Respons pemerintah pusat terhadap

354 Peraturan perundang-undangan utama yang diterbitkan oleh pemerintah pusat yang mengalamatkan ketunawismaan ialah Undang-undang Bantuan Tuna Wisma pada tahun 1987 yang sekarang dikenal sebagai Undang-undang Bantuan Tuna Wisma McKinney-Vento. Undang-undang ini memberikan mekanisme bagi suatu respons pemerintah pusat terhadap krisis ketunawismaan. Undang-undang ini mengembangkan program-program seperti: x rehabilitasi perumahan berkamar satu yang ditempati x perumahan transisional x program-program perumahan bagi orang-orang cacat yang tuna wisma x bantuan perawatan kesehatan x bantuan makanan x tunjangan para veteran x program-program makanan dan rumah penampungan darurat x program-program pendidikan, pelatihan, dan pelayanan-pelayanan masyarakat. Sayangnya, undang-undang ini hanya indah di atas kertas tetapi buruk di dalam kenyataan, yang mengakibatkan kurangya anggaran untuk membiayai implementasi program-program tersebut di atas. Selain itu, program- program tersebut di atas dipecah-pecah di kalangan lembaga-lembaga pemerintah pusat seperti Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Sosial, Kementerian Pengemangan Perumahan dan Perkotaan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pertanian, Kementerian Urusan Veteran, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Transportasi, Dinas Pelayanan Umum, dan Badan Manajemen Darurat Pemerintah Pusat. Untuk mengorganisasikan pelayanan-pelayanan kepada orang-orang yang tuna wisma di dalam masyarakat secara lebih efektif, Undang-undang McKinney menyaratkan masyararat untuk meminta anggaran untuk mengembangkan suatu strategi yang mendeskripsikan kebutuhan-kebutuhan darurat dan jangka panjang bagi 355 orang-orang yang tuna wisma di dalam masyarakat, dan strategi-strategi yang mereka sepakati untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang telah diidentifikasikan itu. Strategi ini penting karena inilah pertama kali pemerintah pusat mengakui secara resmi hubungan antara kurangnya perumahan yang terbeli dan krisis ketunawismaan yang melanda Amerika Serikat akhir-akhir ini” Johnson, 1995: 1343, dalam DuBois Miley, 2005: 297.

4. Respons pekerjaan sosial terhadap

ketunawismaan Pekerja sosial harus mengembangkan program-program yang inovatif untuk mengalamatkan sebab-sebab akar dan dampak-dampak pribadi dari ketunawismaan. First, Rife dan Toomey 1995 mengusulkan strategi-strategi pekerjaan sosial yang berwajah banyak multifaceted social work strategies seperti pelayanan-pelayanan yang menjaga kelangsungan kehidupan, pelayanan-pelayanan rehabilitasi, dan pengadvokasian kebijakan serta program. Program-program yang yang menjaga kelangsungan kehidupan memenuhi kebutuhan- kebutuhan sehari-hari orang-orang yang tuna wisma seperti akses kepada rumah penampungan dan makanan darurat, perumahan transisional, dan pelayanan- pelayanan sosial. Manajemen kasus memainkan peran yang semakin menonjol di dalam program-program dan pelayanan-pelayanan tersebut di atas. Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa pemberian subsidi untuk sewa perumahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dari program-program transisional yang berhasil Shlay, 1994, dalam DuBois Miley, 2005: 297. Pelayanan-pelayanan rehabilitasi berfungsi melampaui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Pelayanan-pelayanan ini meliputi program-program seperti pendidikan, magang, program-program penyembuhan ketergantungan obat-obat terlarang, dan pelayanan-pelayanan kekerasan dalam rumahtangga “untuk membantu menyiapkan keluarga-keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” First, Rife, Toomey, 1995: 1335, dalam DuBois Miley, 2005: 297. Terakhir, pengadvokasian kebijakan 356 dan program adalah sangat penting untuk memperkuat respons pemerintah kabupatenkota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat terhadap ketunawismaan, dan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan sosial harus mempertimbangkan kenyataan-kenyataan situasi yang dihadapi oleh orang-orang yang tuna wisma. Solusi- solusi jangka panjang yang penting mencakup prakarsa- prakarsa pengembangan sosial dan ekonomi serta menanggulangi ketidaksetaraan dan diskriminasi yang menciptakan hambatan-hambatan di jalan menuju pemenuhan diri sendiri. Selanjutnya, orang-orang yang tuna wisma mengalami pemberdayaan melalui keterlibatan langsung mereka sendiri di dalam aksi sosial dan usaha-usaha advokasi untuk menghadapi dampak- dampak penindasan, pengasingan, dan keputusasaan.

C. Pekerjaan Sosial dan Pengangguran

Naik turunnya perekonomian merupakan masalah-masalah struktural yang secara langsung mepengaruhi dunia kerja. Para pembuat kebijakan memandang pengangguran, setidak- tidaknya pada level tertentu, sebagai sesuatu yang dapat diterima dan normal. Akan tetapi, pekerja sosial memandang pengangguran sebagai suatu isu kesejahteraan sosial yang mengandung dampak yang dramatis. “Akses kepada kesempatan-kesempatan kerja tetap merupakan bantu penjuru keamanan ekonomi individu; kemiskinan dan ketidaksetaraan penghasilan pada dasarnya merupakan suatu fungsi dari pasar kerja” Root, 1993: 334, dalam DuBois Miley, 2005: 299. Tiadanya alokasi anggaran yang setara dalam kesempatan- kesempatan kerja menyebabkan besarnya biaya-biaya kemanusiaan.

1. Ekonomi dan pengangguran

Laporan-laporan memperlihatkan bahwa pada tahun 2003, sekitar 9 juta orang atau sekitar 6 persen pekerja di Amerika Serikat mengalami kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan pertengahan tahun 1990-an ketika angka pengangguran adalah sekitar 5 persen Bureau of Labor Statistics, 2003a, dalam DuBois Miley, 2005: 299. Akan tetapi, gambaran-gambaran tersebut di atas menyesatkan, karena beberapa kelompok-kelompok populasi dan wilayah-wilayah di negara ini telah