Perubahan Tutupan Lahan Desa Kajian

Tabel 79. Perubahan tutupan lahan delapan desa kajian tahun 2000 – 2005 dan tahun 2005 – 2010 Tutupan lahan ha DIF TPL CPL MTC SCH UDF BRL 2000–2005 -118,93 -2,46 - 60,84 35,10 155,58 -18,65 14,30 2005–2010 0,00 -757,07 0,00 757,14 0,00 0,00 0,00 Keterangan: DIF Hutan lahan kering terganggu; TPL Hutan Tanaman; CPL Tanaman perkebunan; MTC Agroforestri; SCH Semak; UDF Hutan lahan kering tidak terganggu; BRL Lahan terbuka

1. Kondisi Tutupan Lahan Desa Cipeuteuy

Sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 2.115 ha atau sekitar 56,45 dari total luas wilayah desa. Penggunaan lahan oleh masyarakat dilakukan sejak sebelum adanya penunjukkan kawasan menjadi taman nasional, yaitu pada masa pengelolaan oleh Perum Perhutani. Sebagian besar responden melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional. Penggunaaan lahan garapan kawasan taman nasional untuk dijadikan sawah dan kebun. Lahan yang digarap masyarakat adalah lahan hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000 sampai 2005 tidak terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Cipeuteuy. Namun sejak tahun 2005 sampai 2010 terjadi perubahan tutupan lahan, yaitu meningkatnya luas lahan agroforestri dan menurunnya luas lahan hutan tanaman dan semak belukar. Telah terjadi penurunan luas hutan tanaman menjadi lahan agroforestri sebesar 652,35 ha yang semula 2.087,98 ha menjadi 1.435,63 ha. Kondisi ini muncul setelah adanya perluasan kawasan TNGHS yang semula dikelola oleh Perum Perhutani. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya deforestasi akibat lemahnya kapasitas pengelolaan BTNGHS. Tingginya permintaan cabe dan dengan nilai jual yang tinggi membuat masyarakat di sekitar kawasan menanam tanaman pertanian secara besar-besaran. Selain itu karena adanya pemasok modal di sekitar desa dalam penanaman jenis ini, yang mengakibatkan terjadinya perambahan lahan kawasan menjadi lahan pertanian. Jenis tanaman pertanian yang ditanam di lahan garapan antara lain: Kacang panjang, cabe, kol, sawi putih, kubis, tomat, buncis, dan terong. Meluasnya perambahan lahan kawasan terjadi pada saat peralihan pengelolaan pada tahun 2003, dimana Perum Perhutani sudah melepaskan pengelolaannya sementara Balai Taman Nasional belum siap mengelola karena secara administrasi penunjukkannya baru terselesaikan pada tahun 2006. Di sisi lain luas lahan semak belukar mengalami penurunan, yaitu sebesar 74,74 ha menjadi hutan tanaman yaitu dari luasan 630,18 ha menjadi 555,44 ha. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar hutan berupaya melakukan merehabilitasi lahan.

2. Kondisi Tutupan Lahan Desa Lebak Gedong

Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2000 – 2005 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Lebak Gedong dengan menurunnya hutan lahan kering terganggu, lahan agroforestri dan hutan lahan kering tidak terganggu. Terjadi penurunan luas hutan lahan kering tidak terganggu sebesar 18,66 ha menjadi semak belukar yang semula 524,82 ha menjadi 506,16 ha. Selain itu telah terjadi penurunan luas lahan agroforestri sebesar 8,06 ha menjadi semak belukar yang semula 1.665,28 ha menjadi 1.657,22 ha serta penurunan luas hutan lahan kering terganggu sebesar 19,96 ha menjadi semak belukar yang semula 2.594,72 ha menjadi 2.574,76 ha. Terjadinya peningkatan luas semak belukar sebesar 46,67 ha yang semula 62,19 ha menjadi 108,86 ha mengindikasikan telah terjadinya penebangan kayu yang kemudian lahan dibiarkan menjadi semak belukar. Selain itu banyaknya warga masyarakat di sekitar kawasan yang semula melakukan penanaman dengan pola agroforestri semasa pengelolaan oleh Perum Perhutani. Namun setelah adanya penunjukkan kawasan menjadi taman nasional masyarakat tidak melakukan penggarapan lahan dan membiarkan lahan garapan tersebut menjadi semak belukar. Hasil analisis citra landsat tahun 2005 – 2010 tidak terjadi perubahan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat menjaga keberadaan kondisi hutan.

3. Kondisi Tutupan Lahan Desa Malasari

Sebagian besar wilayah Desa Malasari adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 6.470 ha atau sekitar 78,31 dari total luas wilayah desa. Hasil analisis citra landsat tahun 2000 – 2005 terjadi perubahan tutupan lahan dengan menurunnya luas hutan lahan kering sebesar 9,20 ha, yaitu dari 3.658,68 ha menjadi 3649,48 ha menjadi lahan semak belukar. Terjadinya penurunan luas hutan lahan kering ini disebabkan karena masyarakat membiarkan lahan garapannya setelah penebangan, sehingga lahan semak belukar meningkat luasnya, yang semula 1.338,02 ha menjadi 1.347,22 ha. Sebagian besar masyarakat Desa Malasari memanfaatkan sumber daya hutan di lahan garapan masyarakat Eks Perum Perhutani dengan memanfaatkan kayu untuk dijual ke tengkulak dengan harga jual Rp.25.000 – Rp.100.000 yang berdiameter 10 – 25 cm. Jenis kayu-kayuan yang di manfaatkan terdiri dari kayu sengon dan kayu Afrika dengan sistem tebang pilih. Secara de jure di kawasan TNGHS tidak diperkenankan adanya penebangan pohon walaupun penanaman tersebut dilakukan di lahan garapan masyarakat dalam kawasan TNGHS. Hal ini dilakukan karena adanya kebijaksanaan dari pengelola Kepala Resort secara tidak tertulis dengan peraturan, apabila mereka menebang satu pohon maka diwajibkan menanamnya kembali sebanyak 10 pohon. Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2005 – 2010 tidak terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Malasari. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hutan di kawasan TNGHS tetap terjaga oleh masyarakat sekitar hutan. Untuk menjaga kelestarian hutan dan mempertahankan keberadaan hutan maka masyarakat Desa Malasari melakukan berbagai kegiatan dan mengklasifikasikan hutan ke dalam tiga zona, yaitu: 1 zona inti hutan larangan, zona penyangga hutan dudukuhan, dan zona pemanfaatan hutan leumbur; 2 mengadakan kegiatan kampung dengan tujuan konservasi dengan mengadakan patroli ke hutan yang dilakukan setiap dua mingu sekali dengan tujuan mengontrol keberadaan hutan. 4 . Kondisi Tutupan Lahani Desa Mekarnangka Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000, tahun 2005 dan tahun 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Mekarnangka. Hingga akhir tahun 2005 terjadi perubahan tutupan lahan dengan menurunnya hutan tanaman yang semula di kelola Perum Perhutani sebesar 52,67 ha menjadi semak dari luasan 1.079,89 ha menjadi 1.027,21 ha. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya kegiatan penebangan kayu kemudian lahan dibiarkan menjadi semak belukar. Telah terjadi peningkatan luasan semak belukar yang semula sebesar 596,71 ha menjadi 649,48 ha. Penebangan hutan tanaman ini dilakukan oleh pihak Perum Perhutani karena adanya perubahan fungsi kawasan, sehingga pihak Perum melakukan penebangan sebelum kawasan ini diserahkan ke pihak Balai Taman Nasional. Hasil analisis citra landsat dari tahun 2005 sampai tahun 2010 telah terjadi perubahan penutupan lahan. Perubahan tutupan lahan dengan menurunnya luas hutan tanaman sebesar 104,80 ha dari 1.027,21 ha menjadi 922,42 ha menjadi lahan agroforestri. Hal ini mengindikasikan telah terjadi deforestasi yang disebabkan terjadinya perambahan kawasan oleh masyarakat sekitar hutan akibat lemahnya kapasitas pengelolaan BTNGHS.

5. Kondisi Tutupan Lahan di Desa Pangradin

Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2000 – 2005 telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Pangradin. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan tanaman perkebunan sebesar 48,09 ha yang semula 2.492,16 ha menjadi 2.444,07 ha menjadi semak belukar. Telah terjadi peningkatan luasan semak belukar yang semula 11,16 ha menjadi 58,20 ha. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya penebangan tanaman perkebunan dengan jenis tanaman karet kemudian membiarkan lahan tersebut menjadi lahan terbuka yang ditumbuhi semak. Hasil analisis citra landsat dari akhir tahun 2005 ke akhir tahun 2010, diketahui bahwa tidak terjadi perubahan luasan penggunaan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sekitar kawasan menjaga keberadaan kondisi hutan setelah adanya penunjukkan perluasan kawasan yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi.

6. Kondisi Tutupan Lahan di Desa Sirnaresmi

Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000–2005 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Sirnaresmi. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luasan hutan tanaman sebesar 4,39 ha menjadi lahan agroforestri yang semula 3.227,60 ha menjadi 3.223,21 ha. Luas lahan agroforestri mengalami kenaikan yang semula seluas 347,32 ha menjadi 351,71 ha. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan yang berupa hutan tanaman yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi terjadi pada tahun 2003. Pihak Perum Perhutani telah melepaskan pengelolaannya namun pihak pengelola TNGHS belum siap mengelola dan secara administrasi pelimpahan pengelolaan belum selesai, sehingga terjadi perluasan kawasan agroforestri oleh masyarakat sekitar hutan. Bentuk pemanfaatan sumber daya alam berlangsung sejak sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS. Pada umumnya kegiatan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian telah berlangsung sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi TNGHS. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra et al . 2005, didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Hasil analisis citra landsat dari akhir tahun 2005 ke akhir tahun 2010, diketahui bahwa terjadi perubahan luasan pada areal hutan tanaman dan semak belukar. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luasan hutan tanaman sebesar 74,67 ha menjadi semak belukar yang semula 3.223,21 ha menjadi 3.148,54 ha. Hal ini menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS yang disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging. Prasetyo dan Setiawan 2006 mengemukakan bahwa sampai tahun 2004 telah terjadi degradasi dan deforestasi di kawasan TNGHS dengan rata-rata sebesar 1,3 per tahun yang disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging, penambangan emas liar dan perambahan hutan. Deforestasi terjadi akibat lemahnya kebijakan pengelolaan hutan alam di kawasan Halimun sebelum perluasan taman nasional, lemahnya kapasitas pengelolaan, dan lemahnya dukungan para pihak dan masyarakat terhadap ekosistem TNGHS BTNGHS 2007. Pada masa peralihan pengelolaan merupakan masa transisi dari tahun 2003 sampai 2006, karena secara adminstrasi pelimpahan kawasan baru terselesaikan pada tahun 2006. Pada masa transisi ini memicu terjadinya akses terbuka open acces yang mendorong eksploitasi sumber daya secara tidak terkendali.

7. Kondisi Tutupan Lahan Desa Tamansari

Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Tamansari. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luas hutan tanaman sebesar 20,87 ha yang semula 244,43 ha menjadi 223,56 ha menjadi lahan agroforestri. Terjadi perubahan penggunaan lahan seluas 12,76 ha yang semula tanaman perkebunan menjadi lahan agroforestri. Terjadinya kenaikan luas lahan agroforestri sebesar 38,67 ha yang semula 83,40 ha menjadi 122,16 ha. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan permintaan pasar akan produk-produk pertanian. Peningkatan lahan agroforestri ini karena kawasan merupakan hutan produksi Perum Perhutani yang pengelolaannya melalui pola PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Hasil analisis citra landsat dari tahun 2005 sampai tahun 2010 tidak terjadi perubahan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan masyarakat di sekitar kawasan menjaga keberadaankondisi hutan setelah adanya penunjukkan kawasan yang sebelumnya di bawah pengelolaan Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi. Tanaman yang diusahakan di wilayah ini merupakan tanaman poh-pohan yang ditanam di bawah tegakan pinus dan damar. Tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang tertutup naungan, sehingga masyarakat menjaga keberadaankondisi hutan dengan baik. Desa ini sebagai sentra tanaman poh- pohan di wilayah Bogor.