Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan dalam Pembangunan PengelolaanTNGHS

c. Pemberian informasi informing dengan skor 739 – 973 d. Konsultasi consultation dengan skor 974 – 1208 e. Penentraman placation dengan skor 1209 – 1444 f. Kemitraan partnership dengan skor 1445 – 1680 g. Pendelegasian kekuasaan delegated power dengan skor 1681– 1916 h. Pengawasan masyarakat citizen control dengan 1916 Berdasarkan Tabel 65, mayoritas partisipasi masyarakat berada pada tangga pertama, yaitu terlibat hanya sebatas formalitas sebesar 37,18. Masyarakat yang hadir dalam pertemuan tidak memiliki pengaruh. Partisipasi masyarakat secara umum berdasarkan selang nilai dengan skor 846 berada pada tangga ke-tiga, yaitu pemberian informasi. Berdasarkan hasil wawancara bahwa rata-rata masyarakat mengaku terlibat, memperoleh informasi, tetapi kurang diberikan kesempatan untuk berdiskusi. Kegiatan program ini masih bersifat top down. Pemegang kekuasaan atau pihak pengelola hanya merasa telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat. Pengumuman sepihak oleh pelaksana program kurang memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Program rehabilitasi selain dilaksanakan pada areal lahan yang terdegradasi juga dilakukan pada areal lahan garapan masyarakat melalui penanaman berbagai jenis pohon kehutanan, seperti tanaman puspa, rasamala dan huru. Padahal masyarakat menginginkan jenis tanaman buah-buahan, karena walaupun tanaman tersebut tidak boleh ditebang tetapi masyarakat mendapatkan manfaat dari hasil buahnya. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, penanaman jenis tanaman kehutanan pada lahan garapan masyarakat menimbulkan kekhawatiran masyarakat dalam pengambil alihan kembali lahan garapan oleh pihak pengelola. Selain itu apabila lahan garapan tersebut sudah ternaungi maka masyarakat tidak dapat menggarap lahannya. Dilain pihak, masyarakat harus memenuhi kebutuhan hidup mereka. Padahal kehidupan masyarakat masih tergantung pada kegiatan pertanian Budiman dan Adhikerana 2000. Umumnya masyarakat diundang pada pertemuan-pertemuan yang menyangkut program pemerintah tetapi hasil diskusi kurang mendapatkan perhatian karena terkadang program pemerintah terbelenggu aturan administrasi dan aturan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Penanaman di kawasan taman nasional harus sesuai dengan jenis tanaman asli setempat. van Wilgen dan Richardson 2012 mengemukakan bahwa jenis eksotik di kawasan taman nasioal akan berdampak pada spesies alami dan dapat mengakibatkan kepunahan spesies. Nurrochmat 2005 mengemukakan bahwa kegagalan program tidak hanya karena alasan partisipasi tetapi karena kurangnya memahami fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Begitupula Rinawati 2012 mengemukakan bahwa salah satu penyebab kegagalan program pemerintah adalah pemberian insentif sehingga menurunkan motovasi berusaha. Kesediaan Masyarakat Berpartisipasi Dalam hal kesediaan masyarakat berpartisipasi, menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan kesediannya berpartisipasi. Bentuk kesediaan yang dapat diberikan dapat digolongkan menjadi tujuh, seperti disajikan pada Tabel 66. Selang nilai kesediaan berpartisipasi yaitu, X max - X min N = 35-75 = 5,6 sehingga tingkat kesediaan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan TNGHS dapat dibagi menjadi: a. Kesediaan responden berpartisipasi sangat tinggi jika skor 12 b. Kesediaan responden berpartisipasi tinggi Jika skor 13 – 18 c. Kesediaan responden berpartisipasi sedang jika skor 19 – 24 d. Kesediaan responden berpartisipasi rendah jika skor 25 – 30 e. Kesediaan responden berpartisipasi sangat rendah jika skor 30 Tabel 66. Berbagai bentuk kesediaan masyarakat sekitar kawasan TNGHS berpartisipasi dalam pembangunan TNGHS No Variabel Tingkat Jumlah Orang Persentase Skor Rata-rata 1 Mendukung adanya kebijakan dalam pengelolaan TNGHS Sangat setuju 26 8.75 Setuju 250 84.18 Kurang setuju 14 4.71 Tidak setuju 6 2.02 Sangat tdk setuju 1 0.34 Jumlah 297 100 597 2.01 ≈ 2 2 Menjaga kelestarian TNGHS Sangat setuju 32 10.77 Setuju 260 87.54 Kurang setuju 4 1.35 Tidak setuju 1 0.34 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 568 1.91 ≈ 2 3 Menjaga keamanan dari gangguan masyarakat sekitar Sangat setuju 29 9.76 Setuju 259 87.21 Kurang setuju 3 1.01 Tidak setuju 6 2.02 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 580 1.95 ≈ 2 4 Menyadarkan masyarakat agar tidak merusak hutan Sangat setuju 39 13.13 Setuju 252 84.85 Kurang setuju 5 1.68 Tidak setuju 1 0.34 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 562 1.89 ≈ 2 5 Bersedia menyumbang tenaga sebagai pekerja Sangat setuju 24 8.08 Setuju 256 86.20 Kurang setuju 10 3.37 Tidak setuju 7 2.36 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 594 2 ≈ 2 6 Bersedia berpartsispasi dalam perencanaan pengelolaan Sangat setuju 19 6.4 Setuju 257 86.53 Kurang setuju 16 5.39 Tidak setuju 5 1.68 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 601 2.02 ≈ 2 7 Bersedia berpartsipasi dalam pelaksanaan pengelolaan TNGHS Sangat setuju 19 6.4 Setuju 255 85.86 Kurang setuju 14 4.71 Tidak setuju 9 3.03 Sangat tdk setuju - - Jumlah 297 100 607 2.04 ≈ 2 Jumlah total 4109 13.84 ≈ 14 Hasil analisis Tabel 66 didapatkan bahwa skor rata-rata kesediaan masyarakat berpartisipasi adalah 14 sehingga termasuk dalam kategori tinggi. Mayoritas masyarakat mendukung adanya kebijakan-kebijakan dalam pembangunan pengelolaan TNGHS, yaitu sebanyak 84,18. Diantara bentuk- bentuk tersebut yang paling kongkrit adalah kesediaan menyumbang tenaga, yaitu mereka bersedia bekerja baik secara sukarela dan secara bergotong royong atau sebagai pekerja yang tanpa diberi imbalan upahdibayar, yaitu sebesar 86,20. Begitupula mayoritas masyarakat bersedia menjaga kelestarian dan menjaga keamanan kawasan TNGHS dari gangguan masyarakat yang akan merusak hutan, yaitu sebesar 87,54. Hal ini sesuai fakta di lapangan, dimana masyarakat membentuk kelompok dalam menjaga dan pengamanan hutan dengan melakukan ronda keliling secara bergantian. Masyarakat juga bersedia menyadarkan warga masyarakat yang merusak hutan, diantaranya dalam kegiatan illegal logging, yaitu sebesar 84,85. Mayoritas masyarakat bersedia dalam perencanaan dan pelaksanaan terkait program pembangunan pengelolaan TNGHS, yaitu sebanyak 86,53. Tanpa partisipasi masyarakat kegiatan pembangunan TNGHS tidak akan berhasil dengan baik. Anderson 2000 dalam Nurrochmat 2005 menyatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki potensi menuju pengelolaan hutan yang lebih baik. Oleh karena itu kesediaan partisipasi dari masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS merupakan hal yang positif bagi pembangunan dan kelestarian TNGHS. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat maka pihak pengelola perlu melakukan sosialisasi pembangunan TNGHS tersebut secara intensif dan merata serta melakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat persuasif.

5.7. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat

Modal manusia berkaitan dengan modal sosial, karena modal sosial tertambat pada modal manusia yang menekankan pada segala keahlian yang dimiliki individu. Lawang 2009 mengemukakan bahwa modal manusia dapat menggerakkan kapital personal dalam meningkatkan kesadaran diri, pengaturan diri dan motivasi. Semakin tinggi modal manusia semakin besar untuk membentuk modal sosial. Selain modal manusia, modal fisik mempunyai hubungan yang erat dengan modal sosial karena mendukung proses produksi yang memungkinkan orang memperoleh keuntungan dan memungkinkan untuk meningkatkan investasi. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan ada tidaknya hubungan karakteristik individu dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial digunakan korelasi Peringkat Spearman Tabel 67 dan 68. Pada Tabel 67 menunjukkan bahwa umur berkorelasi negatif dengan pendidikan formal nilai korelasi r = 0,196; nilai p = 0,001 dan tingkat kesehatan r = 0,129; p = 0,026. Hal tersebut menunjukkan arti bahwa semakin tua umur responden semakin rendah pendidikan formal, dan yang memiliki pendidikan formal tinggi adalah orang-orang dengan katagori yang berusia muda. Peningkatan umur responden akan semakin rendah tingkat kesehatannya. Umur juga berkorelasi positif dengan luas lahan r = 0,141; p = 0,015, lama tinggal r = 0,367; p = 0,000 dan status sosial r = 0,120; p = 0,038, artinya semakin tinggi umur semakin luas lahan yang dimiliki dan semakin lama tinggal dalam komunitas juga semakin tinggi status sosialnya. Tabel 67. Hubungan antara komponen karakteristik individu di seluruh desa kajian Korelasi komponen karakteristik individu Komponen karakterisktik individu Umur Pendi- dikan formal Pendidi- kan informal Penda patan Tingkat kesehatan Luas lahan Lama tinggal Status sosial Umur - -.196 .056 .003 -.129 .141 .367 .120 Pendidikan formal -.196 - .156 .118 .095 -.098 -.062 .148 Pendidikan non formal .056 .156 - 102 .130 .062 .039 .137 Pendapatan .003 .118 .102 - .215 .217 .092 .489 Tingkat kesehatan -.129 .095 .130 .215 - -.002 .041 .067 Luas lahan .141 -.098 .062 .217 -.002 - .103 .389 Lama tinggal .367 -.062 .039 .092 .041 .103 - .147 Status sosial .120 .148 .137 .489 .067 .389 .147 - Keterangan: korelasi nyata pada taraf 0,05 korelasi nyata pada taraf 0,01 Pendidikan formal berkorelasi positif dengan pendidikan non formal r = 0,156; p = 0,007, pendapatan r = 0,118; p = 0,042 dan status sosial r = 0,148; p = 0,011, artinya semakin tinggi pendidikan formal responden maka semakin terlibat dalam pendidikan non formal dan semakin tinggi tingkat pendapatan serta semakin tinggi status sosialnya. Pendidikan non formal berkorelasi positif dengan tingkat kesehatan r = 0,130; p = 0,025 dan status sosial r = 0,137; p = 0,018, artinya orang-orang yang semakin banyak terlibat dalam pendidikan non formal adalah mereka yang tingkat kesehatannya baik dan status sosial yang tinggi. Pendapatan berkorelasi positif dengan tingkat kesehatan r = 0,215; p = 0,000, luas lahan r = 0,217; p = 0,000 dan status sosial r = 0,489; p = 0,000, artinya masyarakat yang memiliki pendapatan yang tinggi adalah orang-orang yang memiliki tingkat kesehatan yang baik, lahan yang luas dan status sosial yang tinggi. Luas lahan berkorelasi positif dengan status sosial r = 0,389; p = 0,000, artinya semakin luas lahan yang dimiliki responden maka semakin tinggi status sosialnya. Lama tinggal berkorelasi positif dengan status sosial r = 0,147; p = 0,011, artinya semakin lama tinggal dalam komunitasnya adalah orang-orang yang memiliki status yang tinggi. Pada Tabel 68 memperlihatkan bahwa faktor umur berkorelasi negatif dengan tindakan proaktif, artinya semakin tinggi tingkat umur maka tindakan proaktif yang semakin menurun. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa yang lebih aktif dalam tindakan proaktif adalah mereka yang berusia pada katogori usia muda. Hubungan antara umur dan tindakan proaktif tergolong lemah dengan nilai korelasi 0,179 dan nilai p 0,002 p 0,01. Walaupun pendidikan formal adalah modal manusia tetapi pada masyarakat di sekitar kawasan TNGHS, pendidikan formal tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial. Tabel 68. Hubungan antara karakteristik individu dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial Karakteristik individu Unsur-unsur pembentuk modal sosial Keper caya an jaring -an Nor- ma Proak- tif Kepedu- lian sesama Kepedu- lian lingku- ngan Tingkat modal sosial Umur -.028 -.067 -.094 -.179 .017 .019 -.118 Pendidikan formal -.001 -.047 .054 -.043 .059 -.005 -.075 Pendidkan non formal -.141 -.111 -.140 -.177 -.060 -.041 -.128 Tingkat pendapatan -.104 .051 .045 .044 .054 -.017 -.041 Tingkat kesehatan -.128 -.043 -.099 -.025 -.011 .146 -.021 Luas lahan .094 .200 .108 .228 .031 -.025 .225 Lama tinggal .026 -.019 .039 -.022 .000 -.050 -.001 Status sosial -.077 .004 .000 -.034 .061 -.063 -.075 Tingkat karakteristik -.062 .023 .031 .043 .011 .034 .000 Keterangan: korelasi nyata pada taraf 0,05 korelasi nyata pada taraf 0,01 Berdasarkan Tabel 68 menunjukkan bahwa pendidikan non formal berkorelasi negatif terhadap kepercayaan dengan nilai korelasi 0,141 dan nilai p 0,015 p 0,05. Pendidikan non formal responden diperoleh dari berbagai pelatihan atau bimbingan teknis yang pernah diikuti. Semakin tinggi tingkat pendidikan non formal maka semakin menurun tingkat kepercayaan yang diberikan untuk persepsesikan seseorang. Pendidikan non formal juga berkorelasi negatif dengan norma sosial dengan cukup nyata dengan nilai korelasi 0,140 dan nilai p 0,015 p 0,05. Menunjukkan bahwa hubungan antara pendidikan non formal dan norma sosial tergolong lemah mendekati 0. Peningkatan pendidikan non formal mempengaruhi norma sosial yang semakin menurun. Pendidikan non formal juga berkorelasi negatif dengan tindakan proaktif dengan sangat nyata. Nilai korelasi 0,177, menunjukkan bahwa hubungan antara pendidikan non formal dan tindakan proaktif tergolong lemah. Peningkatan pendidikan non formal mempengaruhi tindakan proaktif yang semakin menurun. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan non formal yang tinggi lebih mementingkan diri sendiri, membuat orang lain kurang percaya karena kurangnya berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman antara sesama. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan Rinawati 2012 yang menunjukkan bahwa pendidikan non formal berkorelasi positif terhadap kepercayaan dan tindakan proaktif pada masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat di Sub Das Cisadane Hulu. Begitupula penelitian Marwoto 2013 menunjukkan bahwa pendidikan non formal berkorelasi positif terhadap jaringan dan tindakan proaktif pada masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik individu di masing-masing wilayah berbeda. Tingkat pendapatan tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial. Hal ini karena mayoritas warga menjual hasil produksinya kepada tengkulak, sehingga tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Masyarakat tidak bersedia untuk memberikan sumbangan berupa uang dalam memperbaiki lingkungan maupun membantu sesama karena rendahnya pendapatan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Siswiyanti 2006 bahwa pendapatan yang tinggi cenderung membuat orang berpartispasi lebih dibandingkan dengan masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung memiliki kesempatan yang terbatas. Tingkat kesehatan berkorelasi negatif terhadap kepercayaan dengan nilai korelasi 0,128 dan nilai p 0,028 dan berkorelasi positif dengan kepedulian lingkungan. Hubungan antara tingkat kesehatan dan kepercayaan tergolong lemah, peningkatan tingkat kesehatan mempengaruhi kepercayaan yang semakin menurun. Mereka yang berumur tua dengan tingkat kesehatan yang kurang baik pada umumnya lebih dapat dipercaya dari yang berumur muda. Tingkat kesehatan berkorelasi positif terhadap kepedulian lingkungan dengan nilai korelasi 0,146 dan nilai p 0,012. Menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kesehatan dengan peduli lingkungan tergolong lemah. Semakin baik kesehatan seseorang maka semakin peduli orang tersebut terhadap lingkungan. Masyarakat di sekitar kawasan umumnya berusia produktif dengan tingkat kesehatan yang prima, dan peduli terhadap lingkungan dalam melakukan hal-hal yang terpuji untuk kepentingan bersama seperti menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga keamanan bersama. Luas lahan garapan berkorelasi positif dengan jaringan sosial dengan nilai korelasi 0,200 dan nilai p 0,001 dan berkorelasi positif dengan tindakan proaktif dengan nilai korelasi 0,228 dan nilai p 0,000. Hubungan antara luas lahan garapan dengan jaringan sosial dan tindakan proaktif sangat nyata. Peningkatan luas lahan garapan mempengaruhi jaringan sosial dan tindakan proaktif yang meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa modal fisik lahan berperan dalam modal sosial terutama dalam tingkat jaringan sehingga seseorang mau berpartisipasi dalam organisasi yang dianggap berperan penting dalam kehidupan keluarganya terutama dalam meningkatkan pendapatan, dan berbagi informasi. Mereka mau berinteraksi sosial dalam rangka mengelola sumber daya yang dimilikinya. Semakin luas lahan seseorang maka tindakan proaktif semakin tinggi. Hal ini dilakukan dalam menjaga kepentingan bersama, sehingga mau berbagi informasi, rela melakukan tindakan terpuji untuk kepentingan keamanan bersama dan lingkungan. Lama tinggal dan status sosial tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Lama tinggal tidak berkorelasi dengan unsur modal sosial sejalan dengan penelitian Marwoto 2013, namun status sosial berkorelasi positif dengan tindakan proaktif pada masyarakat di Kecamatan Giriwoyo dalam pengelolaan hutan rakyat. Berlainan dengan penelitian Rinawati 2012 bahwa status sosial berkorelasi positif terhadap jaringan, norma dan tindakan proaktif tetapi berkorelasi negatif terhadap