merupakan pilihan-pilihan tindakan ekonomi atau aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk mencapai tujuan rumahtangga. Strategi nafkah bukan suatu
yang berdiri sendiri, strategi nafkah juga reaktif terhadap kondisi sosial ekonomi desa. Pembahasan tentang modal sosial merupakan bukti pengaruh kondisi sosial
ekonomi desa pada strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar. Berikut ini akan dibahas strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar
6.1 Strategi Nafkah Basis Modal Alami
6.1.1 Strategi Nafkah “Ekstensifikasi”: Rumahtangga Pak Suh
Desa Padabeunghar merupakan sebuah desa yang 32,7 persen penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani atau buruh tani potensi
Desa Padabeunghar, 2005. Data ini tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani
lebih banyak karena rumahtangga yang bermata pencaharian sebagai pedagang atau tukang atau pe kerjaan lain juga memiliki mata pencaharian sebagai petani
atau buruh tani. Seperti yang telah dibahas pada bab dua, rata-rata anggota komunitas
Desa Padabeunghar memliki sawah 0,25 bau
97
dengan hasil lima kuintal gabah setiap kali panen. Hasil panen diperlukan untuk membeli pupuk kimia, yang
terkadang menghabiskan seluruh hasil panen, untuk musim tanam selanjutnya. Tanpa memperhitungkan tenaga kerja rumahtangga yang digunakan, pengelolaan
sawah telah merugikan. Strategi nafkah “ekstensifikasi” memberikan gambaran strategi nafkah
rumahtangga yang berbasis pada penggunaan modal alami dalam menghadapi keterbatasan luas lahan dan pendapatan dari lahan milik. Keterbatasan tanah milik
diatasi dengan penggunaan lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Strate gi nafkah “ekstensifikasi” yang digunakan oleh rumahtangga Pak Suh memberikan
gambaran peranan lahan di luar lahan milik petani. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “ekstensifikasi” juga
melakukan aktivitas nafkah di luar penggunaan modal alami. Namun, bagi
97
Satu bau sama dengan 500 bata, satu bata sama dengan 11 m², jadi satu bau sama dengan 5500 m².
rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah ini, modal alami merupakan sumber nafkah utama. Aktifitas nafkah dengan menggunakan peluang pekerjaan
merupakan sumber pendapatan tambahan bagi rumahtangga yang dilakukan oleh anak.
Gambaran strategi nafkah “ekstensifikasi” dapat diamati pada strategi nafkah rumahtangga Pak Suh:
Pak Suh dikenal sebagai “profesor leuweung” di Desa Padabeunghar. Gelar tersebut diberikan karena Pak Suh dikenal sebagai orang yang rajin bekerja menggarap
sawah dan lahan hutan atau lahan kebun karet
98
. Rumah tangga Pak Suh merupakan rumah tangga yang terdiri dari dua KK. Pak Suh memiliki anak yang telah menikah dan
tinggal bersama dengan Pak Suh. Pak Suh lahir tahun 1951 di Desa Padabeunghar. Ia lahir dan besar di Desa Padabeunghar. Orang tua Pak Suh bekerja sebagai petani. Pak
Suh tinggal bersama ibunya ema sementara bapak Pak Suh tinggal bersama istri keduanya. Pak Suh menikah dengan Bu Kun dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki,
Nirman, SY dan EC. Nirman sekarang telah menikah dengan Ceu Im, warga kampung Muncang Pandak dan dikaruniai satu orang anak bernama Dika. Struktur rumahtangga
Pak Suh dapat diamati pada gambar berikut
:
Pak Suh memiliki tanah 0,5 bau yang diperoleh dari warisan orang tua Pak Suh. Sawah Pak Suh terletak di pinggir mata air di Blok Pari. Blok Pari bersebelahan
langsung dengan hutan lindung yang masih asli. Hutan lindung tersebut dijaga untuk menjaga kelestarian mata air di Blok Pari. Blok Pari terletak sekitar lima kilometer dari
tempat tinggal Pak Suh. Blok Pari bisa dicapai setelah melalui jalan setapak berbatu yang terjal. Setiap kali panen Pak Suh memperoleh 5-7 kuintal gabah kering. Ia hanya
panen dua kali dalam setahun, ini karena letak sawah yang berada di pinggir mata air menyebabkan tanaman padi kurang bagus pada saat musim hujan atau curah hujan
sangat tinggi atau menurut istilah Pak Suh “dingin” “tiis”
99
. Pak Suh membutuhkan waktu untuk mem-bera-kan tanah sampai kondisi tanah tidak “dingin” yaitu kondisi di
mana air hujan mulai berkurang. Pak Suh tidak menggarap sawah sendiri. Pak Suh dibantu oleh petani yang
nyeblok di lahan sawah Pak Suh. Pak Suh sendiri nyeblok di sawah orang lain. Di sela- sela kesibukan Pak Suh mengolah sawah dan nyeblok Pak Suh bekerja sebagai buruh
98
Di Desa Padabeunghar, semua wilayah yang telah melalui jalan menanjak ke arah gunung Ciremai disebut “leuweung ” “hutan”. Wilayah “hutan” termasuk wilayah hutan Perhutani,
wilayah kebun karet, tanah iasa dan kebon penduduk.
99
“Dingin” “tiis” adalah istilah yang diberikan Pak Suh untuk menjelaskan kondisi tanah yang berair dan lembab di sekitar mata air. Air mata air tidak baik untuk mengairi sawah. Menurut
Pak Suh air mata air “terlalu bersih” atau tidak mengandung unsur hara. Tanaman padi akan tumbuh dengan baik jika pengairan dengan menggunakan air mata air berkurang.
Pak Suh Bu K un
Nirman
SY EC
Ceu Im
Dika Ema
tani jika ada yang mengajak untuk bekerja. Buruh mencangkul mendapat upah Rp. 10.000,- per hari. Jika Pak Suh telah mendapat kepastian tentang keberadaan petani
nyeblok di sawahnya, Pak suh akan memilih membiarkan sawahnya digarap oleh petani nyeblok untuk mendapatkan kesempatan menjadi buruh cangkul dan kesempatan
mendapatkan upah.
Pak Suh tidak memiliki kebon. Orang tua Pak Suh tidak mewariskan kebon, sedangkan orang tua Bu Kun, istri Pak Suh, belum memberikan warisan kepada Pak Suh.
Warisan merupakan sumber satu-satunya tanah milik bagi rumahtangga Pak Suh. Pak Suh tidak membayangkan dapat membeli kebon apalagi sawah. Harga sawah sangat
tinggi dalam ukuran Pak Suh. Kesempatan mendapatkan tambahan lahan hanya dengan membuka lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani.
Pak Suh akan membawa satu pikul besar rumput setiap kali pulang dari sawah. Pak Suh memiliki delapan ekor kambing yang ia pelihara dengan sisitem maron.
Kambing itu ia peroleh dari program pengembangan kambing di desa trijaya. Seorang pengusaha mempercayakan empat ekor kambing untuk dipelihara Pak Suh dan sekarang
telah menjadi delapan, empat ekor diantaranya milik Pak Suh. Menurut Pak Suh pemeliharaan kambing merugikan karena kambing bagian pemilik harus dikembalikan
pada saat sudah besar, seharusnya ada imbalan untuk “ngagedekeun” atau membesarkan kambing tersebut. Seharusnya jika ada anak kambing yang ketiga maka
anak kambing yang ketiga itu milik Pak Suh, tapi tetap dibagi dua dengan pemilik. Meskipun mengaku rugi Pak Suh tetap memelihara kambing karena lumayan bisa dijual
untuk keperluan mendadak atau membeli pupuk.
Jika tidak ada pekerjaan di sawah, Pak Suh akan menggarap lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani. Pak Suh membuka beberapa tempat lahan
garapan di lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Jumlah lahan garapan Pak Suh tidak dapat ditentukan dengan pasti. Lahan garapan Pak Suh tersebar di beberapa
tempat dalam luasan yang kecil. Misalnya, Pak Suh membuka empat baris tanah berukuran 3x10 meter untuk menanam jahe di lahan kebun karet. Bersebelahan dengan
tanaman jahe terdapat tanah garapan tetangga Pak Suh. Bersebelahan dengan lahan garapan tetangga Pak Suh, terdapat sebidang tanah garapan Pak Suh yang ditanami
tanaman pisang, singkong dan tanaman yang tumbuh liar. Diseberang tanah garapan tersebut Pak Suh membuka sebidang tanah yang ditanami pisang dan jeungjing. Ukuran
tanah tidak dapat ditentukan secara pasti karena Pak Suh dan penggarap lahan kebun karet atau lahan hutan tidak pernah mengukur luas lahan garapan mereka. Gambaran
pola penggarapan lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani Pak Suh dapat diamati pada gambar berikut.
Sumber: Diolah dari Data P rimer, 2005
Gambar 6. Denah Lahan Garapan Pak Suh
Pak Suh menanam singkong, jahe, lengkuas, pisang, jeungjing, sereh, cabe, durian, petai, melinjo, dan tanaman pokok perhutani, pinus. Terdapat pola penanaman
yang berbeda antara lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani. Lahan kebun karet ditanami satu jenis tanaman menyerupai ladang atau berbagai tanaman seperti kebon
penduduk. Lahan hutan Perhutani ditanami satu jenis tanaman utama seperti pisang dan singkong. Pak Suh menanam pisang, sereh dan singkong di lahan hutan karena lokasi
lahan hutan lebih jauh sehingga tanaman yang ditanam adalah tanaman yang tidak memerlukan perawatan setiap saat. Lahan kebun karet ditanami jahe karena lahan kebun
karet lebih dekat sehingga lebih mudah melakukan perawatan tanaman.
Lahan hutan Perhutani yang ditanam dengan berbagai tanaman adalah lahan hutan di Blok Kiara yang digarap bersama oleh pamong Desa Padabeunghar. Pak Suh
menanam durian, tanaman yang dianggap sangat menguntungkan, di lahan garapan Blok Kiara. Selain durian, Pak Suh menanam petai, melinjo, sereh, singkong dan
tanaman dari Perhutani seperti suren dan pinus. Bibit tanaman diperoleh Pak Suh dari Perhutani dan dari pembibitan yang dilakukan oleh Pak Suh di halaman rumah. Sejak
ada program PHBM dan mengenal LSM yang melakukan pendampingan PHBM, Pak Suh membuat pembibitan di halaman rumah. Pembibitan dilakukan untuk menyediakan
bibit tanaman yang akan ditanam di lahan PHBM.
LG Pak Suh
LG lain
LG Pak
Suh LG Pak Suh
LG Pak Suh
LG lain
LG Pak Suh
Lahan bekas tumpang sari, digarap oleh seorang warga Desa
Padabeungharmasih ada tegakan pohon pinus
LG lain
LG Pak Suh
LG lain
Tanah berbatu menurun yang dipenuhi semak Hutan
Perhutani Semak
Semak
Semak Semak
Semak
Keterangan:
= batas hutan Perhutani dan lahan kebun karet = jalan setapak yang menghubungkan wilayah pemukiman dan “ leuweung”
= sungai = lahan garapan
LG
Lahan kebun karet
Pak Suh pernah menjadi penyadap karet sebelum tanaman karet dibabat habis. Ia menjadi penyadap sekitar tahun ‘68-‘70. Tanaman karet di lahan kebun karet
merupakan tanaman karet tua yang digambarkan oleh Pak Suh sebagai “sagede- gede beuteung munding”
100
. Pada saat yang sama, Pak Suh menggarap lahan hutan Perhutani melalui program tumpang sari. Pak Suh menanam melinjo, petai, jengkol, nangka,
singkong dan pisang. Pada saat itu, lahan hutan Perhutani dipenuhi tegakan tanaman penggarap hutan dan pohon pinus yang telah tua dengan ukuran “satangkeup”
101
Selain menjadi penyadap, Pak Suh juga menjadi buruh pemetik durian. Pak Suh tidak memiliki pohon durian sendiri, Pak Suh menjadi buruh pemetik durian setiap kali
musim panen durian. Pak Suh berhenti menjadi pemetik durian karena kecelakaan yang dialami Pak Suh pada tahun 1990. Pak Suh mengalami patah tulang kaki dan
membutuhkan perawatan selama satu bulan di Sumedang.
Masa pengobatan patah tulang merupakan saat paling sulit dalam rumahtangga Pak Suh. Pak Suh harus menyewakan 0,25 bau tanahnya sehingga sekarang ia hanya
mengelola 0,25 bau seharga Rp 1.800.000 untuk 18 tahun 36 pagasanmusim panen; satu pagasan Rp 50. 000 untuk biaya pengobatan. Peristiwa ini terjadi saat anak yang
paling besar, Nirman, kelas dua SMP dan anak kedua, SY, kelas 6 SD. Kejadian itu membuat sekolah SY tertunda selama satu tahun. SY baru bisa sekolah lagi saat Pak Suh
telah sembuh. Padahal, saat ia terjatuh ia sedang merenovasi rumahnya. Renovasi rumah tersendat karena kecelakaan yang dialami Pak Suh.
Bu Kun ikut menunggui Pak Suh yang sedang berobat di Sumedang. Namun Bu Kun tidak bisa menemani Pak Suh lebih lama. Tekanan kebutuhan rumahtangga
membuatnya berjualan sorabi sejenis penganan yang terbuat dari tepung beras dan dipanggang dalam tempat khusus keliling dengan membawa EC, anak ketiganya yang
waktu itu baru berusia 10 bulan. Sampai sekarang Bu Kun tidak mau lagi berjualan “sedih, asa inget keur masa susah, melas pisan” sedih, mengingatkan pada masa-masa
susah, susah sekali.
Kecuali jika sakit yang membuat Pak Suh tidak dapat pergi jauh dari rumah, Pak Suh setiap pagi pergi bekerja. Jadwal pekerjaan Pak Suh tidak disusun berdasarkan
jadwal yang tetap. Setiap kali pergi ke sawah, Pak Suh akan mampir ke lahan garapan kebun karet atau lahan garapan hutan Perhutani di Blok Batukuda denah lahan garapan
Pak Suh di Blok Batukuda dapat diamati pada gambar. Setelah itu, Pak Suh pergi ke sawah untuk mencangkul. Jika pekerjaan di sawah dianggap selesai untuk hari itu, Pak
Suh akan mencari rumput atau kayu bakar di hutan Perhutani. Pak Suh hanya akan pergi menggarap lahan garapan di lahan kebun karet atau lahan hutan Perhutani dan tidak
pergi ke sawah jika pekerjaan di sawah telah dianggap selesai atau ada petani yang nyeblok. Pak Suh tidak pernah memiliki rencana jangka panjang yang sengaja dibuat
untuk pengelolaan lahan. Rencana dibuat untuk jangka pendek atau mendesak, misalnya, ada pisang yang harus ditebang, menanam bibit pisang yang diperoleh dari LSM atau
tetangga di lahan hutan Perhutani, memupuk tanaman, atau mencari rebung karena diminta Bu Kun, istri Pak Suh. Menyabit rumput merupakan pekerjaan yang akan
digantikan oleh Bu Kun jika Pak Suh sakit.
Tekanan kehidupan di Desa Padabeunghar dan peluang untuk mendapatkan tanah yang lebih besar mendorong Pak Suh untuk ikut transmigrasi. Pada tahun 1976
ada program transmigrasi disosialisasikan di Desa Padabeunghar. Pak Suh berniat untuk ikut, namun Bu Kun tidak setuju sehingga tidak jadi dilakukan. Hal yang paling
menarik dari transmigrasi adalah tanah yang ditawarkan. Setiap transmigran akan mendapatkan 2 Ha tanah, rumah dan tunjangan makan selama satu tah un. Di Desa
100
“sagede-gede beuteung munding” adalah istilah untuk menggambarkan pohon karet yang ada di perkebunan sudah sangat tua yang ditunjukkan oleh ukuran pohon yang “ sebesar perut kerbau”.
101
“satangkeup” adalah istilah untuk menggambarkan pohon pinus yang ada di hutan Perhutani sudah sangat tua yang ditunjukkan oleh ukuran pohon yang “sebesar lingkaran tangan orang tua”
Padabeunghar tidak mungkin akan mendapatkan tanah seluas itu. Pak Suh tidak takut dengan kemungkinan tanah yang masih berupa hutan atau banyaknya hutan buas, hutan
dan hewan buas tidak aneh untuk mereka. Anak laki-laki Pak Suh, Nirman dan SY, bekerja sebagai pekerja bangunan di
Jakarta. Nirman dan SY memilih bekerja sebagai pekerja bangunan, karena pekerja bangunan mendatangkan uang dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan. Nirman dan
SY memiliki lahan garapan di lahan hutan Perhutani dan digarap jika tidak ada pekerjaan di Jakarta. Nirman tidak memiliki waktu pulang yang tetap. Nirman terkadang
pulang sebulan sekali, dua bulan atau terkadang dua minggu. Kepulangan Nirman tergantung pada pekerjaan dan uang hasil bekerja.
Mengolah lahan sendiri dirasa sangat berat oleh Pak Suh. Sebelum Nirman dan SY pergi merantau, Pak Suh ada yang membantu di sawah. Nirman dan SY baru akan
membantu pekerjaan Pak Suh jika ada di Desa Padabeunghar karena tidak ada pekerjaan di Jakarta. SY masih dapat diandalkan membantu pekerjaan Pak Suh,
sementara Nirman akan menggarap lahan garapan, sawah dan kebon milik Nirman karena Nirman telah menikah dan memiliki sawah dan kebon warisan Ceu Im, Istri
Nirman.
Namun Pak Suh juga tidak menutup bahwa hasil merantau Nirman dan SY banyak membantu ekonomi rumahtangga. Pak Suh dan Bu Kun menerima uang hasil
merantau sebesar Rp 100.000,- sampai Rp. 200.000,- dari SY atau Nirman. Pak Suh dan Bu Kun tidak menghabiskan seluruh uang pemberian anaknya, ia sisihkan untuk
keperluan anaknya seperti menikahkan atau jika ada keinginan dan kebutuhan mendadak.
Bu Kun harus membatasi pengeluaran dalam bentuk uang. Penghasilan dari sawah jarang berbentuk uang tunai. Uang tunai didapat jika ia menjual pisang. Pisang
satu tandan bisa terjual antara Rp 5.000- 30.000 tergantung panjang tandan, jenis pisang dan kualitas buah. Pembatasan pengeluaran uang ini dilakukan dengan
menggunakan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Bu Kun memasak sayur- sayuran yang dipetik dari sawah atau lahan kebun karet. Sayur yang sering di masak adalah rebung dan daun singkong. Bu Kun hanya membeli
tahu atau tempe dari warung. Seminggu sekali Bu Kun membeli telur atau terkadang jika mendapatkan uang cukup banyak Bu Kun akan membeli satu dus mie instant. Bu Kun
membuat penganan dari hasil sawah atau lahan garapan untuk dijadikan teman minum teh atau lauk nasi . Kiripik yang bentuk dan rasanya seperti kerupuk itu tidak pernah
dijual karena menurut Bu Kun hampir semua rumah membuat kiripik jadi tidak ada yang akan membeli kalau kiripik itu dijual.
Kebutuhan beras sehari-hari dipenuhi dari hasil panen. Bu Kun tidak pernah membeli beras. Jika hasil panen tidak memenuhi kebutuhan hidup sampai musim panen
berikutnya, maka Bu Kun akan meminjam gabah pada abah orang tua laki-laki Bu Kun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika abah tidak memiliki cukup gabah, maka teteh
kakak sepupu perempuan Bu Kun menjadi pilihan berikutnya. Pinjaman tersebut akan dibayar setelah musim panen berikutnya dalam bentuk gabah sesuai dengan jumlah
pinjaman. Bagi Bu Kun, membeli baras adalah alternatif terakhir.
Kun bekerja menyiapkan makanan untuk konsumsi sehari -hari. Bu Kun menanggung biaya makan bagi Ceu Im, Nirman dan Ema ibu Pak Suh. Kebutuhan Ceu
Im dan ema yang lain seperti jajan Dika, membeli pakaian dan makanan di luar menu yang disediakan Bu Kun harus dipenuhi sendiri.
Jika tidak ada pekerjaan di Jakarta, Nirman memecah batu dan menggali pasir di lahan perhutani, di jalan desa yang menuju ke arah Kiara. Batu dan pasir diperlukan
untuk bahan baku pembuatan rumah Nirman. Nirman akan pergi ke Jakarta lagi mengumpulkan uang untuk mengangkut batu dan pasir ke rumah.
Pak Suh dan Bu Kun juga punya keinginan untuk merenovasi rumah. Rumah yang sekarang ditempati sudah rapuh di bagian atap. Bu Kun dan Pak Suh telah memiliki
kayu yang dibeli dari keuntungan hajatan menikahkan Nirman. Bu Kun mendapatkan uang Rp. 8.000.000, - dari hasil kondangan tamu. Uang tersebut digunakan untuk
membayar utang, membeli perhiasan dan dibelikan kayu untuk mem perbaiki atap rumah Bu Kun. Untuk pembuatan rumah Nirman, Bu Kun akan membantu jika ia memiliki uang.
Uang hasil hajatan menikahkan Nirman adalah harapan terakhir Bu Kun dan Pak Suh untuk mendapatkan uang cukup banyak.
Strategi nafkah “ekstensifikasi” menunjukkan tekanan nafkah pada penggunaan beragam modal alami. Rumahtangga Pak Suh menggunakan modal
alami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membangun aset yang berguna untuk masa yang akan datang, dan menghadapi keadaan sulit rumahtangga.
Kekurangan lahan dihadapi dengan pembukaan lahan baru. Kekurangan lahan di dalam desa dihadapi dengan mencari peluang tanah di luar desa seperti
transmigrasi. Strategi nafkah rumahtangga Pak Suh menunjukkan lahan hutan Perhutani
dan lahan kebun karet memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangga. Lahan kebun karet dan lahan hutan Perhutani merupakan
alternatif satu-satunya untuk mengatasi kekurangan pendapatan dari lahan milik rumahtangga. Bagi rumahtangga Pak Suh, lahan hutan dan lahan kebun karet
menyediakan kebutuhan di luar kebutuhan beras yang diperoleh dari sawah. Penggarapan lahan kebun karet menjadi pilihan pertama sebelum lahan
hutan Perhutani. Lahan kebun karet lebih dekat dengan pemukiman dan tidak berbatu seperti lahan hutan Perhutani. Alasan ini diperkuat karena lahan hutan
Perhutani yang terletak lebih dekat dengan pemukiman dan tidak berbatu juga menjadi pilihan lahan garapan. Jadi lahan garapan bagi rumahtangga tidak
ditentukan oleh asal-usul tanah tetapi oleh kedekatan dengan pemukiman dan kemudahan untuk menggarap seperti tidak berbatu, tidak terletak di tebing yang
curam. Strategi nafkah “ekstensifikasi” merupakan strategi nafkah khas
rumahtangga petani penggarap lahan hutan di Desa Padabeunghar. PHBM mendorong pemerintah Desa Padabeunghar untuk menganjurkan penggarapan
hutan pada pamong desa dan tokoh pemuda. Penggarapan lahan oleh pamong desa dan tokoh pemuda memiliki alasan dan cara penggarapan yang berbeda
dengan cara penggarapan yang dilakukan untuk mengatasi keterbata san lahan milik pribadi. Rumahtangga Pak Suh merupakan contoh rumahtangga yang
melakukan penggarapan lahan hutan sebagai strategi mengatasi kekurangan lahan milik pribadi.
PHBM merancang strategi nafkah yang menekankan pada pengelolaan lahan hutan untuk mengatasi keterbatasan lahan dan kekurangan pendapatan
rumahtangga. Strategi nafkah “ekstensifikasi” mencerminkan desakan nafkah karena kekurangan lahan dan pendapatan pada lahan di luar lahan milik termasuk
lahan hutan Perhutani. Namun, strategi nafkah yang terbentuk tidak persis sama dengan sistem nafkah yang dirancang oleh PHBM dalam hal pemilihan lahan
garapan, pola tanam, dan tanaman yang ditanam. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “ekstensifikasi” pun
mengalami pergeseran pilihan strategi nafkah pada anggota rumahtangga usia anak. Merantau sebagai pekerja bangunan menjadi pilihan pekerjaan anggota
rumahtangga dalam kelas usia anak. Aliran remittance merupakan salah satu sumber pendapatan berupa uang. Merantau dilakukan anak untuk membangun
rumah dan mempersiapkan kehidupan terpisah dari rumah orang tua. Aliran remittance diiringi dengan pengurangan tenaga kerja rumahtangga untuk
menggarap lahan. Rumahtangga Pak Suh menunjukkan strategi nafkah “ekstensifikasi”
membangun pengamanan konsumsi bagi anggota rumahtangga yang merantau. Anak yang merantau meninggalkan istri dan anak di rumah orang tua. Kebutuhan
konsumsi dipenuhi dari orang tua yang melakukan penggarapan lahan dan penggarapan lahan yang dilakukan anak saat tidak ada pekerjaan di pera ntauan.
Ini menunjukkan pergeseran desakan nafkah pada pekerjaan sebagai pekerja bangunan mengurangi tenaga kerja yang secara aktif menggarap lahan namun
tidak mengurangi kebutuhan pendapatan dari penggarapan lahan.
6.1.2 Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am