rumahtangga melalui NTFP Non Timber Forest Product, kayu hutan, makanan liar dari hutan, penggunaan lahan hutan, karet, dan kakao.
2.2 Pengelolaan Hutan di Jawa
Bagi masyarakat Jawa hutan
9
sejak dahulu telah dikenal sebagai sumberdaya penting bagi nafkah rumahtangga. Sebelum kedatangan Belanda pada
akhir abad ke -16, hutan jati telah menyumbang ekonomi rumahtangga dari mulai kayu bakar sampai pada bahan baku industri perkapalan. Hutan sebagai
penyumbang ekonomi rumahtangga diambil-alih oleh penguasa. Belanda melalui VOC Verenigne Ost-Indische Compagnie memperoleh ijin eksploitasi hutan
melalui penguasa-penguasa lokal seperti sultan atau raja. Ijin penebangan hutan yang dipegang VOC merupakan legalisasi penguasaan pengusaha asing terhadap
hutan yang selama ini dimanfaatkan masyarakat
10
. Kepentingan ekonomi ini diperkuat secara politik oleh Agrarische-wet pada masa pemerintahan Thomas
Stamford Raffless pada tahun 1811 Wiradi, 2000. Berdasarkan agrarische-wet, seluruh tanah di luar milik pribadi dianggap sebagai milik negara, termasuk lahan
hutan. Kebijakan ini diperkuat dengan penetapan domeinverklaring tahun 1870 yang meneta pkan batas kawasan hutan yang dikuasai negara. Domeinverklaring
memberi pengesahan eksploitasi hutan oleh negara Simon, 2004. Pengambilalihan penguasaan dan pengusahaan hutan dari masyarakat
lokal oleh negara dilanjutkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui UUPH Undang-undang Pengelolaan Hutan tahun 1967, hak pengelolaan hutan
diberikan pada pengusaha-pengusaha pemegang HPH Hak Pengelolaan Hutan dan perusahaan milik negara. Tujuan pengelolaan hutan untuk menambah
pendapatan negara dari sektor kehutanan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini juga berarti pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal yang tidak
9
Hutan yang dimaksudkan terutama hutan jati. Simon 2004:1-24 menunjukkan masyarakat Jawa telah memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat kayu aspek teknologi, cara penebangan aspek
eksploitasi, dan cara pemanfaatan aspek pengolahan hasil.
10
Secara hukum, seluruh kawasan hutan jati di Jawa masih di bawah kekuasaan Sunan Paku Buwana di Surakarta atau Sultan Hamengkubuwana di Jogjakarta. Tatanan penguasaan hutan
masyarakat yang menyatu dengan hukum tak tertulis, hukum adat atau yang disebut hak ulayatbergabung dengan system administrasi pemerintahan. Hak ulayat untuk mengendalikan
sumberdaya hutan di Jawa masuk ke dalam aturan wilayah administrasi paling kecil, yaitu desa. Hutan termasuk ke dalam wewengkon desa. Ijin penebangan hutan dari sultan atau sunan
merupakan legalisasi bagi VOC untuk mengeksploitasi hutan. Potensi pertentangan dari desa diatasi dengan kerjasama antara VOC dan pemerintah desa Simon, 2004: 21-22.
memiliki HPH dianggap ilegal. Di masa ini pula terjadi pengusiran masyarakat lokal dari wilayah hutan yang telah ditetapkan menjadi hutan negara. Masyarakat
desa sekitar hutan yang tetap menggarap lahan hutan disebut perambah hutan, peladangan ilegal, penjarah, atau penggembala liar.
Kelembagaan yang mengatur hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan-sumberdaya hutan lebih banyak dibentuk oleh pemerintah atau pihak
perusahaan yang memiliki HPH. Simon 2004 menunjukkan sejak masa timber extraction dilakukan oleh VOC sebuah organisasi perdagangan di bawah
pemerintah Belanda, pengaturan hubungan masyarakat desa sekitar hutan dengan sumberdaya hutan lebih banyak dilakukan oleh pihak pemegang HPH.
Selanjutnya, bentuk kelembagaan tersebut ditentukan oleh tiga hal 1 kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH, 2 tuntutan perkembangan
kebijakan kehutanan di tingkat global, dan 3 tuntutan petani yang menuntut akses terhadap sumberdaya hutan Simon, 2004.
Kepentingan produksi perusahaan pemegang HPH melibatkan petani dalam pengelolaan hutan sebagai tenaga kerja. Belanda melibatkan penduduk di
sekitar hutan sebagai penebang kayu pada masa VOC. Blandongdienstein , dinas penebangan kayu yang didirikan Belanda, mengikis kekuasaan hak ulayat
penduduk asli. Belanda memanfaatkan kekuasaan Sultan dan Raja -raja untuk mendapatkan hak penebangan hutan. Penduduk sekitar hutan sebagian kecil, yang
memilihi keterampilan menebang kayu, menjadi blandhong penebang kayu yang dibayar dan sebagian besar menjadi pembuat kayu bakar dengan penghasilan
kecil. Perhutani merupakan perusahaan pemegang HPH di Jawa. Simon 2004
mengungkapkan bahwa pada awalnya Perhutani berupa jawatan yang masih lebih mementingkan upaya pelestarian hutan dari pada peningkatan pendapatan negara
melalui hutan. Perubahan Perhutani menjadi Perusahaan Umum Perum, kemudian Perseroan Terbatas PT merupakan upaya optimalisasi peran Perhutani
dalam eksploitasi hutan Jawa. Perubahan bentuk Perhutani dari PT menjadi Perum kembali dianggap sebagai suatu titik tolak perubahan setting konsep dan program
pengelolaan hutan yang berbasis pada kepentingan masyarakat Http:www
.kompas.com diakses pada 3 Februari 2005
Perusahaan Negara Perhutani dibentuk untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan seperti 1 memupuk keuntungan sebesar-besarnya untuk keuntungan
negara, 2 menciptakan lapangan pekerjaan dan 3 perlindungan lingkungan hidup Simon, 2004. Lapangan pekerjaan yang disediakan Perhutani tidak lepas
dari tujuan pertama dan ketiga, penduduk sekitar hutan dalam penebangan dan penanaman kembali. Keterlibatan mereka sebagai pekerja di kegiatan perhutanan
kembali. Kegiatan tersebut terdapat dalam dua bentuk, cemplongan di mana penduduk desa mendapatkan upah harian untuk penanaman pohon atau tumpang
sari sebagai bentuk dari taungya di mana penduduk desa dapat menanam tanaman pangan di lahan hutan selama dua tahun penanaman dan berkewajiban untuk
menanam dan menjaga tanaman bibit Seymour dan Rutherford, 1994. Perubahan besar terjadi setelah tahun 1978 kongres kehutanan Dunia VIII
dengan tema forest for people memaksa Perhutani melakukan perubahan. Meskipun dalam pelaksanaannya, belum sepenuhnya menempatkan pengelolaan
hutan pada masyarakat, namun yang menjadi titik tolak adalah perubahan di aras global menekan perubahan di tingkat manajemen nasional. Kebijakan perhutanan
sosial merupakan tanggapan atas hasil Kongres Kehutanan Dunia tersebut. PHBM lahir tahun 2001 sebagai penyempurnaan program kehutanan sosial
dan PMDH Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Simon, 2004. PHBM dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian
hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan. Semangat ini digambarkan dalam slogan PHBM “hutan lestari, masyarakat sejahtera”.
PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sejak pemetaan wilayah hutan yang akan menjadi wilayah kelola sampai dengan
cara penanaman dan tanaman yang akan ditanam. Pada tahap awal PHBM merupakan kesepakatan antara Perhutani dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Kuningan. Wujud kesepakatan antara Perhutani-Pemda adalah Nota Kesepahaman ditandatangani. Setelah Nota Kesepahaman ditandatangani proses internalisasi
PHBM dilakukan. Proses tersebut meliputi sosialisasi hak dan kewajiban, pembentukan KTH Kelompok Tani Hutan dan Forum PHBM, penetapan
pemetaan partisipatif, penggalian potensi, perencanaan pengelolaan, NPK Nota Perjanjian Kerjasama, dan Perdes Peraturan Desa.
Peran LSM ada dalam setiap tahapan internalisasi PHBM
11
. LSM berperan memberikan kontrol pada kesepakatan yang dibuat oleh Perhutani dan pemerintah
daerah. LSM merupakan bagian yang diikutsertakan secara formal dalam pelaksanaan PHBM Pokok-pokok Pengelolaan PHBM, 2001. LSM tersebut ada
yang bergerak di aras hubungan pemerintah dan Perhutani dan ada yang bergerak di aras masyarakat desa. LSM yang bergerak di aras masyarakat desa membuat
rencana kerja sebagai penyeimbang langkah internalisasi PHBM oleh pemerintah dan Perhutani dan pendampingan pelaksanaan PHBM di desa hutan
12
. PHBM merupakan kelembagaan yang membuka peluang akses
sumberdaya hutan pada masyarakat di sekitar hutan. PHBM membuka peluang bagi desa-desa di sekitar hutan di Kuningan untuk mendapatkan akses yang lebih
besar terhadap sumberdaya hutan. Bagi hasil dilakukan setiap siklus tanaman utama yaitu 20 tahun untuk pinus dan 35 tahun untuk kayu jati.
Kontrak PHBM tersebut membuat PHBM di Kuningan dinilai berhasil oleh LSM yang melakukan pendampingan di Kuningan
13
. Keberhasilan PHBM dilihat dari kontrak yang menjamin akses masyarakat desa sekitar hutan terhadap
sumberdaya hutan, dukungan dana dari pemerintah daerah
14
. Keberhasilan juga ditunjukan dengan penambahan luasan desa yang ikut serta dalam program
PHBM. Namun, Gunawan 2001 menunjukkan bahwa kemiskinan masih mendominasi desa-desa di sekitar kawasan hutan. Akses sumberdaya hutan
melalui PHBM belum memberikan keberlanjutan nafkah bagi masyarakat desa di sekitar hutan.
Perkembangan paradigma pengelolaan hutan oleh pemerintah mempengaruhi pola hubungan antara masyarakat dengan hutan. Peraturan mentri
Kehutanan No. P.01Menhut-II2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dalam rangka sosial forestry memandang
masyarakat setempat sebagai masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar
11
LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan adalah LSM LATIN, LSM KANOPI, Visita, Akar, Kompepar, dan Komar Cs.
12
Rencana kerja LSM KANOPI merupakan contoh untuk menunjukkan peranan LSM dalam pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan.
13
Hasil Wawancara dengan Arif Aliadi, Anggota LSM LATIN Lembaga Alam Tropika, LSM yang melakukan pendampingan pelaksanaan PHBM di Kuningan, Rabu, 20 September 2004
14
Pemerintah Daerah Kuningan memberikan dana sebesar Rp. 200 juta pada tahun 2001 dan kemudian pada tahun 2002 ditambah menjadi Rp 500 juta bagi pelaksanaan program PHBM
hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal
serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan Pasal 1.
Perkembangan paradigma pengelolaan hutan pemerintah penting artinya bagi strategi nafkah rumahtangga di desa sekitar kawasan hutan. Pengelolaan
hutan melibatkan masyarakat desa di sekitar hutan yang berhubungan langsung dengan hutan, pemerintah yang secara legal formal menguasai wilayah hutan, dan
Perhutani yang memiliki hak kelola hutan. Pemerintah Daerah Kuningan tidak sejalan dengan Perhutani karena Perhutani dianggap tidak memberikan
sumbangan pada pendapatan daerah Wahyu, 2002. Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian pada bidang agraria yang menunjukkan hubungan erat antara
pihak pengusaha dengan pemerintah
15
. Pemerintah daerah memberi dukungan pada masyarakat desa di sekitar hutan dalam program PHBM dalam bentuk dana,
dukungan yang tidak lepas dari peran LSM yang mendampingi masyarakat desa di sekitar hutan.
Secara legal formal, PHBM merupakan suatu kebijakan yang pada intinya mengakui wilayah desa atas wilayah hutan Perhutani. Hutan Perhutani yang
masuk ke dalam wilayah suatu desa akan menjadi wilayah bersama atau disebut hutan pangkuan desa atau wewengkon. Arti dari wilayah bersama adalah hutan
akan dikelola bersama dengan masyarakat jika di wila yah hutan Perhutani terdapat masyarakat dan masyarakat mau mengelola. PHBM pada prinsipnya
mendudukkan Perhutani dan masyarakat lokal sebagai pihak yang sama-sama memiliki hak akses sumberdaya hutan.
Peranan LSM LATIN dan LSM KANOPI di Kuningan adalah membentuk kelembagaan yang dapat menjamin posisi tawar masyarakat desa di sekitar hutan
terhadap Perhutani. LSM LATIN mendorong agar Juklak Petunjuk Pelaksanaan dan Juknis Petunjuk teknis PHBM tidak ditentukan sepihak oleh Perhutani dan
15
Program PIR -Bun PIR Perkebunan yang dipilih sebagai jalur reforma agraria oleh pemerintah orde baru umumnya lebih menguntungkan pihak perkebunan daripada petani Sitorus, 2004.
Beberapa perlawanan petani seperti perlawanan petani Jenggawah Hafid, 2001, perlawanan petani Lampung Kusworo, 2000 atau kasus tanah pertambangan antara masyarakat dengan
PT. Freeport di Irian Jaya Munggoro et. al., 1999 semuanya menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pihak pemilik modal
memberikan kesempatan bagi LSM di Kuningan bersama masyarakat menentukan bentuk kerjasama dalam PHBM.
Interaksi antara pemerintah, Perhutani dan masyarakat yang dimediasi oleh LSM menentukan bentuk akses masyarakat desa di sekitar hutan pada
sumberdaya hutan. Akses masyarakat desa di sekitar hutan akan besar jika masyarakat desa di sekitar hutan memiliki kekuatan yang mendorong interaksi
antara Perhutani, pemerintah dan masyarakat desa di sekitar hutan pada posisi yang menguntungkan maay desa di sekitar hutan. Kondisi sebaliknya terjadi jika
pemerintah atau Perhutani lebih memperhatikan kepentingan produksi atau pendapatan dengan menekan akses masyarakat desa di sekitar hutan terhadap
sumberdaya hutan.
2.3 Strategi Nafkah Rumahtangga