Kelembagaan Formal dan Non-Formal a. Kelembagaan Formal

oleh masyarakat. Hutan zona inti merupakan sumber mata air bagi masyarakat Kampung Nyungcung. Hutan zona penyangga dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Nyungcung untuk berkebun talun. Selain sebagai berkebun talun, hutan zona penyangga juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pakan ternak, kayu bakar dan kayu bahan bangunan. Hutan zona pemanfaatan merupakan kawasan hutan yang secara fisik tidak lagi ditumbuhi oleh pohon-pohonan. Hutan ini berada di dekat pemukiman penduduk dan diusahakan untuk areal pertanian. Seharusnya zona pemanfaatan untuk fungsi wisata. Untuk menjaga kelestarian hutan dan mempertahankan keberadaan hutan maka masyarakat melakukan berbagai kegiatan dan pengklasifikasian hutan menjadi: 1 mengklasifikasikan hutan ke dalam tiga zona yaitu, zona inti hutan larangan, zona penyangga hutan dudukuhan, dan zona pemanfaatan hutan leumbur; 2 mengadakan kegiatan kampung dengan tujuan konservasi dengan mengadakan patroli ke hutan setiap dua mingu sekali dengan tujuan mengontrol keberadaan hutan. Aturan adat Masyarakat Kasepuhan Sinarresmi tidak pernah terlepas dari filosofi-filosofi hidup dan berbagai aturan adat yang menyertainya. Dalam kehidupan bermasyarakat, filosofi hidup dari hukum adat kasepuhan adalah, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh ”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”. Semua aturan adat harus dijalankan oleh masyarakat, dan apabila ada pelanggaran dari aturan adat ini maka akan terjadi sesuatu yang buruk atau disebut dengan kabendon. Masyarakat kasepuhan memiliki aturan zonasi adat dalam kawasan TNGHS. Zonasi adat ini adalah : 1. Leuweung Kolot Leuweung Tutupan, wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Wilayah ini dipercaya dijaga oleh roh-roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan kabendon. 2. Leuweung Titipan, suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur kasepuhan kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk kabendon. 3. Leuweung Sampalan, kawasan hutan yang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat untuk huma, sawah, dan kebun. Beberapa orgnisasi yang masih aktif pada masyarakat sekitar hutan antara lain: kelompok tani, kelompok pengajian, arisan, organisasi kepemudaan. Kebiasaan masyarakat bergotong royong merupakan kebiasaan yang sangat baik dan perlu dilestarikan. Setiap pembukaan lahan ataupun kegiatan menanam padi dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat. Kebiasaan seperti ini telah dijalankan sejak lama oleh masyarakat. Kegiatan pertanian ladang ataupun kebun yang dilakukan oleh masyarakat memiliki kecenderungan pada ekspansi lahan TNGHS sehingga terjadi degradasi di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan, jumlah penduduk yang makin bertambah, di sisi lain jumlah lahan pertanian berkurang akibat adanya perluasan areal TNGHS. Kecenderungan ini merupakan ancaman terhadap TNGHS yang dapat menyebabkan degradasi hutan TNGHS secara terus menerus.

5.11.5. Unsur-Unsur Kelembagaan a. Batas Yurisdiksi

Jurisdiction Boundary Kinerja perlindungan TNGHS belum optimal, hal ini karena masih adanya gangguan terhadap kawasan TNGHS karena adanya aktivitas penduduk di sekitar kawasan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pihak BTNGHS belum optimal antara lain dengan dibuatnya papan-papan larangan, tata batas kawasan, dan kegiatan patroli belum cukup memberikan fungsi sebagai batas yurisdiksi karena belum dapat mengendalikan kondisi open acces bagi siapa saja untuk memasuki batas fisik kawasan TNGHS. Hal ini terbukti masih adanya tekanan penduduk terhadap kawasan TNGHS. Sebagian besar penduduk mengetahui hal-hal yang dilarang dalam pengelolaan TNGHS, tetapi ada juga penduduk yang tidak memperdulikan adanya larangan untuk merambah kawasan dan mencuri hasil hutan dari dalam kawasan TNGHS. Pendekatan perlindungan TNGHS selama ini dilakukan melalui pengamanan kawasan dan pembinaan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui budidaya ternak dan tanaman.

b. Hak Kepemilikan Property Right

Menurut Pasaribu 2007, hak kepemilikan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefenisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsesus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumber daya, situasi atau kondisi. Pakpahan 1989 menyebutkan bahwa hak kepemilikin bukan hanya hak yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, tetapi juga hak yang ditetapkan bersama oleh suatu kelompok masyarakat lokal. Hasil penelitian pada desa-desa di daerah TNGHS, bahwa sistem penguasaan lahan oleh masyarakat berlangsung mengikuti peraturan hukum secara tradisi. Sistem penguasaan lahan pada masyarakat menganut sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Menurut informasi dari masyarakat bahwa hutan dan dan tanah kosong bagi masyarakat merupakan tanah bebas. Seseorang atau keluarga yang membuka hutan atau tanah kosong untuk pertama kalinya diakui sebagai pemilik lokasi yang dibuka tersebut. Kepemilikan lahan pada masyarakat umumnya bersumber dari membuka hutan, sistem warisan, dan sistem jual beli antar warga masyarakat. Kepemilikan lahan ini merupakan faktor penting dalam pemanfaatan lahan oleh masyarakat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa eks Perum Perhutani merupakan hutan dengan kepemilikan negara state property. Kawasan hutan TNGHS eks Perum Perhutani merupakan milik Negara yang bersifat permanen dan tidak dapat beralih maupun dialihkan kepada pihak lain. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat masih melakukan aktivitas ekonomi yang berupa penggarapan lahan di kawasan TNGHS yang secara ekologi tidak berkelanjutan. Masyarakat yang membuka lahan pada eks Perum Perhutani tersebut, secara hukum merupakan pemilik illegal, karena tidak memiliki bukti kepemilikan atas lahan yang digarapnya. Hal in berarti property right yang ada belum mengarahkan alokasi sumber daya secara efisien. Sumber daya TNGHS merupakan kepemilikan pemerintah, semua hak yang melekat ada di tangan pemerintah. Pemerintah tidak mampu membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya, menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya.

c. Aturan Representasi

Pengelolaan TNGHS merupakan tanggung jawab pemerintah Balai TNGHS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan hutan menjadi tanah terbukasemak belukar dan lahan agroforestri setelah adanya penunjukkan kawasan menjadi taman nasional. Namun pihak pengelola belum mampu mengendalikannya. Akan tetapi, hal ini belum mampu ditangani sepenuhnya oleh pemerintah. Kenyataan di lapangan bahwa aturan-aturan formal pemerintah belum berjalan dengan baik.

d. Perilaku Stakeholders

Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan beragam budaya tradisional. TNGHS terletak di tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Sistem kelembagaan TNGHS lebih efektif jika dilakukan secara terpadu melalui pengelolaan kolaboratif di antara para stakeholder agar terbentuk sistem pelaksanaan pengelolaan yang paling memberikan manfaat secara sosial, ekonomi dan ekologis. Partisipasi multi pihak dalam pengelolaan TNGHS merupakan kepedulian terhadap keberadaan dan upaya pemanfaatan kekayaan hayati dan budaya secara lestari. TNGHS memilki dasar hukum yang kuat yang harus didukung oleh semua lembaga pemerintah dan masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaannya. Analisis terhadap perilaku masing-masing pihak yang berkepentingan stakeholders sangat dipengaruhi oleh tingkat kepentingan terhadap lahan hutan yang di TNGHS tersebut. Perilaku stakeholder ini akan mempengaruhi kinerja pengelolaan TNGHS. Masyarakat umumnya mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya lahan. Situasi ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan cara mengkonversi menjadi lahan usahatani. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tidak jelasnya batas-batas kawasan menyebabkan masyarakat dapat mengakses sumber daya lahan TNGHS dengan bebas. Stakeholders lain yang mempunyai pengaruh penting terhadap TNGHS terutama daerah penyangga adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Banten.

5.11.6. Prioritas Kebijakan Dalam Pengelolaan TNGHS

Tingginya kerusakan sumber daya hutan TNGHS menunjukkan belum optimalnya kinerja pengelolaan BTNGHS saat ini. Beberapa faktor yang berpengaruh antara lain tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan dan lahan, lemahnya koordinasi yang terbangun di antara stakeholders. Berbagai upaya konservasi dan rehabilitasi sebagai salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan TNGHS. Kapasitas pengelolaan TNGHS pada saat ini dinilai lemah oleh para pihak, khususnya berkenaan dengan BTNGHS 2007: a. Struktur BTNGHS belum memadai untuk mengatasi seluruh permasalahan yang dihadapi. b. Sumber daya terbatas dana, SDM, sarana dan prasarana. c. Hubungan antar unit organisasi BTNGHS belum berjalan optimal.