Strategi “Integrasi”: Rumahtangga Bu Et

mereka sendiri “melihat anak hidup enak pun sudah terasa enak”, begitu ungkapan Bi En. Investasi modal sosial disebut sebagai investasi karena hubungan baik merupakan sumber pendapatan sosial, barang dan uang yang terus -menerus bagi rumahtangga. Bi En membangun hubungan baik dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam peranannya sebagai “tuan rumah kepala desa”, tetangga dan saudara. Membangun maupun menggunakan modal sosial merupakan aktivitas nafkah yang dianggap sebagai suatu kebiasaan dan keharusan. Perempuan anggota rumahtangga melakukan peranan sebagai pembangun modal sosial. “Investasi” bagi perempuan lebih banyak untuk keamanan sosial, misalnya Ceu Mm yang lebih suka jika Pak Kd tidak jadi kepala desa atau kepatuhannya untuk tidak mengikuti sekolah PGSD yang sangat diinginkannya karena tidak disukai Pak Kd. Laki-laki anggota rumahtangga berperan sebagai pembangun aset untuk mendapatkan kesejahteraan material, misalnya, Pak Dm memelihara kerbau yang menjadi “investasi” terbesar rumahtangga Bi En dan Pak Kd mendapatkan lahan bengkok, mengupayakan legalisasi lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet. Strategi nafkah “investasi” seperti yang dilakukan rumahtangga Bi En merupakan pola umum investasi yang dilakukan rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar. Hubungan baik dan modal alami berupa pembukaan lahan garapan, tanah milik atau hewan ternak merupakan pilihan untuk menjaga keamanan ekonomi rumahtangga di masa yang akan datang yang diartikan sebagai keterjaminan pangan dan perumahan dan pemeliharaan status sosial dalam masyarakat.

6.1.4 Strategi “Integrasi”: Rumahtangga Bu Et

Mempertahankan diri untuk dapat tetap hidup bersama dalam komunitas Desa Padabeunghar merupakan salah satu strategi nafkah yang dilakukan penduduk Desa Padabeunghar. Komunitas memberikan dukungan melalui ikatan- ikatan sosial dan kelembagaan sosial yang tidak diperoleh jika rumahtangga tidak termasuk anggota komunitas Desa Padabeunghar. Inti dari strategi nafkah integrasi adalah “keeping together” usaha untuk tetap bersama-sama dalam komunitas. Modal sosial merupakan alasan utama rumahtangga melakukan strategi “integrasi”. Keuntungan berupa barang atau uang yang diberikan oleh modal sosial di Desa Padabeunghar tidak selalu lebih banyak dari pada keuntungan yang dapat diperoleh di daerah lain. Ikatan persaudaraan mengikat warga Desa Padabeunghar untuk tetap menjadi anggota komunitas melebihi perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan pendapatan barang atau uang. Rumahtangga Bu Et merupakan salah satu rumahtangga yang menggunakan strategi “integrasi”. Bu Et, 35 tahun, menikah dengan Pak Kp dan memiliki dua orang anak, Lilis, 17 tahun, dan RS, 8 tahun. Struktur rumah tangga Bu Et dapat diamati pada gambar berikut: Bu Et ditingg alkan ibu sejak masih sekolah SD . Setamat SD Bu Et mengikuti kakak tirinya ke Jakarta. A yah Bu Et menikah dua kali, dari istri pertama mendapatkan dua orang anak dan dari ibu Bu Et mendapatkan tujuh orang anak. Kakak tiri Bu Et menikah dengan orang Desa Padabeunghar yang bekerja sebagai penjual roti keliling di Jakarta. Kakak tiri Bu Et sudah memiliki rumah di Jakarta yang diwariskan oleh istri pertama suaminya. Bu Et bekerja di pabrik kerupuk di Jakarta. Bu Et bertahan beberapa bulan bekerja di pabrik kerupuk. Kemudian, Bu Et bekerja sebagai pembantu di warung nasi. Gaji Bu Et di warung nasi Rp. 20.000, - pada tahun 1986. Bu Et bertemu dengan Pak Kp tahun 1987. Suami Bu Et adalah orang Lampung yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang servis radio dan televisi. Bu Et diajak ke Lampung setelah menikah. Bu Et merasa sangat tidak betah di Lampung. Hidup Bu Et di Lampung sebenarnya enak. Pak Kp memiliki kebun kopi seluas 1 Ha dan membuka bengkel servis radio dan TV di rumah. Pak Kp membuka warung di rumah untuk Bu Et agar Bu Et betah di Lampung. Warung tersebut menjual makanan ringan, mie rebus dan bakso. Bu Et hanya bertahan di Lampung sampai tahun 1992. Bu Et memaksa untuk pulang ke Desa Padabeunghar. Bahkan, Bu Et tidak peduli dengan rumah dan perabotan yang mereka miliki di Lampung. Keluarga suami Bu Et mengurus penjualan rumah dan perabotan dan mengirimkan uang hasil penjualan pada Bu Et. Hasil penjualan rumah itu digunakan untuk membangun rumah di Desa Padabeunghar di atas tanah warisan dari ayah Bu Et. Bu Et tidak memiliki sawah. Pak Kp bekerja sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa Padabeunghar, sehingga mendapatkan sawah bengkok. Sawah bengkok pak Kp disewakan kepada orang lain. Sawah tersebut disewakan karena Pak Kp tidak dapat mencurahkan waktunya 100 untuk bertani sedangkan bertani “nyawah” harus dikerjakan dengan sepenuh waktu. Sawah disewakan selama dua tahun atau enam PP BET LS RS pagasan, satu pagasan Rp. 250.000, - sehingga uang yang diperoleh Bu Et adalah Rp 1.500.000, -. Uang ter sebut telah habis digunakan untuk biaya sekolah Lilis dan belanja kebutuhan warung Bu Et juga tidak memiliki kebon. Suami Bu Et menggarap lahan di Kiara dengan alasan “tamba nganggur” -----dari pada menganggur. Tanaman di Kiara baru menghasilkan empat tandan pisang. Pohon buah- buahan seperti durian, melinjo baru mulai ditanam. Karena tidak memiliki sawah, kebutuhan beras, sayur, dan bumbu-bumbu sehari- hari dipenuhi dengan membeli. Terkadang ada juga tetangga yang mengirim sayuran dari sawah, namun itu tidak dapat diandalkan karena tidak tetap atau tidak dapat ditentukan jumlah dan jenis makanan yang akan diterima. Bu Et membuka warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Warung yang berukuran 3x5 m tersebut menyediakan buah- buahan, minuman ringan, kopi, mak anan ringan dan mie rebus. Barang-barang yang dijual di warungnya dibeli dari warung di Pasawahan. Belanja biasa dilakukan suami Bu Et dengan menggunakan motor. Belanja dengan menggunakan motor dapat menekan biaya ongkos. Bu Et mengaku berjualan untuk mengisi waktu dan menambah penghasilan rumahtangga. Pendapatan dari berjualan tidak besar. Jika hari ramai atau sedang ada yang berkemah, hari sabtu dan minggu atau hari libur, ia bisa mendapatkan uang sampai Rp. 100.000,-, namun jika hari- hari biasa ia hanya mendapat Rp. 20.000, - sehari. Uang dari hasil berjualan merupakan pendapatan yang ada setiap hari di rumah Bu Et. Warungnya Bu Et sudah empat kali kecurian. Warung tersebut baru dibuka tahun 2004 awal. pencurian pertama kali terjadi sehari setelah lebaran haji tahun 2005. Bu Et kebetulan baru belanja kebutuhan warung yang habis sebesar Rp. 700.000,-. Semua isi warung habis diangkut oleh pencuri. Setelah itu setiap pulang ke rumah Bu Et mengambil semua barang dagangannya. Pencurian berikutnya Bu Et kehilangan dua kerat minuman ringan, tipe kecil dan modem serta terakhir beberapa dus makanan ringan. Setiap hari sebelum pergi ke warung Bu Et harus memasak dan membersihkan rumah. Anak pertama, Lilis, 17 tahun, perempuan, kelas 3 SMEA, tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Menurut Bu Et pendapat orang bayak bahwa memiliki anak terbesar perempuan itu enak, tidak benar. Lilis tidak dapat diandalkan untuk membantu pekerjaan rumahtangga. Berbeda dengan Bu Et, sewaktu kecil Bu Et terbiasa menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Ibu Bu Et meninggal setelah melahirkan anak ke-7, sedangkan Bu Et sebagai anak ke-5 harus mampu membantu ayahnya membereskan rumah dan mengasuh adik -adik. Pekerjaan rumahtangga tidak hanya dikerjakan di rumah sendiri, Bu Et sering membantu uak kakak dari bapak Bu Et sekedar agar tidak malu untuk main atau menumpang makan. Selain tidak dapat diandalkan untuk pekerjaan rumahtangga, Lilis juga membutuhkan banyak uang untuk menyelesaikan sekolah. Melanjutkan sekolah merupakan keinginan Lilis. Keinginan tersebut didukung oleh Bu Et dan suami. Namun, Bu Et merasa beban biaya sekolah anaknya sangat besar. Bu Et harus mengeluarkan uang ongkos Rp 6.000,- setiap hari ditambah uang buku dan SPP sebesar Rp. 33.000,- per bulan. Uang buku dirasa sangat menekan keuangan rumah tangga. Minggu kemarin Bu Et baru mengeluarkan uang Rp. 125.000,- untuk membeli buku pelajaran. Bahkan setiap kenaikan kelas tidak kurang dari Rp. 300.000,- dibutuhkan Bu Et untuk memenuhi kebutuhan buku Lilis. Selain kebutuhan buku, Lilis juga sering meminta uang untuk membeli bedak atau handbody lotion. Untuk kebutuhan ini Lilis akan meminta pada bapaknya nbukan pada Bu Et. Bu Et menyisihkan sisa uang belanja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan sekolah Lilis. Misalnya, jika Bu Et mendapatkan uang Rp. 20.000, - , belanja kebutuhan warung Rp.10.000,-, kebutuhan sekolah anak dan makan Rp. 8000,- Bu Et akan menyimpan Rp. 2000, - . Simpanan Bu Et akan menjadi lebih besar jika bapak berbelanja kebutuhan warung tanpa mem inta uang belanja dari Bu Et. Tabungan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah Lilis dan RS. Bu Et tidak memiliki tabungan untuk sekolah anak kedua. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau kebutuhan hidup Bu Et sering meminjam pada sauda ra. Jumlah pinjaman tidak besar, kadang hanya Rp. 5.000, - dan segera dikembalikan begitu ada uang. Bagi Bu Et mengembalikan pinjaman itu penting, jika tidak ia akan sulit menemukan sumber pijaman lagi. Bu Et tidak mengikuti arisan beras, minyak atau semen karena takut tidak mampu membayar. Rencananya Bu Et akan mengikuti arisan beras dan minyak jika anak pertamanya sudah lulus sekolah, mungkin nanti pengeluaran rumahtangga sudah berkurang dan sekaligus untuk mempersiapkan pernikahan Lilis. Bu Et hanya mengikuti arisan uang sebesar Rp. 10.000, - per orang. Arisan tersebut dilaksanakan di Blok Cidulang, tempat tinggal Bu Et. Arisan dilaksanakan setiap minggu sekali. Penarikan dilakukan di rumah penduduk, hanya kocokan tanpa acara makan-makan. Bu Et selalu menyempatkan untuk ikut menegok tetangga yang sakit, babantu di yang hajatan atau membuat rumah. Babantu atau ngobeng bisa dilakukan oleh Pak Kp, namun jika Pak Kp sedang ada keperluan di balai desa, Bu Et akan memberikan uang Rp 10.000,- atau Rp. 15.000, - atau rokok Djarum Coklat tiga bungkus pada orang yang sedang membangun rumah. Babantu atau ngobeng penting dilakukan karena Bu Et merasa malu jika tidak datang dan Bu Et merasakan manfaat babantu atau ngobeng pada saat Bu Et memperbaiki rumah, Bu Et hanya perlu mempersiapkan batu bata, genteng, semen dan ongkos untuk tukang selebihnya dikerjakan oleh yang babantu. Strategi “integrasi” menunjukkan peranan komunitas dalam nafkah rumahtangga. Pada satu titik kesejahteraan materi dikorbankan agar dapat bersama -sama dalam komunitas. Ini pula yang menjelaskan banyaknya pengeluaran rumahtangga untuk kepentingan membangun ikatan sosial meskipun mengurangi alokasi pendapatan rumahtangga untuk “investasi” dengan mengembangkan usaha pertanian, baik “investasi” dalam bentuk tenaga maupun “investasi” dalam bentuk dana uang. Rumahtangga di Desa Padabeunghar menghabiskan banyak alokasi tenaga kerja dan dana untuk membangun ikatan sosial. “Integrasi” mengorbankan peluang kehidupan yang lebih baik di luar Desa Padabeunghar. Kehidupan di Desa Padabeunghar tidak selalu lebih baik. Misalnya, Bu Et memilih meninggalkan kehidupan di lampung yang telah mapan untuk dapat tinggal di Desa Padabeunghar. Di Lampung, Bu Et memiliki warung yang lebih besar dan lengkap, memiliki bengkel reparasi radio dan TV, kebun kopi milik sendiri dan saudara-saudara Pak Kp yang mengelola kebun kopi. Di Desa Padabeunghar, Bu Et membuka warung kecil yang dalam satu tahun telah empat kali dimasuki pencuri, tidak memiliki sawah atau kebon milik sendiri, tidak dapat membuka bengkel karena tidak banyak pelanggan dan sulit menentukan harga serta saudara yang hanya dapat diandalkan untuk pinjaman-pinjaman kecil. Bu Et juga bukan penduduk Desa Padabeunghar yang secara aktif melestarikan kelembagaan sosial yang ada di Desa Padabeunghar. Bu Et berdagang di warung dari pagi hingga sore setiap hari. Bu Et menghabiskan waktu di rumah sebelum pergi ke warung dengan membersihkan rumah dan memasak. Bu Et tidak mengikuti arisan beras, perabotan, pengajian, hadir dalam b abantu atau ngobeng . Bu Et mewakilkan kehadiran babantu pada Pak Kp atau pada uang dan rokok. Bu Et memilih untuk tetap tinggal di Desa Padabeunghar dan peluang memperoleh pendapatan yang lebih banyak di desa lain karena Desa Padabeunghar merupakan tempat kelahiran Bu Et dan tempat saudara -saudara Bu Et tinggal. Keinginan untuk menjadi anggota komunitas dan bersama-sama dengan komunitas lain merupakan tujuan utama strategi nafkah rumahtangga Bu Et.

6.1.5 Strategi “Asuransi”: Rumahtangga Ma Um

Dokumen yang terkait

Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

2 38 114

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 12

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 3

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Analisis gender pada kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Kasus rumahtangga peserta PHBM, Desa Lolong, Jawa Tengah)

1 16 172

Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

2 35 364

Pengetahuan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): kasus di Desa Bojong Koneng dan Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat

0 11 70

Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

1 16 141

Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

4 28 104

Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

2 21 89