam makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia 1997 mengungkapkan bahwa ada masyarakat bahasa seperti masyarakat BT yang malu menggunakan bahasanya. Hal ini terutama dialami oleh generasi muda atau mahasiswa di kota-kota, misalnya kota Medan. Fenomena yang terjadi pada generasi muda tersebut mengindikasikan sikap mereka terhadap bahasa daerahnya sebagai identitas diri. Saling mempengaruhi bahasa antaretnik pasti terjadi, pemungutan unsur bahasa lain akan memberi keuntungan; terkadang dapat pula memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan. Sebaliknya, bahasa penerima akan dirugikan apabila masuknya bahasa lain berdampak Universitas Sumatera Utara mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi penyimpangan kaidah atau menimbulkan gejala interferensi. Dengan demikian terjadinya gejala interferensi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari atau dikendalikan. Seperti halnya dalam BT, bunyi, kata, dan kalimat yang seharusnya menggunakan kaidah BT kemungkinan telah mengalami interferensi unsur BI sehingga diasumsikan bahwa bahasa BT di Medan mulai bergeser disebabkan adanya gejala interferensi BI terhadap BT dalam peristiwa penggunaan bahasa yang dikaitkan pula dengan sikap bahasa languages attitude penutur Batak Toba. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interferensi di samping dapat pula menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab bergeser atau punahnya suatu bahasa sangat ditentukan oleh keputusan yang berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat itu sendiri. Pendapat tersebut dipertegas Denes 1994:2 yang mengatakan bahwa terjadinya gejala interferensi tidak terlepas dari perilaku atau sikap bahasa penutur bahasa pertama. Penelitian tentang BT di Medan telah dilakukan W.Keith Percival 1964 dalam disertasi berjudul A Grammar of The Urbanised Toba-Batak of Medan. Diungkapkannya bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara penutur BT di Medan dengan masyarakat BT di pedesaan, antara lain dalam hal kolokasi bahasa sehari-hari dan bentuk gaya tuturannya. Selanjutnya diungkapkannya lebih jauh lagi bahwa pengaruh BI terhadap BT sangat meningkat setelah kemerdekaan Indonesia, terutama di kalangan penutur generasi muda yang telah mengenyam pendidikan sekolah menengah dan universitas. Berdasarkan paparan hasil pengamatan di atas dan dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Percival terhadap penutur BT di Medan kurang lebih duapuluh delapan tahun lalu ini, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali bagaimana sebenarnya BT di Medan yang sekarang Universitas Sumatera Utara digunakan penutur BT mengingat semakin meluasnya penggunaan BI di tengah masyarakat bilingual di kota Medan. Di samping itu kajian ini juga ingin mengetahui bagaimana sikap bahasa masyarakat penutur BT di Medan terhadap BT untuk lebih mendapatkan gambaran apakah memang mulai ada pergeseran sikap terhadap BT atau apakah BT masih tetap bertahan sebagai bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat BT walaupun mereka berada di perantauan di Medan. Gambaran sikap dan bagaimana bahasa BT di Medan digunakan oleh penutur bilingual BT-BI dapat digambarkan dalam bagan berikut. GGambaran keberadaan Gambar 1 Bagan Sikap Bahasa Penutur BT dan Interferensi

1.2 Rumusan Masalah

Masyarakat penutur BT di Medan yang hidup berdampingan dengan berbagai penutur bahasa dan daerah dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya umumnya menggunakan lebih dari satu bahasa bilingual, yakni bahasa BT – BI. Kebilingualitasan ini menyebabkan penutur BT sering melakukan percampuran bahasa yang menimbulkan gejala interferensi dalam Negatif Positif Inter- feren si S B i a k h a a p s a Fonologis Gramatikal Setia Sadar Bangga Bahasa BT di Medan Bahasa BT Baku K B o a n h t a a s k a Penutur Bilingual BT-BI di Medan Leksikal Universitas Sumatera Utara tuturan-tuturannya saat berbahasa dalam BT yang sebenarnya bahasa daerah tersebut merupakan salah satu identitas masyarakat BT. Dalam BT di Medan nampaknya mulai terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kaidah BT baku mulai dari bunyi, kata, dan mungkin sampai pada tingkat kalimat. Penyimpangan ini merupakan akibat dari kontak bahasa yang terakumulasi melalui proses interferensi baik interferensi pada tataran bunyi fonologi, kata leksikon, maupun pada tingkat kalimat. Berdasarkan adanya fenomena di atas, dibuat rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pola interferensi yang terjadi dalam bahasa BT di Medan? 2. Bagaimanakah sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa dan lamanya tinggal? 3. Bagaimanakah korelasi antara sikap bahasa penutur Batak Toba dengan interferensi? 4. Bagaimanakah bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk interferensi BI terhadap BT, sikap bahasa penutur BT, dan bagaimana bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini,. Tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut. 1. Mencari pola interferensi BI dalam BT dan alasannya. 2. Mengukur sikap bahasa penutur BT terhadap BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa dan lamanya tinggal di Medan. 3. Mencari pola hubungan antara sikap penutur Batak Toba dengan interferensi. 4. Mendeskripsikan bahasa Batak Toba di Medan. Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam beberapa hal berikut. 1. Bagi ilmu linguistik, kajian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian kebahasaan di Indonesia, sementara bagi ilmu sosiolinguistik, kajian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang interferensi dan sikap bahasa penutur berdasarkan ciri sosial. 2. Bagi masyarakat Batak Toba, temuan kajian ini merupakan informasi yang sangat bermanfaat untuk tetap mempertahankan bahasa BT sebagai identi- titas penutur dan kekayaan budaya bangsa serta menjaga kualitas BT stan- dar tetap terpelihara agar tidak mengalami pergeseran dan tidak terancam punah.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini mencakupi dua bidang kajian, yaitu kajian struktural dan sosiolinguistik. Penelitian berangkat dari data empiris yang diperoleh dari perekaman tuturan BT dalam berbagai situasi di kota Medan. Hasil perekaman tuturan dijadikan sebagai data primer penelitian untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tuturan BT yang mengakibatkan timbulnya gejala interferensi dalam BT. Selanjutnya dari data primer diambil tuturan-tuturan yang dijadikan sebagai variabel linguistik dalam penelitian untuk mencari data interferensi oleh penutur BT yang selanjutnya dikorelasikan dengan sikap bahasa penutur BT. Penelitian dibatasi pada interferensi tuturan BI ke dalam BT oleh penutur BT di Medan pada aspek fonologis, gramatikal, dan leksikon untuk menemukan pola BT yang sekarang digunakan di Medan. Berdasarkan gejala interferensi, akan dilihat pula sikap penutur BT di Medan terhadap bahasa BT berdasarkan ciri sosial: usia, jenis kelamin, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya hasil tes interferensi yang diujikan kepada responden akan dikorelasikan dengan sikap bahasa penutur BT. Dengan demikian hasil dalam penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa BT di kota Medan.

1.6 Etnik dan Bahasa Batak Toba

1.6.1 Etnik Batak Toba

Suku Batak merupakan salah satu etnik yang terdapat di Sumatera. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lagi menempati bagian Timur laut Tapanuli yaitu daerah Simalungun dan yang lain bermukim di sebelah barat laut Danau Toba yakni tanah Karo. Etnik Batak terdiri dari beberapa sub-etnik, masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Menurut pembagian linguistik bahasa Batak dapat dibedakan atas lima bahasa yang berbeda satu dengan lain yaitu: 1 Bahasa Batak Toba, 2 Bahasa Batak Karo, 3 Bahasa Batak Simalungun, 4 Bahasa Batak Pak-pak-Dairi, dan 5 Bahasa Angkola-Mandailing. Universitas Sumatera Utara Gambar 1.2. Peta Etnik Batak Di Sumatera

1. Batak Toba Tapanuli: mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli

Tengah menggunakan bahasa Batak Toba.

2. Batak Simalungun: mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan

menggunakan bahasa Batak Simalungun.

3. Batak Karo: mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan

bahasa Batak Karo

4. Batak Mandailing: mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan

Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing

5. Batak Pakpak: mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa

Pakpak. Bahasa BT digunakan di daerah atau distrik Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Habinsaran dan Uluan pembagian daerah ini didasarkan atas pembagian distrik pada waktu pemerintahan Hindia Belanda. Pembagian distrik yang dilakukan pada masa Hindia Belanda itu tidak sama lagi dengan masa sekarang ini, karena sejak awal tahun 2000-an telah terjadi pemekaran kabupaten, sehingga nama kabupaten tidak lagi identik dengan Distrik pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut. Universitas Sumatera Utara Masyarakat BT mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan merupakan ciri diri etnik BT yang disebut dengan marga. Marga selalu lebih ditonjolkan daripada namanya. Namanya selalu tetap diikuti oleh marga dan apabila orang Batak ingin memperkenalkan dirinya kepada orang lain dia lebih dulu menyebutkan marga, karena dari marga-lah seseorang dapat ditelusuri siapa dia dan darimana asalnya. Maka apabila seorang etnik BT memperkenalkan dirinya dengan menggunakan marga ‘X’ dapat diketahui darimana asalnya, karena setiap marga mempunyai daerah asal marga tersebut yang disebut dengan Bona ni Pasogit. Daerah asal Bona ni Pasogit ini dapat dikatakan sebagai asal daerah dimana nenek moyang mereka leluhur tinggal di sana mempunyai daerah kekuasaantanah. Hal ini dapat diperhatikan apabila seseorang mau berkenalan dengan orang lain. Seseorang pertama sekali akan menanyakan marga atau memberitahukan marga-nya. Orang akan bertanya : ”Aha do marga muna, amang? ” Bapak marga apa? dan lawan bicara akan memberitahukan marga-nya dengan mengatakan “Marga ‘X’ do ahu” Saya marga ‘X’. Tujuan seseorang menanyakan marga-nya adalah untuk mengetahui darimana asalnya. Misalnya, seseorang yang bermarga Siahaan sudah tentu berasal atau mempunyai Bona Pasogit kampung halaman di Balige, walaupun dia sudah dilahirkan atau dibesarkan di perantauan, karena dari Baligelah asal marga Siahaan. Selain itu orang Batak menanyakan marga seseorang bertujuan untuk mengetahui bagaimana dia harus memanggil lawan bicaranya itu apakah mereka marhulahula, marboru, atau marsabutuha. Apabila orang yang ditemui adalah hulahula-nya maka orang tersebut dipanggil dengan sebutan tulangnantulang, bila yang dijumpai boru-nya maka dipanggil dengan sebutan amangborunamboru, bila yang ditemui adalah dongan sabutuha maka dipanggil dengan sebutan ompungamangtuaamangudahahaanggiito. Universitas Sumatera Utara Setiap marga etnik BT memiliki daerah sendiri-sendiri, dimana marga yang lain yang berada di sana dianggap sebagai pendatang paisolat. Pada umumnya marga yang datang ke satu daerah marga orang lain pada waktu dulu adalah merupakan boru dari orang yang mempunyai daerahlokasi tersebut. Dalam sistem kekerabatan etnik BT, marga lebih dekat daripada kesamaan asal daerah tempat tinggal. Sistem kekerabatan yang berlaku pada etnik BT adalah menurut garis keturunan ayah yang disebut patrineal. Garis keturunan seorang laki-laki akan diteruskan oleh putranya dan menjadi punah kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan. Dengan perkataan lain laki- laki itulah yang membentuk kekerabatan secara turun menurun, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan karena dia kawin dengan laki-laki dari kelompok patrineal yang lain. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai marga yang sama dengan ayahnya, tetapi setelah anak perempuan kawin dengan sendirinya ia masuk ke lingkungan marga suaminya. Berdasarkan marga seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang disebut dengan dalihan na tolu tungku nan tiga yang merupakan unsur yang tak terpisahkan yang dianggap sebagai dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Toba yaitu hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang menerima anak perempuan’. Terdapat lebih kurang 300 marga penting dalam sejarah marga Batak, marga yang satu dengan lain saling berhubungan dalam konteks dalihan na tolu. Solidaritas marga dalam kenyataannya semakin luas lagi dari hanya sekedar dongan sabutuha. Solidaritas primordial etnik BT ini menjadi sangat luas mencakup keseluruhan etnik BT yang dipandang bersaudara dalam konteks sistem kekerabatan masyarakat BT. Berdasarkan konteks sistem kekerabatan, masyarakat BT menganggap perkawinan semarga merupakan suatu hal yang memalukan atau Universitas Sumatera Utara tabu, karena satu marga dianggap merupakan masih satu darah. Hal inilah yang mendasari bahwa perkawinan satu marga dianggap sangat memalukan dan diharamkan dalam adat perkawinan BT. Apabila suatu saat terjadi perkawinan satu marga dalam suatu keluarga BT, maka keluarga tersebut akan dikeluarkan dari sistem peradatan dan tidak diperbolehkan terlibat dalam setiap kegiatan adat, artinya keluarga tersebut dikucilkan dari pergaulan dalam masyarakat. Biasanya keluarga tersebut akan disuruh keluar dari kampung asal dan hidup terasing di tempat yang tidak seorangpun mengenal mereka. Dengan demikian keutuhan marga selalu dijaga dengan cara 1 dilarang kawin satu marga, 2 membentuk kumpulan marga, 3 membubuhkan marga setelah nama, dan 4 mengajarkan kepada anak tentang garis keturunan tarombo sehingga anak kelak dapat mengetahui partaromboan menurut marganya. Setiap marga juga mempunyai nomor, misalnya marga Siahaan nomor empat belas, nomor lima belas dan seterusnya yang biasanya dengan penomoran tersebut orang Batak mengetahui bagaimana sapaannya terhadap orang semarga tersebut. Setiap orang Batak terutama yang tinggal menetap di tempat kelahirannya Tanah Batak, dapat menuturkan tanpa kesalahan enam sampai delapan bahkan kadang-kadang lebih garis keturunan nenek moyangnya Siahaan, 2005 : 70. Semua orang tahu dimana garis keturunannya dalam marga, demikian juga saling hubungan antara keturunan termasuk keluarga ibunya. Sistem kekerabatan ini dapat diurut sedemikian jauhnya, berkat marga yang dimiliki etnik BT ini. Bagaimana asal mulanya dan sejak kapan marga mulai digunakan di lingkungan etnik BT, tidak diketahui secara tepat, tetapi yang pasti bahwa marga sudah memegang peranan yang sangat penting sejak diselenggarakan upacara persembahan kurban kepada roh leluhur . Masyarakat BT juga sangat erat dengan kehidupan kumpulan Serikat Tolong Menolong STM Hal ini dilakukan juga di perantauan, termasuk di kota Medan. Etnik BT ini membentuk Universitas Sumatera Utara kelompok-kelompok marga yang disebut STM yang berfungsi untuk mempererat hubungan yang satu dengan yang lain dalam kelompok marga, baik di saat suka maupun duka. Dalam kelompok STM bisa diketahui struktur kekeluargaan, sehingga diketahui sistem sapaan yang satu dengan lainnya, walaupun mereka ada yang lahir di perantauan dan ada di Bona ni Pasogit. Sampai saat inipun, sistem kekerabatan yang demikian kental masih dapat terlihat di dalam kehidupan etnik BT meskipun mereka berada di perantauan atau di luar daerah asal tempat mereka dilahirkan.

1.6.2 Adat Istiadat

Kehidupan suku BT tidak dapat terlepas dari adat istiadat. Suku BT sangat kental dengan adat dan ini merupakan identitas masyarakat BT. Sebagaimana disebutkan Siahaan 1982 bahwa adat istiadat yang didasari struktur sosial dalihan na tolu merupakan jati diri masyarakat BT. Hal ini dapat dilihat pada acara-acara adat seperti 1 acara kelahiran, 2 acara perkawinan, 3 acara kematian, 4 acara memasuki rumah baru, dan sebagainya. Dalam kegiatan acara tersebut, masyarakat BT masing-masing mengambil perannya dalam pelaksanaan pestaacara tersebut, ada yang berperan sebagai hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang menerima anak perempuan’.

1.6.3 Sistem Religi

Menurut Koentjaraningrat dalam Irmawati, 2008 : 49 tanah Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak sejak permulaan abad ke-19. Orang Batak mengenal kepercayaan Kristen sejak tahun 1861 Simanjuntak, 1986. Agama Islam disiarkan oleh orang Minangkabau kira-kira tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Selatan, seperti Mandailing dan Angkola. Universitas Sumatera Utara Agama Kristen disiarkan di daerah Toba dan Simalungun Batak Utara oleh organisasi penyiar agama dari Jerman, yaitu Organisasi Reinische Missions Gesselschaft kira-kira sejak tahun 1863. Mayoritas etnik BT beragama Kristen Protestan. Walaupun orang BT sebagian besar sudah beragama Kristen, banyak konsep-konsep asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di antara penduduk daerah pedesaan. Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh Debata Ompung Mulajadi Na Bolon ’Tuhan Semesta Alam’. Orang Batak dahulu masih percaya kepada mitos bahwa manusia Batak pertama berasal dari dewa yang turun dari kayangan di puncak Dolok Pusuk Buhit. Di tempat inilah mula-mula turunan si raja Batak ‘mamompari’ dengan kebudayaannya sendiri. Dahulu orang Batak mempunyai kepercayaan animisme, totemisme, yang menguasai tingkah laku dan cara hidup masyarakat Batak. Semua hal itu dicerminkan berupa pelahiran kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan kosmos dengan bahasa yang digubah sedemikian rupa sehingga berlainan dari bahasa BT sehari-hari.

1.6.4 Gaya Hidup Merantau

Etnik BT dikenal dengan gaya hidup merantau. Gaya hidup seperti ini disebut dengan ‘mangaranto’ dan orangnya disebut ’pangaranto’. Kata mangaranto itu sendiri memiliki konsep umum marserak yaitu menyebar ke seluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah-daerah yang tanahnya belum dimiliki oleh marga lain, daerah-daerah mana kemudian dapat dijadikan areal pertanian dan perkampungan. Dalam perkembangan selanjutnya orang BT menyebar ke berbagai daerah di luar wilayah budaya sendiri. Perkampungan yang dibuka sendiri atau dengan anggota keluarga atau Universitas Sumatera Utara teman sekampung dan tinggal di daerah lain biasanya dianggap sebagai perluasan kampung induk. Dewasa ini perkataan marserak mengandung pengertian yang luas. Selain mengandung arti menyebar pindah dari kampung halaman ke luar wilayah budaya sendiri marserak mengandung arti mobilitas ekonomi dan sosial. Dalam percakapan sehari-hari ditemukan beberapa perkataan yang mengandung maksud seperti yang disebutkan di atas, diantaranya ada yang disebut manombang, mangaranto, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak Purba dan Purba, 1997. Umumnya orang-orang yang disebut pangaranto dalam konsep umum marserak pada awalnya adalah kaum laki-laki yang belum kawin berkeluarga. Mereka meninggalkan desanya pergi ke kota-kota di luar Tapanuli Utara untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor pertanian. Sebutan tersebut dewasa ini sudah lebih luas, diberikan kepada yang belum berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga, yang bekerja di luar sektor pertanian, termasuk pegawai yang alih tugas dari daerah sendiri. Orang-orang yang pada awalnya bertujuan untuk melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja di daerah lain disebut juga pangaranto. Selain itu kemajuan zaman yang berkembang dengan cepat dan kebutuhan hidup yang semakin banyak dan beraneka menyebabkan pola hidup penduduk harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka itu yang mungkin sangat sulit untuk dipenuhi jika tetap tinggal dan bekerja di kampungnya. Tidak jarang anggota atau satu keluarga meninggalkan desanya pindah ke daerah lain. Usaha untuk mencari sumber kehidupan yang lebih baik dibanding dengan di daerah sendiri pada umumnya disebut mangalului jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak Purba, O.H.S dan Purba Elvis,1997. Gerak penduduk yang demikian biasanya dilakukan untuk tujuan menetap. Mereka pindah tidak hanya ke sektor Universitas Sumatera Utara pertanian tetapi juga di berbagai aktivitas yang dapat memberikan pendapatan dan meningkatkan status sosialnya. Keberadaan masyarakat penutur BT di Medan dimulai sekitar tahun 1915 saat pembangunan jalan berkembang dengan cepat dari daerah perkebunan di daerah pesisir Timur menuju Siantar, Parapat, Porsea, dan Balige. Hal tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat BT untuk berimigrasi keluar daerahnya. Migrasi ini pertama-tama ditujukan pada daerah Simalungun sesudah masa revolusi. Bruner dalam Siahaan 2000 menyebutkan bahwa motivasi migrasi masyarakat BT adalah disebabkan kurangnya perkembangan ekonomi di tanah leluhurnya, sementara itu kota Medan memberikan bermacam kesempatan kerja, kesejahteraan yang lebih baik, dan semangat hidup. Kondisi di pesisir Timur berkembang dengan pesat setelah dibangun hubungan jalan ke daerah Tapanuli. Di sini arus barang dan pedagang berdatangan. Hal ini berlangsung sampai tahun 1940 yang menyebabkan pesisir Timur menjadi wadah kehadiran suku BT bersamaan dengan kelompok-kelompok lain seperti Batak Karo, Simalungun, Mandailing, Asahan, Batubara, nelayan suku Melayu, pedagang-pedagang Minangkabau, pedagang, dan nelayan Aceh, tenaga kerja suku Jawa, tenaga kerja petani sayur dan pedagang Cina, dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini tinggal menetap yang walaupun tidak bercampur baur satu dengan lainnya, tetapi telah mengalami persentuhan sosial sehingga dalam melakukan komunikasi atau kontak bahasa dengan sesama kelompok etniknya dan etnik lainnya, masyarakat BT di Medan harus menggunakan bahasa Indonesia BI dan BT secara bergantian. Oleh karena itulah masyarakat BT dapat disebut sebagai penutur dwibahasawan bilingual sebagaimana disebutkan Weinreich 1953:121 the practice of alternately using two languages. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan data terakhir BPS tahun 2000, jumlah masyarakat BT di Medan hampir 365.758 jiwa sekitar 19,20 dari 2 juta jiwa populasi masyarakat Medan. Jumlah masyarakat BT yang tinggal di Medan tersebut berada di posisi kedua setelah etnik Jawa 628.898 jiwa. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, jumlah tersebut pastilah telah semakin bertambah melihat semakin derasnya arus mobilisasi yang terjadi di kota Medan. Masyarakat tersebut menyebar di berbagai kecamatan di kota Medan antara lain di kecamatan Medan Tuntungan, Medan Johor, Medan Petisah, Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Labuhan, Medan Deli, Medan Helvetia, Medan Sunggal, dan di beberapa kecamatan lainnya di kota Medan Lihat Lampiran.

1.6.5 Bahasa Batak Toba

Bahasa BT yang digunakan oleh masyarakat penutur di pulau Sumatera mulai bagian timur, utara, dan selatan Danau Toba, dan di pulau Samosir termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa BT itu sendiri merupakan salah satu dari lima sub bahasa Batak yaitu bahasa Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak-Dairi, dan Batak Angkola-Mandailing. Masyarakat penutur masing-masing sub bahasa Batak disebut sesuai dengan sub bahasanya, misalnya penutur sub bahasa BT disebut suku BT, penutur sub bahasa Batak Karo disebut suku Batak Karo, dan seterusnya. Berdasarkan hubungan kedekatan antara kelima bahasa Batak tersebut, terdapat tiga kelompok pembagian bahasa-bahasa Batak yaitu kelompok I adalah bahasa Batak Toba dan bahasa Batak Angkola Mandailing, Kelompok II adalah hanya bahasa Batak Simalungun, dan Kelompok III adalah bahasa Batak Karo dan bahasa Pakpak-Dairi. Artinya, bahasa BT dekat Universitas Sumatera Utara dengan bahasa Angkola-Mandailing, dan bahasa Batak Karo dekat dengan bahasa Batak Pakpak- Dairi, sedangkan bahasa Batak Simalungun berada di tengah-tengah. Sibarani 1997:2 mengungkapkan dua alasan mengapa masing-masing subsuku tersebut memiliki bahasanya sendiri, pertama, diantara subsuku pemakai bahasa itu sudah terdapat hambatan komunikasi atau hampir tidak terdapat lagi saling pemahaman mutual intelligibility. Kedua, tiap-tiap suku itu mendukung dan menyatakan bahwa bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasanya sendiri. Bahasa BT mempunyai tulisan tersendiri yang disebut dengan aksara BT yang berbentuk silabis yang disebut juga dengan bentuk abjad Devanagari yaitu satu tanda merupakan satu suku kata. Bentuk abjad daerah lainnya yang ada di Indonesia adalah aksara Jawa di Jawa, aksara Lampung di Sumatera Selatan, aksara Bugis di Sulawesi. Namun aksara BT ini sudah jarang digunakan dan orang yang menguasainya sudah sangat minim. Menurut Kozok 1999 dan Parkin 1978 aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Dalam perjalanan waktu yang cukup panjang, aksara India Palawa asli berubah bentuk, menurunkan aksara Jawa Kuno atau Kawi hingga kepada aksara Batak. Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf. Menurut Tideman 1931 orang Batak pertama yang menggunakan tulisan Batak ialah Datu Tala di Babana berasal dari Borbor. Pakar bahasa yang pertama mendalami surat Batak tulisan Batak adalah Herman Neubronner van der Tuuk yang dijuluki orang Batak Si Pandortuk dari Belanda. Pada tahun 1852-1857, van der Tuuk tinggal di Barus dan mempelajari bahasa dan tulisan Batak. Tahun 1854 dia berhasil mengumpulkan 2500 lembar folio berupa cerita rakyat yang dituliskannya sendiri atau disuruhnya dituliskan oleh orang Batak sendiri. Selanjutnya data yang Universitas Sumatera Utara dikumpulkannya sebagian dituangkannya dalam buku bacaan dan tata bahasa. Hanya dalam waktu yang singkat yaitu tahun 1855 van der Tuuk telah menerbitkan Over Schrift en Uttspraak der Tobasche Taal Perihal tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba. Perkembangan tulisan Batak Toba tidak terlepas dari peranan gereja melalui dua orang pendeta perintis, Nommensen 1862 dan Johannsen yang memberikan khotbah pada setiap acara ibadah di Lembah Silindung. Sampai pada penerbitan alkitab Padan Na Imbaru Perjanjian Baru dalam Aksara Batak, peranan kedua pendeta ini sangat besar dalam usaha pembakuan dan penyebarluasan bahasa BT, disamping peranan para guru dari sekolah guru Sikola Tinggi Pansur na Pitu. Karena semakin banyak orang Batak yang bisa membaca, mulailah alkitab Perjanjian Baru terjemahan Nommensen diterbitkan dalam huruf Latin atas kerjasama lembaga Alkitab di Negeri Belanda dan Inggris sehingga seiring berjalannya waktu, kebanyakan orang Batak tidak menguasai lagi tulisan Batak lihat Siahaan, 2005, Irmawati, 2007. Demikianlah sejarah perjalanan panjang perkembangan tulisan akasara Pallawa BT sampai pada akhirnya menjadi aksara Latin yang digunakan masyarakat BT sekarang sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Menurut Siahaan 1982, bahasa BT digunakan suku BT dalam kehidupan seharí-hari yaitu: a. dalam kehidupan keluarga: suami-isteri, orang tua - anak, antarsaudara. b. interaksi sosial: tetangga sesuku, perkumpulan marga c. kegiatan kerohanian gereja: berkhotbah, berdoa. d. adat istiadat, dan sebagainya.

1.7 Asumsi dan Hipotesis

Universitas Sumatera Utara Asumsi dalam penelitian ini adalah bahwa gejala interferensi sebagai salah satu masalah dalam peristiwa kebahasaan penutur bilingual disebabkan adanya kecenderungan penutur untuk memasukkan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya saat berbahasa. Gejala interferensi ini diasumsikan terjadi juga dalam BT di Medan karena penutur BT yang bilingual BT-BI cenderung memasukkan unsur-unsur kedua bahasa secara bergantian saat berbahasa. Kemungkinan BT mengalami interferensi BI dimulai dari tingkat bunyi, kata, bahkan sampai pada tingkat kalimat. Berdasarkan asumsi tentang adanya gejala interferensi dalam tuturan-tuturan BT yang mungkin terjadi di Medan yang akan dihubungkan pula dengan sikap bahasa penutur, maka dirumuskan empat hipotesis sebagai pegangan sementara sebagai berikut. 1. Terdapat interferensi BI terhadap BT baik pada tataran fonologis, gramatikal, maupun leksikal. 2. Terdapat perbedaan sikap bahasa penutur BT berdasar ciri sosial dengan variabel jenis kelamin, usia, lamanya tinggal, dan pemakaian bahasa. 3. Terdapat sikap bahasa yang positif penutur Batak Toba di Medan terhadap bahasa BT. 4. Terdapat korelasi yang signifikan antara sikap penutur BT di Medan dengan interferensi bahasa dalam BT.

1.8 Klarifikasi Istilah

Berdasarkan deskripsi sebelumnya dapat dirumuskan beberapa istilah yang dipakai dalam kajian BT di Medan, baik yang sudah jelas-jelas dikemukakan dalam paparan tersebut maupun yang masih tersamar. Sebagian dari rumusan ini diharapkan sekaligus dapat mengklarifikasi ruang lingkup kajian yang digarap. Universitas Sumatera Utara Yang pertama perlu ditegaskan adalah perihal bahasa BT yang merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh penutur etnik BT dalam berkomunikasi dengan penutur BT lainnya, baik dalam keluarga, tetangga, dan lingkungan sosial bernuansa kedaerahan. Penutur Batak Toba yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang lahir di daerah asal bona ni pasogit, tinggal menetap di Medan ≥ lima tahun, dan merupakan penutur BT yang berdomisili di kota Medan. Selain itu penutur yang dimaksudkan dalam kajian ini merupakan komunitas bilingual BT dan BI. Bilingualisme mengacu kepada penguasaan dan penggunaan dua bahasa atau lebih secara berganti-ganti, yang mengacu kepada orang yang menguasai bahasa pertama B 1 dan bahasa kedua B 2 ; penguasaan B 2 itu dapat merujuk kepada yang produktif dan reseptif atau kepada penguasaan yang reseptif saja dwibahasawan pasif Sebuah masyarakat tutur diasumsikan mempunyai sejumlah ranah kebahasaan, ranah itu merupakan konstelasi antara partisipan, topik, dan lokasi. Tuturan BT yang memperlihatkan gejala interferensi diperoleh dari berbagai situasi dalam empat ranah, yaitu ranah keluarga, tetangga, keagamaan, dan adat. Ranah ketiga pertama dari keempat ranah tersebut diambil dari Parasher dalam Sumarsono 1993, sementara itu digunakannya ranah adat dalam penelitian ini mengingat bahwa kegiatan adat merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat BT. Sehingga terdapat istilah dalam masyarakat bahwa masyarakat BT itu hanya hidup untuk kegiatan adat saja, sebab bila mengikuti suatu acara adat, baik adat perkawinan, kelahiran, kematian, mereka harus hadir dari pagi sampai malam hari bahkan ada juga yang berhari-hari pelaksanaannya, misalnya acara adat untuk orang yang meninggal. Dalam masyarakat bilingual seperti masyarakat etnik BT di Medan, kemungkinan terjadinya gejala interferensi selalu ada karena ketika berbahasa ada kecenderungan mereka Universitas Sumatera Utara untuk memasukkan unsur-unsur kedua bahasa yang dikuasainya BT dan BI secara bergantian. Interferensi yang dimaksudkan di dalam kajian ini adalah interferensi yang sesuai dengan konsep Weinreich 1968 berdasarkan bukunya Languages in Contact yaitu interferensi pada aspek fonologi, gramatikal, dan leksikal. Konsep sikap bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori sikap bahasa languages attitude Anderson 1974 yang menyebutkan bahwa sikap merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Sikap bahasa penutur ditandai oleh tiga ciri seperti yang diungkapkan Garvin dan Mathiot 1968 di dalam kertas kerja mereka berjudul ’The Urbanization of the Guarani Language: A Problem in Language and Culture’ yakni kesetiaan bahasa, sikap kebanggaan bahasa, dan sikap kesadaran terhadap norma-norma bahasa.

1.9 Sistematika Penulisan

Penelitian disertasi ini terdiri atas sembilan bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang membahas ihwal latar belakang, masalah, tujuan, manfaat penelitian, batasan penelitian, penutur dan bahasa BT, asumsi dan hipotesis penelitian, klarifikasi istilah, dan sistematika penulisan. Bab kedua memuat kajian tentang interferensi, sikap bahasa, dan bahasa BT yang berisikan kajian terdahulu tentang interferensi, sikap bahasa, dan kajian tentang BT serta kesimpulan. Bab ketiga berupa kerangka teori yang berisikan konsep bilingualisme, konsep kontak bahasa, interferensi dan jenisnya, konsep tentang sikap bahasa dan ciri-cirinya serta kesimpulan. Bab keempat berisikan kajian tentang perbandingan sistem bahasa BT yang memuat tentang sistem fonologi BT, morfologi BT, sintaksis BT, sistem BI yang memuat fonologi BI, Morfologi BI, dan sintaksis BI. Selanjutnya dideskripsikan pula perbandingan sistem BT dengan Universitas Sumatera Utara BI, serta kesimpulan. Bab kelima memuat metodologi penelitian yang memuat metode dan pendekatan, pengumpulan data, dan pengolahan data. Bab keenam memuat interferensi dalam BT yang memuat interferensi aspek fonologis, gramatikal, dan leksikal serta kesimpulan. Bab ketujuh merupakan sikap bahasa penutur BT dan interferensi yang memuat sikap bahasa berdasarkan variabel, signifikansi sikap bahasa penutur BT, kecenderungan sikap bahasa penutur BT, interferensi terhadap BT, korelasi sikap bahasa dengan interferensi, serta simpulan dan diakhiri dengan interpretasi dan pembahasan. Bab kedelapan memuat deskripsi bahasa BT di Medan. Bab kesembilan merupakan penutup yang terdiri atas simpulan dan saran. Universitas Sumatera Utara

BAB II BERBAGAI KAJIAN TENTANG INTERFERENSI, SIKAP

BAHASA, DAN BAHASA BATAK TOBA

2.1 Pengantar

Kajian-kajian tentang interferensi terhadap bahasa daerah di Indonesia telah banyak dilakukan. Demikian juga dengan penelitian tentang sikap bahasa dan tentang bahasa Batak Toba. Dalam kepustakaan, dapat diketahui berbagai kajian tentang interferensi, seperti Abdulhayi, Sulaiman, Sutarna, dan Suharti 1985, Sugiyono 1996, Denes 1994, Sinambela, Martolop 2008, Budiarsa 2006, Rindjin 1979 , Rusyana 1975 , dan penelitian lainnya yang menyerupai. Kajian tentang sikap terhadap bahasa dikemukakan antara lain oleh Kamsiah 2000, Sumarsono 1993, Eva Suliastriana 2003, Baker 1992, Siregar 1985, Aruan 1985, Abdullah 2007, Ma’alip 2008, Siahaan, Rumondang 2000, Sigiro Elisten 2009 dan penelitian lainnya yang menyerupai. Sementara kajian tentang BT diteliti antara lain oleh Hermanus Neubronner van der Tuuk 1824-1894, Nababan, P.J.W 1966, Silitonga, M 1973, Percival 1981, Sibarani 1994. Selain itu, kajian bahasa BT dalam tingkat skripsi dan tesis jauh lebih banyak jumlahnya seperti ”Adverbia dalam BT ” Simanjuntak,Lamtio.2005, ”Kedwibahasaan Masyarakat BT di daerah Pariwisata Prapat ” 2003. Dalam penelitian ini tidak akan dilakukan tinjauan terhadap semua kajian itu. Kajian yang akan ditinjau hanyalah kajian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan di dalam disertasi ini. Universitas Sumatera Utara

2.2 Kajian tentang Interferensi

Penelitian masalah interferensi beberapa bahasa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh Budiarsa 2006, Sugiyono 1996, Sinambela 2008, Soewito 1987 , Siregar 1996, dan Rusyana, Yus 1975.

1. Rusyana, Yus 1975

Penelitian Rusyana dalam disertasi berjudul Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak- anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda menggunakan anak- anak sekolah dasar di Jawa Barat sebagai respondennya. Teori yang digunakan adalah teori Weinreich Languages in Contact Untuk memperoleh data interferensi, responden disuruh menuliskan sebuah cerita setelah terlebih dahulu mereka diminta untuk mendengarkan sebuah cerita. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa para responden melakukan interferensi dalam tulisannya pada pembentukan nomina BI maupun verba yang menggunakan afiks. 2.Soewito 1987 Penelitian disertasi Soewito 1987 berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik” membicarakan penggunaan bahasa serta interferensi dalam bahasa pada masyarakat Surakarta yang multilingual dengan menggunakan landasan teori Hymes 1972 yang membahas tentang komponen percakapan yang digunakan dalam interaksi sosial antarpenutur di masyarakat. Temuannya adalah bahwa dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat menentukan yakni siapa peserta tuturnya, maksud tutur, sarana tutur, dan urutan tutur sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat. Demikian pula penggunaan bahasa atau ragam bahasa oleh masyarakat Surakarta ditentukan oleh komponen- Universitas Sumatera Utara komponen tutur yang lainnya, seperti situasi tutur, peristiwa tutur, pokok tutur, dan norma tutur sesuai dengan fungsi bahasa sebagai media komunikasi di masyarakat.

3. Siregar, Bahren Umar 1996