Terjadinya ketunawismaan Pekerjaan Sosial dan Ketunawismaan
350 saat-saat mereka barangkali tinggal di rumah teman-
teman atau para kerabat. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa 14 persen orang-orang yang disurvei itu telah
menjadi tuna wisma pada suatu waktu tertentu, dan 4 persen menunjukkan bahwa mereka telah menjadi tuna
wisma pada suatu waktu selama 5 tahun terakhir. Suatu studi tindak lanjut pada tahun 1994 terhadap para
responden yang sama mendefinisikan ketunawismaan secara lebih tepat. Apabila tinggal bersama teman-teman
atau para kerabat dimasukkan, angka ketunawismaan sepanjang hidup ialah 15 persen, dan angka
ketunawismaan selama 5 tahun terakhir ialah 3,5 persen. Secara lebih eksplisit, para peneliti memperkirakan
bahwa 6,5 persen telah menjadi tuna wisma secara harfiah pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan
mereka. Dari kalangan subkelompok ini, orang-orang menjadi tuna wisma rata-rata selama 80 hari, selama
mana 66 persen menghabiskan malam di kendaraan- kendaraan pribadi dan 25 persen menghabiskan malam di
tenda-tenda, kardus-kardus, atau perumahan-perumahan sementara lainnya. Yang menggegerkan, 41 persen
dilaporkan mengalami kelaparan dan 42 persen dilaporkan diperkosa atau dirampok. Berdasarkan studi-
studi mereka, para peneliti ini memperkirakan bahwa 12 juta penduduk di Amerika Serikat pernah mengalami
ketunawismaan pada suatu waktu di dalam kehidupan mereka. Perkiraan mereka yang 18 juta ialah sesuatu
yang mengejutkan apabila tinggal bersama teman-teman atau para kerabat dimasukkan ke dalam perhitungan.
Tentu saja, ada kelemahan-kelemahan dari studi ini, termasuk landasan penarikan sampelnya dan besaran
sampel, serta fakta bahwa penelitian ini tidak memasukkan daerah-daerah perkotaan di dalam
perhitungannya. Seseorang dapat menyimpulkan secara seksama bahwa studi Biro Sensus pada tahun 1990
memperkirakan rendah tingkat ketunawismaan dan bahwa masalah sosial ketunawismaan lebih parah
daripada yang dilaporkan.
Bagaimana dengan ketunawismaan yang dialami oleh keluarga-keluarga? Keluarga barangkali merupakan
lapisan masyarakat yang pertumbuhannya paling cepat
351 menjadi tuna wisma, mewakili sekitar 40 persen dari
orang-orang yang menjadi tuna wisma NCH, 2001, dalam DuBois Miley, 2005: 295. “Bagi keluarga,
ketunawismaan sering berarti suatu pergerakan yang membosankan dari satu tempat ke tempat lain: tinggal
bersama para kerabat atau teman-teman untuk periode waktu yang singkat, berpindah ke perumahan-perumahan
selama 30 hari, dan berpindah lagi” First, Rife, Toomey, 1995: 1333, dalam DuBois Miley, 2005:
295.
Secara khusus, apakah menerima bantuan publik atau bekerja purna waktu, keluarga-keluarga yang tuna wisma
tidak mampu memperoleh perumahan karena keadaan keuangan mereka yang tidak memadai. Kekerasan
dalam rumahtangga juga menyumbang bagi ketunawismaan di kalangan perempuan dan anak-anak.
Beberapa studi menunjukkan bahwa sebanyak 25 hingga 50 persen kaum perempuan yang tinggal di rumah-rumah
penampungan sementara pernah mengalami situasi- situasi yang penuh dengan penganiayaan NCH, 1999c,
dalam DuBois Miley, 2005: 295. Terakhir, ketunawismaan itu sendiri menyumbang bagi
kehancuran keluarga. Sebagai contoh, beberapa rumah penampungan sementara bagi keluarga-keluarga
memiliki kebijakan-kebijakan yang melarang kaum laki- laki dan anak laki-laki yang sudah besar untuk tinggal di
rumah-rumah penampungan sementara, dan beberapa orangtua dapat menempatkan anak-anak mereka di panti
asuhan atau menitipkan mereka tinggal bersama terman- teman atau para kerabat untuk menghindarkan diri
mereka dari ketidakamanan karena hidup tanpa rumah Shinn Weitzman, 1996, dalam DuBois Miley,
2005: 295.
Ketunawismaan secara khusus mendisorganisasikan bagi anak-anak. Suatu tinjauan penelitian memperlihatkan
bahwa anak-anak yang tuna wisma mengalami gizi buruk, kemunduran-kemunduran perkembangan,
kesehatan yang buruk, kecacatan fisik, pencapaian pendidikan yang buruk, dan masalah-masalah psikologis
serta perilaku Rafferty Shinn, 1994, dalam DuBois
352 Miley, 2005: 295. Shinn dan Weitzman 1996: 118,
dalam DuBois Miley, 2005: 295 melaporkan bahwa “data dari The National Health Interview Survey Survei
Wawancara Kesehatan Nasional memperlihatkan bahwa anak-anak yang berpindah tiga kali atau lebih cenderung
memiliki masalah-masalah emosional dan perilaku, tinggal kelas, dan diskor atau dikeluarkan dari sekolah”.
Sering berpindah-pindah sekolah, lama absen dari sekolah, kurangnya tempat yang tenang untuk
mengerjakan pekerjaan rumah, atau kekacauan kehidupan di jalan untuk selanjutnya mengganggu
pembelajaran.
Bagaimana dengan ketunawismaan di kalangan veteran? Sekitar 40 persen kaum laki-laki yang tuna wisma adalah
veteran NCH, 1999d, dalam DuBois Miley, 2005: 295. Karena banyak veteran Perang Vietnam,
kecenderungan-kecenderungan terbaru memperlihatkan suatu peningkatan ketunawismaan di kalangan para
veteran yang tidak memiliki pengalaman perang tetapi menghadapi adanya faktor-faktor resiko yang meningkat
seperti penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Hasil-hasil dari suatu studi eksploratoris
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh para veteran yang tuna wisma menunjukkan tiga sumber-
sumber kesulitan utama yaitu masalah-masalah di bidang kesehatan dan kesehatan mental; masalah-masalah yang
berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya seperti kurangnya kesempatan-kesempatan kerja, perumahan,
dan transportasi; dan masalah-masalah yang berkaitan dengan sikap-sikap publik umum terhadap mereka
seperti penolakan, prasangka buruk, kurang menghargai, dan ketakutan Applewhite, 1997, dalam DuBois
Miley, 2005: 295.
Dinas Militer memiliki reputasi memberikan berbagai jaminan yang meliputi pendidikan dan magang,
memperjuangkan penempatan kaum militer aktif untuk mengisi posisi-posisi jabatan sipil, dan hak-hak seperti
perawatan kesehatan, pinjaman-pinjaman untuk uang muka perumahan yang berbunga rendah, dan jaminan
pensiun. Di dalam kenyataan, tingginya angka
353 pengangguran dan terbatasnya pendidikan di kalangan
para veteran turut menyumbang bagi merebaknya masalah-masalah ketunawismaan di kalangan para
veteran.
Bagaimana dengan ketunawismaan di daerah-daerah pedesaan? Suatu survei berskala luas pada tahun 1990
tentang ketunawismaan pedesaan dan perkotaan menunjukkan bahwa orang-orang yang tuna wisma di
daerah-daerah pedesaan ialah “orang-orang muda yaitu kaum perempuan lajang atau ibu-ibu yang sudah
memiliki anak, sedangkan orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung tidak menjadi
orang-orang cacat” First, Rife, Toomey, 1994: 104, dalam DuBois Miley, 2005: 296. Dari kelompok-
kelompok yang diidentifikasikan di dalam survei itu, 26,8 persen adalah keluarga-keluarga muda dan 31,2
persen orang-orang yang bekerja paruh waktu atau purna waktu. Penelusuran lebih lanjut terhadap data-data ini
menunjukkan perbedaan-perbedaan antara ketunawismaan perkotaan dan pedesaan. Kontras sekali
dengan daerah-daerah perkotaan, “banyaknya bantuan- bantuan sosial bagi kaum perempuan perkotaan dan
minimnya peran-peran yang dapat dimainkan oleh para penyandang masalah sakit jiwa dan penyalahgunaan
obat-obat terlarang di dalam episode-episode kaum perempuan pedesaan” Cummins, First, Toomey,
1998, dalam DuBois Miley, 2005: 297. Akan tetapi, konflik dan keretakan keluarga cenderung memperburuk
ketunawismaan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah-daerah pedesaan. Para peneliti menyimpulkan
bahwa suatu perekonomian pedesaan yang memburuk, meningkatnya angka pengangguran, ketidaksetaraan
jender yang nampak jelas pada rendahnya upah bagi kaum perempuan, dan meningkatnya tuntutan akan
perumahan yang bersewa rendah menyumbang bagi krisis ketunawismaan di daerah-daerah perkotaan di
Amerika Serikat.