Respons pelayanan terhadap kekerasan pasangan intim

511 beberapa perempuan melanjutkan terus dengan tindakan- tinakan hukum, seperti memperoleh ketentuan-ketentuan perlindungan dan memberi kesaksian di dalam sidang penuntutan pelaku kekerasan dalam rumahtangga” Weisz, 1999: 140, dalam DuBois Miley, 2005: 420. Asesmen tentang suatu program advokasi menyatakan bahwa “pembela menyandarkan diri pada adanya empati yang mendukung dan dimilikinya informasi yang berharga. Relasi pembela dengan para korban memudahkan mereka mengambil tindakan-tindakan hukum lebih lanjut terhadap para pelaku kekerasan dalam rumahtangga” Weisz, 1999: 138, dalam DuBois Miley, 2005: 420. Tentu saja kaum perempuan yang menggunakan pelayanan-pelayanan advokasi ini mengalami pemberdayaan melalui relasi-relasi yang informatif. Tujuan-tujuan yang berorienatsikan pemberdayaan yang akan dicapai dalam bekerja dengan orang-orang yang mengalami kekerasan pasangan intim mencakup menanamkan kembali perasaan-perasaan pribadi yang berharga dan suatu rasa kendali dan, pada tingkat yang lebih makro, menciptakan untuk mempengaruhi perubahan masyarakat dan sosial. Pekerja sosial yang berorientasikan pemberdayaan menghindari pendekatan intervensi yang berorientasikan kelemahan atau menyalahkan karena tindakan ini akan mereviktimisasikan orang-orang yang mengalami penganiayaan. Suatu fokus pada kekuatan-kekuatan, kompetensi, dan keterlibatan klien di dalam semua aspk proses dapat melawan balik pengaruh-pengaruh viktimisasi yang luar biasa yang berkaitan dengan kekerasan pasangan intim. Empat prinsip dasar dalam membantu orang-orang yang telah diviktimisasikan mengalami pemberdayaan Kopp, 1989, dalam DuBois Miley, 2005: 421. Pertama, klien harus memandang dirinya sebagai pelaku sebab dalam mencapai suatu solusi atas masalah. Kedua, klien harus memandang pekerja sosial sebagai sosok yang memiliki pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang dapat membantu. Ketiga, usaha pemecahan 512 masalah harus merupakan suatu kemitraan antara pekerja sosial dan klien. Dan keempat, klien harus menggunakan sejumlah struktur kekuasaan yang berpengaruh jejaring keluarga, jejaring bantuan, jejaring pribadi, dan jejaring-jejaring lainnya untuk mencapai suatu pemerataan kekuasaan. Kelompok-kelompok dukungan memberikan kesempatan-kesempatan kepada orang-orang yang diviktimisasikan oleh kekerasan pasangan intim dengan cara mengungkapkan perasaan-perasaan pribadi mereka, mempertimbangkan pilihan-pilihan alternatif, dan mengevaluasi keputusan-keputusan. Sesi-sesi-kelompok sering memudahkan orang-orang yang diviktimisasikan itu untuk menjajaki isu-isu yang berkaitan dengan perspektif mereka sendiri dan cara-cara membina relasi dengan orang lain. Kelompok-kelompok dukungan memberikan suatu forum untuk menghadapi stres dan kemarahan serta memecahkan masalah-masalah relasi. Mereka memberikan suatu kerangka dasar untuk mempromosikan perubahan masyarakat dan sosial. Dalam menerapkan suatu model pemberdayaan ke dalam usaha-usaha mereka dengan kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumahtangga, Nosko dan Breton 1997-1998: 46, 62-63, dalam DuBois Miley, 2005: 421 menemukan bahwa penghormatan, hak menentukan nasib sendiri, dan individualisasi yang diperlihatkan berkaitan dengan elemen-elemen kunci dari prakek pekerjaan sosial dengan kelompok. Sebagai contoh, dalam kaitan dengan perencanaan, pekerja sosial yang menganut suatu perspektif pemberdayaan “tidak lagi memandang bahwa tangung jawab ada pada mereka untuk menggambarkan apa yang dibutuhkan di dalam kelompok, sekarang mereka bertanya secara langsung kepada anggota-anggota kelompok” h. 421. Pada dasarnya, mereka mengarahkan dengan cara mengikuti petunjuk-petunjuk kliennya. Dengan suatu pendekatan yang berorientasikan pemberdayaan, kekuasaan beralih kepada klien. Sebagai contoh, Nosko dan Breton menunjukkan mereka “bekerja dengan perempuan untuk belajar tentang penganiayaan bukan untuk 513 memperlihatkan diri mereka sebagai pakar karena mereka mengetahui teori-teori tentang penganiayaan” h. 420.

5. Reaksi anak-anak terhadap kekerasan dalam rumahtangga

Perkiraan baru-baru ini menyatakan bahwa, di Amerika Serikat sendiri, sekitar 3,3 juta anak-anak mengalami kekerasan dalam rumahtangga setiap tahun Fantuzzo Mohr, 1999, dalam DuBois Miley, 2005: 422. Tentu saja tidak semua anak-anak yang mengalami kekerasan di dalam keluarga mereka mengembangkan gangguan- gangguan perilaku dan emosional, mereka juga tidak secara otomatis menjadi orang dewasa yang menganiaya orang lain. Namun demikian, kekerasan di dalam keluarga memiliki efek-efek yang jauh melampaui jangkauan. Beberapa kalangan memandang penampakan anak-anak terhadap kekerasan dalam rumahtangga sebagai suatu perlakuan yang salah secara psikologis. Sebagai contoh, anak-anak dari kaum perempuan yang mengalami penganiayaan memilki suatu kesempatan yang lebih besar untuk mengalami penganiayaan. Dan anak-anak yang menyaksikan penganiayaan dan menjadi korban penganiayaan mengalami kesulitan-kesulitan psikologis yang lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa bahkan bayi mengalami ketegangan, seperti menangis, merasa terluka, gangguan-gangguan tidur, ketegangan emosional, dan isu-isu kedekatan relasi apabila mereka ditampakkan kepada kekerasan dalam rumahtangga mereka Edleson, 1999; Asofsky, 1999; dalam DuBois Miley, 2005: 423. Apabila anak-anak yang lebih besar ditampakkan kepada kekerasan semacam itu, mereka cenderung mengembangkan sejumlah pola-pola perilaku bermasalah, seperti kecemasan, depresi, harga diri yang rendah, level empati yang rendah, dan perilaku-perilaku agresif Carter, Weithorn, Behran, 1999; Osofsky, 1999; dalam DuBois Miley, 2005: 423. Mereka juga cenderung mengalami dampak-dampak yang negatif di dalam reasi teman-teman sebaya dan penampilan sekolah. 514 Tidak semua anak-anak merespons secara negatif karena beberapa faktor meredakan akibat-akibat dari menyaksikan kekerasan. Faktor-faktor itu antara lain adanya orang dewasa yang mengasuh, “tempat perlidungan yang aman” di dalam masyarakat, seseorang yang turut campur demi kepentingan mereka, dan karakteristik individual, seperti ketahanan emosional dan perasaan-perasan penguasaan dan kompetensi pribadi. Pelayanan-pelayanan kekerasan dalam rumahtangga yang komprehensif meliputi pemrograman bagi anak- anak, yang mewakili setengah dari semua penghuni rumah singgah Carter, Weithorn, Behrman, 1999: 7, dalam DuBois Miley, 2005: 423. Program-program tersebut antara lain ialah prakarsa-prakarsa seperti koneseling individual dan kelompok. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan membantu anak-anak mengembangkan respons-respons yang dapat menyesuaikan diri, mempelajari teknik-teknik pemecahan masalah yang efektif dan aman, menguji sikap-sikap mereka terhadap relasi, menerima tanggung jawab atas perilaku mereka sendiri, menghadpi isu-isu yang berkaitan dengan kemarahan, mempelajari akibat-akibat negatif dari kekerasan dalam mengatasi konflik, dan mengembangkan harga diri yang lebih positif. Advokasi anak ialah suatu tambahan yang lebih baru terhadap program-program rumah singgah. Para pembela hak-hak anak “membantu anak penghuni rumah singgah mengakses manfaat-manfaat dan pelayanan-pelayanan yang mereka butuhkan, memastikan bahwa perlindungan-perlindungan hukum tersedia ketika dibutuhkan oleh anak-anak, dan memberikan pelatihan bagi petugas rumah singgah tentang perkembangan anak dan dampak kekerasan daam rumahtangga terhadap anak-anak” h. 423.

C. Penganiayaan Orang Lanjut Usia

Penganiayaan berlangsung sepanjang siklus kehidupan; namun demikian, masalah penganiayaan lanjut usia baru-baru ini saja disadari.

1. Jenis-jenis penganiayaan orang lanjut usia

515 Berbagai definisi tentang penganiayaan orang lanjut usia ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan, seperti Amandemen Undang-undang Lanjut Usia Amerika Serikat tahun 1987, Undang-undang Negara Bagian, dan Pusat Nasional bagi Penganiayaan Orang Lanjut Usia National Center for Elder Abuse, NCEA. “Penganiayaan orang lanjut usia elder abuse ialah suatu istilah yang mencakup semua aspek yang merupakan semua jenis salah perlakuan atau perilaku penganiayaan terhadap orang lanjut usia,” seperti penganiayaan, penerlantaran, atau perilaku yang mengeksploitasikan Wolf, 2000, dalam DuBois Miley, 2005: 424. Jenis-jenis penganiayaan orang lanjut usia antara lain ialah sebagai berikut: a. Penerlantaran neglect ialah penolakan atau kegagalan memenuhi kewajiban atau tanggung jawab seseorang atas seorang dewasa tanggungan atau orang lanjut usia b. Penganiayaan psikologis psychological abuse mengakibatkan gangguan, penderitaan emosional, atau pebderitaan melalui tindakan-tindakan verbal danatau nonverbal c. Penganiayaan fisik physical abuse meliputi kekerasan atau kekuatan fisik yang mengakibatkan luka fisik, pnderitaan, atau kecacatan d. Penganiayaan seksual sexual abuse terjadi apabila orang lanjut usia atau orang tanggungan dipaksa melakukan hubungan seksual dalam bentuk apa pun e. Eksploitasi keuangan financial exploitation meliputi derma atau pemberian-pemberian yang tidak sah dan tidak patut yang bersumber dari aset, investasi, atau harta kekayaan seorang lanjut usia atau seorang dewasa tanggungan f. Pengabaian abandonment terjadi apabila orang yang mengemban tanggung jawab pengasuhan terhadap seorang lanjut usia meninggalkan orang lanjut usia itu g. Penerlantaran sendiri self-neglect terjadi apabila tindakan-tindakan seorang lanjut usia mengancam keselamatan dan kesejahteraannya.