Perubahan Ketersediaan Sumberdaya Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

Padabeunghar adalah pekerja pabrik, pembantu rumahtangga, Tenaga Kerja Indonesia TKI, dan pekerja bangunan. Pekerja pabrik dilakukan oleh anak laki-laki atau perempuan yang telah selesai sekolah SMP atau SMA. Mereka memilih pekerjaan di pabrik dengan alasan gaji dan tidak ada pekerjaan di desa. Pekerjaan di pabrik akan berhenti dilakukan jika pekerja menikah atau menemukan pekerjaan lain di Desa Padabeunghar. Contoh kasus, Ceu Mm, berhenti bekerja di pabrik garmen di bandung ketika akan menikah dengan Pak Kd. Begitupula Pak Kd, suami Ceu Mm, berhenti bekerja di pabrik elektronik di Tanggerang ketika mempersiapkan diri menjadi kepala desa 77 . Pekerjaan sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga merupakan pekerjaan yang banyak ditekuni oleh penduduk Desa Padabeunghar. Pekerjaan sebagai pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga tidak memerlukan keterampilan khusus sehingga dapat diakses oleh setiap orang yang mau bekerja. Pekerja bangunan juga memiliki organisasi kerja yang menyebabkan calon pekerja tidak perlu mencari pekerjaan sendiri. Pekerja bangunan atau pembantu rumahtangga juga menyediakan uang dalam jumlah besar dalam waktu yang bersamaan, sesuatu yang tidak ada pada penggarapan lahan. Pekerjaan di luar pertanian merupakan basis ekonomi di luar pertanian pada masyarakat Desa Padabeunghar. Pekerjaan di luar pertanian penting bagi ekonomi rumahtangga karena: 1 memberikan status sosial yang lebih baik dari pada pekerjaan pertanian, 2 memberikan penghasilan dalam jumlah besar dan waktu bersamaan terutama bagi pekerjaan bangunan dan pembantu rumahtangga, 3 pendapatan yang terus menerus terutama pada pekerjaan pedagang, dan 4 penghasilan tambahan terutama untuk pekerjaan buruh tani.

4.10 Perubahan Ketersediaan Sumberdaya

Pada periode waktu sebelum tahun 1980-an, lahan Perhutani masih berupa hutan pinus. Petani mendapat akses untuk menggarap lahan hutan melalui sistem tumpangsari. Pengelolaan hutan dilakukan secara intensif pada masa itu. 77 Wawancara dengan Ceu Mm, 29 April 2005 Pengelolaan yang intensif ditunjukkan oleh banyaknya petani yang mengelola lahan hutan. Petani menanam pisang, singkong dan tanaman buah-buahan. Pada saat yang sama lahan kebun karet masih berupa kebun karet yang aktif berproduksi. Petani bekerja sebagai penyadap di kebun karet di sela -sela waktu menggarap lahan. Lahan hutan menjadi satu-satunya alternatif lahan garapan selain lahan milik petani 78 . Pada tahun 1980-an awal terjadi penebangan hutan Perhutani. Penebangan yang dilakukan secara bertahap tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1987, lahan hutan Perhutani ditebang habis termasuk tanaman yang ditanam petani. Pada saat yang hampir bersamaan pohon karet di lahan kebun karet ditebang habis dan dibiarkan kosong sampai sekarang. Petani mengalihkan pengolahan lahan hutan ke lahan kebun karet. Pilihan tersebut dibuat karena lahan kebun karet lebih dekat, lebih subur dan tidak pernah ada kekecewaan seperti saat tanaman petani ditebang Perhutani. Perubahan ini menyebabkan lahan hutan tidak tergarap. Menurut Wa Am, 60 tahun, sorang penggarap hutan yang dikenal rajin dan berhasil menggarap hutan di Desa Padabeunghar, pengelolaan hutan sekarang tidak seramai dulu. Sekarang Wa Am mengangkut pisang dari hutan sendiri, padahal saat ia masih muda banyak sekali orang yang mengangkut pisang dari hutan. Wa Am juga terbiasa pergi beramai-ramai dengan penggarap lain, hal yang sekarang jarang ditemukannya. Sekarang Wa Am sering pergi hanya sendiri atau berdua dengan penggarap lain yang bertemu di jalan. Ini menunjukkan penambahan lahan garapan tidak disertai dengan peningkatan jumlah penggarap 79 . Pembukaan akses lahan kebun karet seiring dengan peningkatan trend merantau pada generasi anak. Sejak generasi orang tua telah ada penduduk Desa Padabeunghar yang merantau ke Jakarta atau kota lain untuk menjadi pembantu rumahtangga atau berjualan roti. Sejak Bos Enon berhasil berusaha di kota sebagai tukang cat, semakin banyak anak muda yang telah selesai sekolah pergi ke kota menjadi pekerja bangunan. Keberhasilan Bos Enon sebagai tukang cat 78 Menjadi buruh penyadap getah karet tidak membutuhkan wakt u sehari penuh. Petani dapat menggarap lahan hutan diantara waktu menunggu sadapan karet. 79 Wawancara dengan Wa Am, 04 Mei 2005 menyebabkan pekerja bangunan yang bekerja di kota disebut “ngecet” oleh warga Desa Padabeunghar. Penebangan pohon pinus di hutan Perhutani dan pohon karet di kebun karet mempengaruhi debit air yang tersedia untuk mengolah sawah. Sawah hanya dapat berproduksi dua kali dalam satu tahun. Pengurangan alokasi tenaga kerja untuk penggarapan sawah menyebabkan ekstensifikasi pada lahan kebun karet. Ekstensifikasi ini tidak melibatkan seluruh anggota rumahtangga. Generasi anak yang belum menikah atau setelah menikah memilih untuk merantau. Generasi orang tua atau generasi kakek menjadi tenaga kerja yang menggarap sumberdaya alam dalam satu rumahtangga. Rumahtangga tidak memiliki tenaga kerja yang cukup untuk menggarap lahan milik pribadi dan lahan garapan. PHBM membuka peluang pemanfaatan sumberdaya hutan tidak dapat membuat petani menggarap hutan. Tekanan nafkah rumahtangga dihadapi petani dengan mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk mendapatkan pendapatan berupa uang tunai dari peluang pekerjaan. Pertanian menjadi jaminan keamanan hari tua yang dianggap cukup setelah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Petani menghadapi kekurangan pendapatan dan krisis keberlanjutan nafkah dengan mendapatkan aset sosial. Perubahan ini disertai perubahan struktur rumahtangga. Keberhasilan program KB yang didukung oleh keinginan untuk mengurangi biaya pengasuhan dan pendidikan anak mendorong pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar. Pengurangan jumlah penduduk disertai dengan peningkatan tingkat pendidikan pada generasi anak. Peningkatan waktu sekolah sampai SLTP atau SLTA ini mengurangi tenaga kerja aktif rumahtangga. Gambaran ringkas perubahan akses modal dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 9 . Perubahan Akses Modal oleh Rumahtangga Periode waktu Momentum Modal yang dapat diakses rumahtangga Dampak perubahan pada pengelolaan modal Sebelum tahun 1980 Lahan hutan masih ada, kebun karet masih berproduksi - Hutan sebagai lahan pertanian - Kebun karet sebagai peluang pekerjaan - Penggarapan hutan - Pekerjaan sebagai penyadap atau pegawai perkebunan KB Penurunan jumlah anak Pengurangan tenaga kerja rumahtangga Peningkatan pendidikan Peningkatan waktu sekolah - Pengurangan waktu menjadi tenaga kerja aktif - Peningkatan kualitas tenaga kerja - Peningkatan kesempatan kerja di luar pertanian Tahun 1980-an akhir Penebangan habis hutan pinus, penebangan pohon karet - Hutan sebagai lahan kosong - Lahan kebun karet sebagai lahan pertanian. - Pengurangan debit air - Lahan hutan diabaikan - Pengolahan lahan kebun karet sebagai lahan pertanian - Panen padi dua kali dalam satu tahun 1980-an akhir Perantau yang berhasil Peluang pekerjaan sebagai buruh bangunan Tren merantau terutama pada generasi anak yang telah selesai sekolah 2002 PHBM Lahan hutan sebagai lahan pertanian - Penggarapan lahan hutan di tempat tertentu - Penggarapan lahan kebun karet 2005 Taman Nasional Lahan hutan sebagai wilayah konservasi Masa transisi, penurunan semangat mengelola hutan Sumber: Diolah dari data primer , 2005 Berdasarkan uraian di atas, perubahan akses modal terutama ditentukan oleh tiga hal: 1 perubahan akses sumberdaya hutan, 2 perubahan fungsi lahan kebun karet dan 3 peningkatan peluang kerja di luar pertanian. Perubahan akses lahan hutan dan lahan kebun karet menyebabkan perubahan pola pertanian di Desa Padabeunghar. P eluang pekerjaan di luar pertanian menyebabkan aliran remittance dari luar desa serta pengurangan jumlah tenaga kerja pertanian. Pengurangan jumlah tenaga kerja yang diperkuat oleh pengurangan jumlah anak dan penambahan waktu sekolah.

4.11 Ikhtisar

Dokumen yang terkait

Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

2 38 114

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 12

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 3

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Analisis gender pada kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Kasus rumahtangga peserta PHBM, Desa Lolong, Jawa Tengah)

1 16 172

Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

2 35 364

Pengetahuan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): kasus di Desa Bojong Koneng dan Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat

0 11 70

Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

1 16 141

Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

4 28 104

Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

2 21 89