Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am

melakukan penggarapan lahan hutan sebagai strategi mengatasi kekurangan lahan milik pribadi. PHBM merancang strategi nafkah yang menekankan pada pengelolaan lahan hutan untuk mengatasi keterbatasan lahan dan kekurangan pendapatan rumahtangga. Strategi nafkah “ekstensifikasi” mencerminkan desakan nafkah karena kekurangan lahan dan pendapatan pada lahan di luar lahan milik termasuk lahan hutan Perhutani. Namun, strategi nafkah yang terbentuk tidak persis sama dengan sistem nafkah yang dirancang oleh PHBM dalam hal pemilihan lahan garapan, pola tanam, dan tanaman yang ditanam. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “ekstensifikasi” pun mengalami pergeseran pilihan strategi nafkah pada anggota rumahtangga usia anak. Merantau sebagai pekerja bangunan menjadi pilihan pekerjaan anggota rumahtangga dalam kelas usia anak. Aliran remittance merupakan salah satu sumber pendapatan berupa uang. Merantau dilakukan anak untuk membangun rumah dan mempersiapkan kehidupan terpisah dari rumah orang tua. Aliran remittance diiringi dengan pengurangan tenaga kerja rumahtangga untuk menggarap lahan. Rumahtangga Pak Suh menunjukkan strategi nafkah “ekstensifikasi” membangun pengamanan konsumsi bagi anggota rumahtangga yang merantau. Anak yang merantau meninggalkan istri dan anak di rumah orang tua. Kebutuhan konsumsi dipenuhi dari orang tua yang melakukan penggarapan lahan dan penggarapan lahan yang dilakukan anak saat tidak ada pekerjaan di pera ntauan. Ini menunjukkan pergeseran desakan nafkah pada pekerjaan sebagai pekerja bangunan mengurangi tenaga kerja yang secara aktif menggarap lahan namun tidak mengurangi kebutuhan pendapatan dari penggarapan lahan.

6.1.2 Strategi “Orientasi”: Rumahtangga Wa Am

Strategi nafkah “orientasi” menunjukkan orientasi pengelolaan sawah sebagai modal alami yang menjadi lahan yang paling diinginkan untuk digarap atau dimiliki. Bagi rumahtangga yang menggunakan modal alami sebagai sumber nafkah utama, memiliki sawah merupakan cita-cita utama. Rumahtangga yang menggunakan strategi nafkah “orientasi” memilih nelakukan aktivitas nafkah yang membuat rumahtangga dapat menggarap atau memiliki sawah. Strategi nafkah “orientasi” ini mendudukkan pembukaan lahan garapa n di lahan hutan Perhutani sebagai pilihan di saat tidak memiliki akses pada sawah dan dilakukan untuk mendapatkan akses pada sawah. Rumahtangga Wa Am merupakan contoh rumahtangga yang memilih sawah sebagai orientasi utama aktivitas nafkah rumahtangga. Wa Am dikenal sebagai penggarap lahan hutan Perhutani yang berhasil di Desa Padabeunghar. Wa Am menghentikan penggarapan lahan hutan Perhutani setelah berhasil menyewa sawah. Strategi nafkah “orientasi” dapat diamati dari kasus strategi nafkah rumahtangga Wa Am di bawah ini. Wa Am, 60 tahun, adalah petani penggarap hutan yang sampai sekarang masih memiliki kelompok kerja hutan yang disebut kelompok Bakti. Am sebenarnya nama anak, sedangkan namanya sendiri adalah Warta namun masyarakat biasa memanggilnya Wa Am. Wa Am memiliki lima orang anak, tiga diantaranya meninggal dunia saat masih kecil. Sekarang anak tertua Wa Am, Am dan istri, menempati bagian depan rumah Wa Am. Wa Am sengaja hanya menempati bagian rumah yang dulunya dapur untuk memberi kesempatan bagi anaknya untuk menempati rumah Wa Am. Wa Am berpendapat ia sudah tua sudah cukup baginya satu kamar, dapur dan satu ruangan kecil untuk ruang tamu. Anaknya yang lain, Mistara, menikah dengan Bu Ade. Mereka menempati rumah yang dibangunkan Wa Am di pekarangan kosong di belakang rumah mereka. Struktur rumahtangga Wa Am dapat diamati pada gambar berikut: Wa Am membentuk kelompok kontak tani Bakti sejak masih masa tumpang sari atau sekitar 13 tahun yang lalu. Kelompok yang terdiri dari delapan orang petani itu secara bergiliran mengolah lahan garapan di hutan. Mereka secara bergiliran membabat rumput, menanam pohon dan menanam pisang. Mereka bekerja bergiliran dua hari di setiap lahan garapan anggota. Selama bekerja, mereka menyimpan uang Rp 1000,- per minggu per orang. Hasil patungan tersebut kemudian digunakan untuk menyewa sawah 0,25 bau di Blok Pari selama delapan pagasan sebesar Rp. 1.000.000,-. Anggota kelompok Bakti mengolah sawah itu secara bersama-sama. Mereka hanya mengambil hasil panen seperti bagian seseorang petani nyeblok hanya diambil bagian bawon. Sedangkan keperluan konsumsi selama bekerja dibawa dari rumah masing- masing. Hasil panen dijual dan digunakan untuk menyewa tanah bengkok kepala desa satu bau. Dengan cara yang sama sekarang mereka memiliki tanah sewaan sebanyak Wa Am Bu Mar Amsari Mistara Bu Amsari Bu Ade 3,25 bau. Dari keseluruhan lahan sewaan, satu bau belum digarap karena belum memasuki masa tanam yang dijanjikan. Cara Wa Am dapat dianggap nyeblok yang dilakukan di tanah milik sendiri. Namun tidak semua anggota kelompok Bakti dapat bertahan. Dua orang anggota kelompok keluar dari kelompok. Mereka memilih untuk menyewa tanah sendiri dan mengelola terpisah dari kelompok Bakti. Sekarang mereka menyewa dan mengelola dua bau tanah. Wa Am memiliki tanah 0,25 bau, namun sawahnya ini tidak mendapatkan cukup banyak sinar matahari sehingga hasil padi tidak bagus. Satu musim panen paling banyak menghasilkan lima kuintal gabah, bahkan terkadang hanya 3 kuintal gabah kering. Wa Am juga memiliki satu tempat kebon yang ditanami melinjo dan kapundung. Setiap tahunnya mereka menjual melinjo dan kapundung kepada pedagang pengumpul. Wa Am tidak ikut serta dalam PHBM. Ia sudah cukup repot mengolah sawah. Sekarang Wa Am lebih memusatkan perhatian pada sawah sewaan. Lahan garapan Wa Am di hutan Perhutani digarap oleh Amsari, anak pertama Wa Am yang sudah lama tidak pergi merantau. Amsari pula yang mengolah tanah pribadi Wa Am. Di tanah yang sama, Bu Ade, istri anak kedua Wa Am ikut nyeblok. Wa Am menganggap mena nam pisang di hutan lebih menguntungkan dari pada menggarap sawah. Namun Wa Am lebih memilih untuk menggarap sawah karena sawah membutuhkan pengelolaan yang terus menerus. Lahan sawah sewaan yang terus bertambah membutuhkan perhatian Wa Am. Wa Am tidak memaksa anak-anaknya untuk menggarap lahan hutan atau sawah. Wa Am mengakui hasil mengelola sawah tidak banyak, tidak dapat dibandingkan dengan merantau. Wa Am dan teman-temannya hanya mendapatkan Rp 2.000.000, - dari 2,25 bau tanah garapannya selama satu musim tanam atau dua kali dalam setahun. Sedangkan Amsari, anak Wa Am dapat memperoleh Rp. 2.000.000, - jika bekerja tiga bulan di Jakarta. Menyewa sawah merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh rumahtangga yang tidak memiliki sawah dan menginginkan tambahan sawah. Menyewa sawah membutuhkan uang dalam jumlah banyak. Uang Rp. 1.000.000,- diperlukan untuk menyewa 0,23 bau sawah selama delapan pagasan . Uang sejumlah itu hanya dapat diperoleh jika rumahtangga menabung. Rumahtangga Wa Am tidak mengalokasikan dana untuk pembangunan rumah, mengurangi biaya pewarisan dengan membagi rumah tinggal dengan anak, dan mengambil hasil sawah hanya sebatas kebutuhan konsumsi. Pengurangan biaya hidup menyebabkan Wa Am dapat mengalokasikan dana dan membangun tabungan untuk menambah luas sawah sewa. Mengalokasikan pendapatan dari sawah untuk menyewa sawah lain membutuhkan sumber pendapatan pendukung untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Wa Am menggunakan lahan garapan hutan Perhutani sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga agar dapat menabung untuk menyewa sawah. Ini menunjukkan lahan hutan merupakan sumber nafkah pendukung yang akan ditinggalkan jika tujuan nafkah telah tercapai. Strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga Wa Am tidak dilakukan oleh setiap rumahtangga penggarap lahan hutan atau lahan kebun karet. Rumahtangga Pak Suh memilih mengalokasikan pendapatan untuk menyekolahkan anak dan memperbaiki rumah. Bagi rumahtangga Pak Suh penggarapan lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet merupakan sarana produksi yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Bagi rumahtangga Wa Am penggarapan lahan hutan dan lahan kebun karet merupakan jalan untuk dapat menggarap sawah.

5.1.3 Strategi “Investasi”: Rumahtangga Bi En

Dokumen yang terkait

Bentuk Kearifan Lokal Terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Di Sekitar Tahura Bukit Barisan (Studi Kasus Di Desa Kuta Rakyat, Desa Dolat Rakyat, Desa Jaranguda, Dan Desa Tanjung Barus, Kabupaten Karo)

2 38 114

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 12

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN

0 4 3

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Analisis gender pada kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat (Kasus rumahtangga peserta PHBM, Desa Lolong, Jawa Tengah)

1 16 172

Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

2 35 364

Pengetahuan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): kasus di Desa Bojong Koneng dan Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat

0 11 70

Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

1 16 141

Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

4 28 104

Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

2 21 89