Bagi rumahtangga Pak Sud pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari remittance. Pak Sud tidak mengalokasikan tenaga kerja rumahtangga untuk
mendapatkan lahan garapan di lahan hutan Perhutani atau di lahan kebun karet. Kebutuhan konsumsi yang dapat diperoleh dari hasil pertanian seperti beras,
bumbu dan sayur -sayuran diperoleh dari membeli. Bu Ac istri Pak Sud tinggal di Desa Padabeunghar tidak melakukan aktivitas nafkah menggunakan modal alami
atau peluang pekerjaan. Bu Ac dialokasikan untuk melakukan aktivitas nafkah membangun dan menggunakan modal sosial. Ini menunjukkan rumahtangga tidak
terlepas dari kelembagaan dan ikatan sosial selama tinggal di wilayah Desa Padabeunghar.
6.2.2 Strategi nafkah Basis Modal Sosial: Rumahtangga Bu Ut
Diantara rumahtangga yang tidak menjadikan modal alami sebagai sumber nafkah utama, beberapa rumahtangga hidup dengan mengandalkan strategi nafkah
berbasis modal sosial. Rumahtangga Bu Ut merupakan salah satu rumahtangga yang mengandalkan modal sosial sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup.
Rumah tangga Bu Ut memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan membuka warung. Warung merupakan sarana simpan pinjam informal penting di
Desa Padabeunghar. Warung merupakan tempat rumahtangga mendapatkan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari hasil sawah dan lahan garapan. Warung
membuka peluang rumahtangga untuk mendapatkan barang dan membayar saat memiliki uang, benda yang tidak setiap saat dimiliki rumahtangga petani di Desa
Padabeunghar. Warung di Desa Padabeunghar dapat berjalan jika pem ilik warung membuka peluang untuk meminjam dan pemilik warung memiliki hubungan baik
dengan pelanggan. Suami Bu Et bekerja sebagai tukang. Kelembagaan sosial babantu
membuka peluang orang yang bekerja sebagai tukang tetap mendapatkan upah dari orang yang membangun rumah. Suami Bu Ut juga dapat menggunakan
hubungan dengan tenaga kerja bangunan lain untuk bekerja di Jakarta sebagai tukang.
Gambaran strategi nafkah berbasis modal sosial dapat diamati pada strategi nafkah rumahtangga Bu Ut.
Bu Ut, 43 tahun, adalah pemilik warung yang berada di dekat rumah Bi En. Bu Ut memiliki empat orang anak. Dua orang anak terbesar meninggal saat berusia 2 thn
dan 9 bulan. Anak ketiga sekarang telah menikah sedangkan anak terkecilnya baru duduk di kelas tiga SMP. Bu Ut sengaja menunda kelahiran anak keempatnya agar ia
dapat menabung untuk membangun rumah.
Suami Bu U, 45 tahun, adalah seorang tukang. Jika tidak ada pekerjaan di Desa Padabeunghar, suami Bu Ut akan pergi merantau. Jika tidak ada pekerjaan di
perantauan, suami Bu Ut akan bekerja sebagai tukang pada pembangunan rumah di Desa Padabeunghar. Suami Bu Ut mendapatkan upah sebagai tukang sebesar Rp.
35.000,-. Jika bekerja pada saudara atau tetangga suami Bu Ut memberikan potongan upah satu atau dua hari kerja untuk mengganti babantu. Selain mendapat upah, suami
Bu Ut mendapatkan kiriman makanan berupa nasi dan lauk -pauk setiap kali bekerja sebagai tukang di Desa Padabeunghar.
Bu Ut telah membuka warung selama sembilan tahun. Membuka warung di Desa Padabeunghar harus sabar. Seringkali pembeli tidak membayar apa yang dibeli atau
disebut “ngahutang”. Ngahutang sudah sangat biasa dilakukan di Desa Padabeunghar. Dari semua pelanggan Bu Ut hanya tiga orang nenek-nenek yang tidak pernah
ngahutang. Ibu-ibu ngahutang jika tidak memiliki uang untuk belanja atau karena uang yang dibawa tidak cukup untuk membayar harga barang yang dijual. Utang-utang
tersebut ditulis dalam lembaran kertas yang dibuat Bu Ut dari potongan dus rokok. Jika catatan utang tersebut telah banyak maka catatan tersebut dipindahkan ke dalam buku
catatan utang.
Pembayaran utang sangat tergantung dari kesadaran orang yang meminjam. Pembayaran bisa dilakukan pada saat belanja berikutnya, setiap bulan, bahkan setiap
tahun. Bagi yang memiliki gaji veteran, pemba yaran utang biasanya dilakukan pada saat gajian setiap bulan. Bagi istri perantau, pembayaran utang dilakukan setiap kali suami
datang merantau. Utang yang sampai tahunan belum di bayar dianggap utang bermasalah. Bu Ut memiliki catatan khusus tentang orang-orang yang susah membayar
utang. Orang seperti itu akan marah jika ditagih dan tidak membayar jika dibiarkan. Bahkan Bu Ut memiliki satu orang pembeli yang sejak warung dibuka sampai sekarang
belum pernah membayar utang.
Bu Ut akan menagih langganan yang tidak membayar utang jika orang tersebut datang ke warung. Pelanggan yang tidak mau membayar utang tidak kembali belanja ke
warung karena merasa malu. Bu Ut akan menagih utang ke rumah pelanggan yang membandel tersebut. Jika setelah ditagih pengutang tidak mau membayar, maka Bu Ut
akan menghentikan pemberian utang. Orang yang sudah ditolak meminjam di warung Bu Ut akan pindah ke warung lain dan kembali meminjam di warung tersebut.
Ada delapan warung di Desa Padabeunghar dan hanya satu warung yang tidak memberi kesempatan meminjam. Warung tersebut dimiliki oleh Mang Dadang seorang
perantau yang berasal dari Kramat. Warung Mang Dadang paling besar dan lengkap diantara warung-warung lain di Desa Padabeunghar. Pembeli hanya akan membeli ke
warung Mang Dadang jika memiliki uang dan barang yang akan dibeli tidak ada di warung Bu Ut atau jika harga yang ditawarkan lebih murah.
Kebiasaan meminjam itu dirasa berat oleh Bu Ut, namun, Bu Ut tidak akan berhenti berjualan. Jika warung tutup mungkin uang yang sudah diutang tidak akan
kembali. Bu Ut juga merasakan tambahan pendapatan dari warung. Jika ditambah dengan pendapatan tukang suami Bu Ut, pendapatan itu cukup untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, sekolah anak dan menabung untuk memperbaiki rumah.
Beberapa orang pelanggan menyimpan uang untuk keperluan belanja berikutnya. Seorang guru langganan Bu Ut, biasa menyimpan uang Rp. 10.000,-,
20.000,- atau 50.000,-. dengan cara tidak mengambil uang kembalian belanja. Uang
tersebut disimpan untuk keperluan belanja berikutnya. Orang seperti itu disebut orang baik atau “nu bageur” oleh Bu Ut. Selain itu penyimpanan uang biasanya dilakukan oleh
orang yang akan hajatanmembangun rumah. Mereka akan menyimpan uang pada saat ia punya dan menitipkan uang tersebut untuk pembelian barang-barang yang dibutuhkan
saat hajatanmembangun rumah. Uang tersebut ditukarkan dengan barang yang dimaksud dengan harga warung Bu Ut. Bu Ut senang jika ada tetangga yang menitipkan
uang. Bu Ut akan mendapatkan untung dari pembelian dalam jumlah besar.
Warung Bu Ut selalau ramai dijadikan tempat berbincang- bincang ibu-ibu. Ibu- ibu tersebut tidak selalu berbelanja mereka hanya duduk di teras rumah Bu Ut dan
berbincang-bincang. Bu Ut selalu senang menerima kehadiran ibu-ibu tetangga untuk berbincang-bincang, selain mendapatkan teman menunggu warung, ibu-ibu tersebut
sering membeli makanan kecil dan jajanan anak sewaktu berbincang-bincang. Memebuka warung membutuhkan kedekatan dengan pembeli, jika terlalu perhitungan
dan tidak ramah maka pembeli akan pindah ke warung lain.
Bu Ut sebenarnya memiliki empat tempat kebon, namun ia lebih senang berjualan dari pada pergi ke kebon. Suami Bu Ut juga hanya pergi ke kebon untuk
mencari kayu bakar atau jika ada buah yang harus dipetik. Kebon diperoleh dari warisan orang tua Bu Ut dan orang tua Suami Bu Ut. Kebon berperan untuk menyediakan kayu
bakar dan bahan bangunan yang dibutuhkan untuk membangun atau memperbaiki rumah.
Modal sosial menjadi keuntungan dan juga beban bagi rumahtangga Bu Ut. Kebiasaan meminjam memberi keuntungan dengan menambah pelanggan
namun juga merugikan karena mengurangi jumlah uang untuk membeli barang- barang persediaan warung. Jika tidak ada pelanggan, barang-barang yang dijual di
warung Bu Ut tidak akan terjual dan warung Bu Ut tidak dapat terus berjualan, namun jika pelanggan yang mengutang bertambah, Bu Ut tidak mendapatkan
keuntungan dari barang yang telah dijual. Sifat hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari dibawa ke dalam
hubungan transaksi jual beli di warung. Hubungan simpan pinjam menjadi tidak jelas karena didasari oleh rasa tidak enak, takut menyinggung, yang dipengaruhi
dan mempengaruhi hubungan sehari-hari sebagai tetangga atau saudara. Keputusan untuk menghentikan pinjaman yang terus-menerus beresiko
menghentikan hubungan pertetanggaan atau persaudaraan. Hubungan kerja antara tukang dan pengguna jasa tukang lebih jelas. Upah
tukang telah disepakati dalam aturan “tahu sama tahu”. Jumlah hari babantu yang berarti bekerja tanpa dibayar pun telah terbentuk melalui kesepakatan umum,
yaitu dua atau tiga hari. Ikatan sosial yang lebih nyata terjadi pada hubungan pekerjaan antara suami Bu Ut dengan supplier atau dengan pekerja bangunan lain
yang tinggal dalam satu mess. Ikatan kerja tersebut harus tetap dijaga jika ingin
tetap mendapatkan pekerjaan dari supplier, meskipun tidak ada kontrak yang mengikat dan tidak ada sanksi jika memilih pekerjaan di tempat lain.
Bu Ut tetap memilih membuka warung dari pada menggarap kebon milik atau membuka lahan garapan meskipun menghadapi resiko kerugian. Aktivitas
nafkah menggunakan modal alami dianggap berat. Bu Ut memilih mendapatkan sedikit keuntungan tetapi dapat tinggal di rumah dan berbincang-bincang dengan
ibu-ibu yang datang ke warung. Ini menunjukkan jika ada alternatif untuk memilih sumbe r nafkah, modal alami menjadi pilihan terakhir.
6.2.3 Strategi nafkah Basis Pekerjaan di dalam Desa: Rumahtangga Pak