menunjukkan bahwa pendidikan non formal berkorelasi positif terhadap jaringan dan tindakan proaktif pada masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat di
Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik individu di masing-masing wilayah berbeda.
Tingkat pendapatan tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial. Hal ini karena mayoritas warga menjual hasil produksinya kepada tengkulak, sehingga
tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Masyarakat tidak bersedia untuk memberikan sumbangan berupa uang dalam memperbaiki lingkungan maupun
membantu sesama karena rendahnya pendapatan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Siswiyanti 2006 bahwa pendapatan yang tinggi cenderung
membuat orang berpartispasi lebih dibandingkan dengan masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung memiliki kesempatan yang terbatas.
Tingkat kesehatan berkorelasi negatif terhadap kepercayaan dengan nilai korelasi 0,128 dan nilai p 0,028 dan berkorelasi positif dengan kepedulian
lingkungan. Hubungan antara tingkat kesehatan dan kepercayaan tergolong lemah, peningkatan tingkat kesehatan mempengaruhi kepercayaan yang semakin
menurun. Mereka yang berumur tua dengan tingkat kesehatan yang kurang baik pada umumnya lebih dapat dipercaya dari yang berumur muda. Tingkat kesehatan
berkorelasi positif terhadap kepedulian lingkungan dengan nilai korelasi 0,146 dan nilai p 0,012. Menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kesehatan dengan
peduli lingkungan tergolong lemah. Semakin baik kesehatan seseorang maka semakin peduli orang tersebut terhadap lingkungan. Masyarakat di sekitar
kawasan umumnya berusia produktif dengan tingkat kesehatan yang prima, dan peduli terhadap lingkungan dalam melakukan hal-hal yang terpuji untuk
kepentingan bersama seperti menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga keamanan bersama.
Luas lahan garapan berkorelasi positif dengan jaringan sosial dengan nilai korelasi 0,200 dan nilai p 0,001 dan berkorelasi positif dengan tindakan proaktif
dengan nilai korelasi 0,228 dan nilai p 0,000. Hubungan antara luas lahan garapan dengan jaringan sosial dan tindakan proaktif sangat nyata. Peningkatan luas lahan
garapan mempengaruhi jaringan sosial dan tindakan proaktif yang meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa modal fisik lahan berperan dalam modal
sosial terutama dalam tingkat jaringan sehingga seseorang mau berpartisipasi dalam organisasi yang dianggap berperan penting dalam kehidupan keluarganya
terutama dalam meningkatkan pendapatan, dan berbagi informasi. Mereka mau berinteraksi sosial dalam rangka mengelola sumber daya yang dimilikinya.
Semakin luas lahan seseorang maka tindakan proaktif semakin tinggi. Hal ini dilakukan dalam menjaga kepentingan bersama, sehingga mau berbagi informasi,
rela melakukan tindakan terpuji untuk kepentingan keamanan bersama dan lingkungan.
Lama tinggal dan status sosial tidak berkorelasi dengan unsur-unsur modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Lama tinggal tidak berkorelasi
dengan unsur modal sosial sejalan dengan penelitian Marwoto 2013, namun status sosial berkorelasi positif dengan tindakan proaktif pada masyarakat di
Kecamatan Giriwoyo dalam pengelolaan hutan rakyat. Berlainan dengan penelitian Rinawati 2012 bahwa status sosial berkorelasi positif terhadap
jaringan, norma dan tindakan proaktif tetapi berkorelasi negatif terhadap
kepedulian dalam pengelolaan hutan rakyat di Sub Das Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor. Hal ini karena karakteristik indivudu pada setiap wilayah yang berbeda.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat karakteristik individu tidak memiliki hubungan dengan tingkat modal sosial. Berbeda dengan penelitian
Rinawati 2012 yang menunjukkan bahwa tingkat karakteristik individu di Sub Das Cisadane Hulu berkorelasi positif dengan jaringan sosial dan kepedulian.
Perbedaan ini karena pada umumnya di setiap wilayah yang berbeda mempunyai karakteristik individu yang berbeda pula.
5.8. Hubungan Antara Modal Sosial dengan Unsur Pembentuk Modal Sosial
Berdasarkan analisis Peringkat Spearman maka diperoleh hasil bahwa modal sosial masyarakat di sekitar kawasam TMGHS berkorelasi nyata dengan
sebagian besar unsur-unsur pembentuknya. Berdasarkan Tabel 69 dapat dilihat bahwa kepercayaan berkorelasi positif dengan jaringan dengan nilai korelasi
0,293 dan nilai p 0,000, norma sosial dengan nilai korelasi 0,336 dan nilai p 0,000, dan tindakan proaktif dengan nilai korelasi 0,346 dan nilai p 0,000. Hal
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan maka semakin tinggi jaringan sosial dan tindakan proaktif. Peningkatan kepercayaan mempengaruhi
norma sosial yang meningkat pula. Bagi masyarakat pedesaan kepercayaan merupakan hal yang paling utama, tanpa adanya kepercayaan maka jaringan dan
tindakan proaktif tidak akan terlaksana. Pranadji 2006 mengemukakan bahwa kekuatan kerjasama dan jaringan yang terbentuk di masyarakat merupakan
pengembangan operasional dari hubungan yang saling percaya antara anggota masyarakat. Semakin tinggi tingkat kepercayaan maka semakin tinggi norma
sosial yang dipatuhi, serta jaringan dan tindakan proaktif yang semakin tinggi. Keberadaan norma sosial yang terdapat dalam struktur sosial menciptakan
jaringan kebersamaan, dan kepercayaan dalam komunitas.
Jaringan berkorelasi positif dengan norma sosial nilai korelasi 0,315, dan nilai p 0,000, tindakan proaktif nilai korelasi 0466, dan nilai p 0,000 dan
kepedulian terhadap lingkungan nilai korelasi 0,185, dan nilai p 0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jaringan mempengaruhi, norma sosial,
tindakan proaktif dan kepedulian terhadap lingkungan yang meningkat pula.
Norma sosial berkorelasi positif terhadap tindakan proaktif dengan nilai korelasi 0,466 dan nilai p 0,000, artinya peningkatan norma sosial mempengaruhi
peningkatan tindakan proaktif yang meningkat pula. Norma berkorelasi negatif terhadap kepedulian terhadap sesama dengan nilai korelasi 0,128 dan nilai
p 0,027, artinya peningkatan norma mempengaruhi kepedulian terhadap sesama yang semakin menurun.
Kepedulian terhadap sesama berkorelasi positif terhadap kepedulian terhadap lingkungan dengan nilai korelasi 0,287 dan nilai p 0,000. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian terhadap sesama maka semakin tinggi tingkat kepedulian terhadap lingkungan.
Berdasarkan Tabel 69 menunjukkan bahwa, modal sosial masyarakat di pengaruhi oleh tingkat kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan proaktif dan
tingkat kepedulian terhadap lingkungan tetapi tidak dipengaruhi oleh kepedulian terhadap sesama. Korelasi yang terjadi berupa korelasi positif yang menunjukkan
semakin tinggi tingkatan unsur-unsur tersebut, semakin tinggi modal sosial yang
terbentuk. Tetapi norma sosial berkorelasi negatif terhadap kepedulian sesama, artinya semakin tinggi norma sosial maka semakin menurun kepedulian terhadap
sesama.
Tabel 69. Hubungan antara modal sosial dengan unsur-unsur pembentuk modal sosial
N o
Korelasi Keper
cayaan Y1
Jaring- an
sosial Y2
Norma sosial
Y3 Tinda-
kan proaktif
Y4 Peduli
terhadap sesama
Y5 Peduli
terhadap lingkung
-an Y6 Tingkat
modal sosial
Y 1
Kepercayaan Y1
-.
.293 .336
.346
-.016 .049
.513
2 Jaringan Y2
.293 -
.315 .466
.055 .185
542
3 Norma sosial
Y3
.336 .315
-
.466 -.128
-.003
.580
4 Tindakan
proaktif Y4
.346 .466
.466
- -.054
.075
.598
5 Peduli
terhadap sesama Y5
-.016 .055
-.128 -.054
- .287
-.032 6
Peduli terhadap
lingkungan Y6
.049 .185
-.003 .075
287
-
.130
7 Tingkat modal
sosial Y
.513 .542
580 .598
-.032
.130
- Keterangan: korelasi nyata pada taraf 0,05
korelasi nyata pada taraf 0,01
Nilai korelasi antara modal sosial dan unsur pembentuknya secara berturut- turut dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah kepedulian terhadap
lingkungan 0,130, kepercayaan 0,513, jaringan sosial 0,542, norma sosial 0,580 dan tindakan proaktif 0,598, sedangkan kepedulian terhadap sesama
tidak berkorelasi secara nyata dengan modal sosial 0,032. Hal ini sejalan dengan penelitian Oktadiyani 2010 yang menyatakan bahwa unsur kepercayaan,
jaringan, norma, tindakan proaktif dan kepedulian berpengaruh nyata terhadap modal sosial masyarakat Kutai dalam pengembangan ekowisata.
Modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS berdasarkan korelasi yang terjadi memiliki keharusan adanya kepercayaan, dan syarat-syarat
kecukupan lainnya yang terdiri jaringan, norma, tindakan proaktif dan kepedulian terhadap lingkungan. Modal sosial masyarakat sekitar kawasan TNGHS tidak
berkorelasi nyata dengan kepedulian terhadap sesama, tinggi rendahnya modal sosial masyarakat tidak mempengaruhi kepedulian terhadap sesama.
5.9. Hubungan Modal Sosial Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan TNGHS
Salah satu faktor tingkat keberhasilan program pembangunan termasuk pembangunan pengelolaan TNGHS adalah faktor kultural masyarakat dalam
bentuk modal sosial. Tingginya modal sosial dapat mendorong masyarakat untuk terlibat dalam tindakan kolektif. Keberhasilan program pembangunan dalam
pengelolaan TNGHS memerlukan tindakan kolektif yang berdasar pada partisipasi masyarakat. Berdasarkan analisis Peringkat Spearman menunjukkan bahwa modal
sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS berperan dalam pembangunan pengelolaan TNGHS, namun bukan dalam bentuk partisipasinya tetapi lebih ke
arah tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS. Hubungan antara modal sosial dan karakteristik individu dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS sebagaimana tersaji pada Tabel 70.
Tabel 70. Hubungan antara modal sosial dan karakteristik individu dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS
No Partisipasi
Tingkat partisipasi 1
Tingkat karakteristik individu X -.021
.047 2
Tingkat modal sosial Y .021
.223
Keterangan: korelasi nyata pada taraf 0,01
Berdasarkan Tabel 70 diperoleh hasil bahwa tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara tingkat karakteristik individu dengan partisipasi
maupun tingkat partisipasi. Begitupula tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara tingkat modal sosial dengan partisipasi dalam pembangunan
pengelolaan TNGHS. Hal ini sejalan dengan penelitian Rinawati 2012 yang menyebutkan bahwa tidak berhubungan nyata antara modal sosial dengan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat di Sub DAS Cisadane Hulu. Masyarakat yang memiliki modal sosial rendah sampai tinggi terlibat dalam
program
pembangunan pengelolaan
TNGHS khususnya
dalam program
rehabilitasi lahan di kawasan TNGHS karena adanya motivasi ekonomi. Masyarakat yang terlibat dalam rehabilitasi lahan TNGHS mendapat upah
penanaman sebesar Rp 30.000,-hari dengan rata-rata setiap warga yang terlibat mendapatkan Rp 150.000orang.
Korelasi nyata ditunjukkan oleh tingkat modal sosial dengan tingkat partisipasi dalam pembangunan pengelolaan TNGHS dengan nilai korelasi 0,223
dan nilai p 0,000. Hubungan positif tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat modal sosial masyarakat maka semakin tinggi tingkat partisipasinya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Putnam 1993 yang menyebutkan bahwa modal sosial yang tinggi akan berdampak pada tingginya partisipasi masyarakat dalam
berbagai bentuk. Partisipasi masyarakat tercermin dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri masyarakat dalam rangka pelaksanaan program-program pemerintah
dan program pembangunan pengelolaan TNGHS. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan program tersebut memerlukan kepercayaan, jaringan, norma-norma yang
berlaku, tindakan proaktif dan kepedulian. Namun partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS tidak hanya ditentukan oleh modal sosial
masyarakat, tetapi ditentukan juga oleh modal fisik, dan modal manusia. Dalam rangka pembangunan pengelolaan TNGHS tidak hanya dalam bentuk penguatan
modal sosial masyarakat, tetapi juga peningkatan modal manusia melalui peningkatan kemampuan melalui keterampilan masyarakat dalam rangka
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan supaya hidupnya tidak tergantung pada hutan.
5.10. Vegetasi dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh Masyarakat Sekitar Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dengan masyarakat sekitar hutan adalah produk hasil hutan bukan kayu HHBK. HHBK
mempunyai manfaat
untuk konservasi
sumber daya
hutan dan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal dalam mengurangi kemiskinan
Ahenkan dan Boon 2011. Oleh karena itu, keterlibatan langsung masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam menjaga kelestarian kawasan TNGHS perlu
diupayakan. Pemungutan HHBK pada kawasan TNGHS merupakan salah satu alternatif yang dapat mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat sekitar
hutan.
Pengukuran vegetasi tanaman damar Agathis dammara dilakukan di Desa Cipeuteuy. Tanaman damar di kawasan TNGHS pada mulanya sebagai hutan
produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani sebelum adanya perluasan kawasan menjadi TNGHS. Desa Cipeuteuy berada pada ketinggian 750 – 800 meter di atas
permukaan laut mdpl dengan topografi berbukit. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.600 mmtahun. Iklim di wilayah ini menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson 1951 termasuk Tipe B. Suhu udara berkisar antara 18–32°C dengan suhu rata-rata 26°C dan rata-rata kelembaban nisbi 79. Sebagian besar wilayah
Desa Cipeuteuy adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 2.115 ha atau sekitar 56,45 dari total luas wilayah desa sebesar 3.746 ha
Pemerintah Kabupaten Sukabumi Desa Cipeuteuy 2011.
Pengukuran vegetasi tanaman Pinus merkusii dilakukan di Desa Tamansari. Tanaman pinus di kawasan TNGHS pada mulanya sebagai hutan produksi yang
dikelola oleh Perum Perhutani sebelum adanya perluasan kawasan menjadi TNGHS. Desa Tamansari berada pada ketinggian 500–740 meter di atas
permukaan laut dengan topografi berombak, berbukit dan bergunung. Suhu udara berkisar antara 22–28°C dengan kelembaban nisbi 65–72. Iklim di wilayah
ini menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson 1951 termasuk Tipe B, dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.600 mmtahun. Sebagian besar wilayah
Desa Tamansari adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 600 ha atau sekitar 64,14 dari total luas wilayah desa sebesar 935 ha
Pemerintah Kabupaten Bogor Desa Tamansari 2011. Tanaman pinus dapat hidup optimal pada suhu 19–28°C pada ketinggian 200–1700 m dpl dan curah
hujan 900–3.000 mmtahun Siswamartana et al., 2002. Kondisi suhu dan curah hujan serta ketinggian tempat di Desa Tamansari, cocoksesuai untuk
pertumbuhan tanaman pinus Pinus merkusii.
Pengukuran potensi tanaman karet dilakukan di Desa Pangradin. Tanaman karet di kawasan TNGHS merupakan penanaman masyarakat sejak masa transisi
perluasan kawasan menjadi TNGHS yang pada mulanya merupakan hutan tanaman pinus yang dikelola oleh Perum Perhutani. Desa Pangradin berada pada
ketinggian 250–400 meter di atas permukaan laut dengan topografi berombak, berbukit dan bergunung. Suhu udara berkisar antara 24–32°C dengan kelembaban
rata-rata 80. Rata-rata curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.500 mmtahun. Luas hutan TNGHS di Desa Pangradin seluas 85 ha atau 7,23 dari total luas
desa sebesar 1.175 ha Pemerintah Kabupaten Bogor Desa Pangradin 2011