Model Behaviorist Pembelajaran Bahasa

commit to user 19 Dalam kajian psikolinguistik, berkembang beberapa teori tentang hakikat bahasa yang menjadi dasar berkembangnya konsepsi proses pembelajaran bahasa. Larsen-Freeman dan Long 1991: 220-229, Goh dan Silver 2004: 17-24, dan Brown 2007: 24-49 menyebutkan adanya tiga teori utama tentang hakekat bahasa dalam konsepsi approach. Ketiga model tersebut adalah behaviorist, nativist dan interactionist. Brown 2007: 33 menggunakan istilah functional approah untuk merujuk model yang terakhir.

a. Model Behaviorist

Teori behaviorist meyakini bahwa hakikat bahasa adalah “... a subset of learned behavior” Goh dan Silver 2004: 17 yaitu sebagai bagian dari perilaku yang terbentuk dari proses pembelajaran. Pendapat ini menganggap bahwa kemampuan berbahasa adalah sebagai bagian dari kebiasaan manusia sebagai hasil dari suatu proses pembelajaran. Konsep ini tercermin dalam model pembelajaran yang dikembangkan yang pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengembangkan suatu kebiasaan baru. Kebiasaan ini dapat dibangun melalui serangkaian operasi pemberian model, menciptakan kondisi agar pembelajar memperhatikan, menirukan, berlatih dan akhirnya mempraktikkan kebiasaan tersebut. Mekanisme yang diciptakan memberi penekanan pada pengulangan dalam proses pembelajaran sampai pembelajar menguasai bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan kaidah. Hakikat pengulangan yang berfokus pada bentuk bahasa ini diyakini sebagai mekanisme efektif untuk menanamkan kebiasaan atau habit formation dalam berbahasa yang baru dipelajari. Model pembelajaran menurut teori behaviorist bersifat umum dan dapat diterapkan pada setiap konteks. Dipercaya bahwa semua proses pembelajaran terjadi commit to user 20 melalui prosedur dan mekanisme yang sama. Hal ini dinyatakan Goh dan Silver 2004: 32 “Language learning, like other learning, is learned through imitation, practice, reinforcementfeedback and habit formation following a stimulus–respond model”. Teori ini menganggap semua bentuk pembelajaran berlangsung melalui kegiatan menirukan, berlatih dan mendapatkan masukan atau penguatan untuk membangun kebiasaan baru berbasis pola stimulus-respon. Tujuan penerapan mekanisme ini adalah untuk membangun hubungan bond antara stimulus dan respon sehingga terjadi otomatisasi yang dianggap penting dalam proses pemakaian bahasa. Teori behaviorist membatasi pembahasan pada hal-hal yang dapat diamati observable phenomena yang lebih mementingkan aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati. Prinsip tersebut dinyatakan Larsen-Freeman dan Long 1991: 227 bahwa “learning was seen as behaviour change through habit formation conditioned by the presense of stimuli and strengthened through practices and selected reinforcement”. Kutipan tersebut menyebutkan bahwa indikator terjadinya pembelajaran adalah adanya perubahan perilaku dalam diri pembelajar melalui mekanisme pananaman kebiasaan yang disebut habit formation. Proses ini akan berjalan dengan baik jika pembelajar diberi rangsangan untuk direspon dan diperkuat melalui serangkaian latihan dan penguatan. Dinyatakan bahwa anak telah mengalami pembelajaran jika terjadi perubahan perilaku berbahasa setelah anak mengikuti kegitan pembelajaran dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya. Berdasarkan mekanisme di atas, Larsen-Freeman dan Long 1991: 227 merumuskan bahwa efektifitas proses pembelajaran sebagai “learning is held to consist of the strengthening and weakening of connections in complex neural network as a function of the frequency of stimuli in the input,” bahwa efektifitas commit to user 21 proses belajar dapat dilihat dari tingkatan penguatan dan pelemahan hubungan yang terjalin dalam jaringan otak sebagai hasil dari tingkat frekuensi stimulus yang diberikan dalam input. Semakin tinggi frekuensi input semakin kuat hubungan yang terjalin jaringan otak. Demikian pula sebaliknya. Dalam proses pembelajaran, model behaviorist ini meyakini bahwa peran lingkungan sangat penting. Larsen-Freeman dan Long 1991: 249 menyebutkan “ an organism’s nurture, or experience, are of more importance to development than its nature, or innate contributions”. Menurut model ini, hakikat pembelajaran atau pengalaman yang diperoleh dari lingkungan mempunyai peran yang lebih penting dari bakat yang dimiliki anak dalam proses pembelajaran bahasa. Bahkan, anak digambarkan sebagai tabula rasa Brown, 2007: 26, yaitu kondisi yang sangat peka dalam menerima pengaruh dari lingkungan luar terdekat. Kondisi sumber input yang ada di lingkungan anak diyakini menentukan perkembangan kondisi kebahasaan anak karena lingkunganlah yang menjadi sumber stimulus yang berfungsi untuk menggerakkan respon dari anak. Peran pembelajaran, khususnya kualitas input sangat menentukan. Oleh sebab itu banyak lembaga pengajaran bahasa Inggris yang menggunakan laboratorium bahasa untuk dapat memberikan kualitas input yang baik melalui rekaman suara penutur asli yang harus ditiru oleh pembelajar. Selanjutnya, kualitas stimulus ini sangat menentukan kualitas hasil pembelajaran. Teori pembelajaran bahasa menurut behaviorist yang paling terkenal dirumuskan berdasarkan prinsip operant conditioning hasil eksperimen Skinner tahun 1957 Brown, 2007: 26-27. Goh dan Silver 2004: 17 menggambarkan teori ini sebagai “language acquisition as a form of operant conditioning directly resulting from adult modelling and reinforcement, immitation practice and habit commit to user 22 formation on the part of the child”. Artinya, pembelajaran bahasa dipandang sebagai proses operant conditioning yang merupakan akibat dari pemberian contoh dan penguatan dari orang dewasa dan kegiatan anak dalam bentuk menirukan, mempraktikkan dan mengembangkan kebiasaan. Alur ini sering digambarkan sebagai S Æ RÆ R, yaitu proses pembelajaran bermula dari adanya rangsangan atau stimulus S yang datang dari luar diri anak pembelajar. Fungsi rangsangan tersebut adalah agar anak membuat respon R yang relevan atau sesuai dengan maksud S yang diberikan. Jika respon anak benar atau sesuai dengan maksud S maka pengajar hendaknya memberikan penguatan R. Pemberian R yang tepat akan membantu anak mengembangkan sistim hubungan atau bond antara S dengan R menjadi kuat dan otomatis. Dari teori tersebut dinyatakan bahwa “... that learning is based on the processing of input, which results in...the strengthening and weaking of connection in complex neural networks as a function of the frequency of stimuli in the input” Larsen-Freeman dan Long 1991: 250. Menurut teori ini, esensi pembelajaran tertelak pada bagaimana anak mengolah input yang diperoleh yang menghasilkan penguatan atau pelemahan hubungan jejaring syaraf yang rumit sebagai akibat dari tingkat seringnya stimulus dalam input. Penerapan teori ini dalam proses pengajaran bahasa asing dapat dilihat dalam metode Audiolingual Richards, 2002. Metode pengajaran bahasa ini dirancang khusus untuk mengembangkan keterampilan berbahasa lisan sebelum mengembangkan keterampilan berbahasa tulis dengan cara mengkondisikan anak mendengarkan serangkaian ujaran yang dijadikan sebagai model yang perlu ditirukan dan dipraktikkan dalam berbahasa. Kegiatan pembelajaran ini biasanya commit to user 23 dilaksanakan di laboratorium bahasa sehingga guru dapat menggunakan rekaman ujaran penutur asli atau native speaker seagai model bahasa yang menjadi sasaran pembelajaran serta melakukan pengulangan drill model ujaran tersebut dengan intensitas yang cukup untuk membantu pembelajar mengembangkan kebiasaan baru berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang benar.

b. Model Innatist