5.2.11. Tingkat Pendapatan
Pendapatan keluarga diukur dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah dikonversi menjadi per bulan, satuannya adalah
rupiah per bulan. Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang
lahan yang dimilikinya. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh pendapatan responden, baik dari pendapatan utamapokok maupun
pendapatan dari pekerjaan sampingan dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan kondisi masyarakat yang bergerak di sektor
pertanian maka tentu saja sektor tersebut yang menjadi sumber penerimaan utama kepala keluarga.
Berdasarkan hasil perhitungan persamaan selang nilai Supranto 2000 maka didapatkan bahwa pendapatan responden di bawah Rp 800.000 dengan kategori
rendah, pendapatan Rp 800.000 sampai Rp 1.500.000 dengan kategori sedang dan pendapatan di atas Rp 1.500.000 dengan kategori tinggi. Pada Tabel 26 terlihat
bahwa sebagian besar responden 43,8 memiliki total pendapatan antara Rp 800.000 sampai Rp1.500.000bulan dengan kategori tingkat pendapatan
sedang. Rata-rata pendapatan responden sebesar Rp 1.182.000 per bulan dengan selang antara Rp 356.000 sampai Rp 2.650.000,- Tabel 27. Tingkat pendapatan
masyarakat di sekitar kawasan TNGHS berada di bawah upah minimum reginal UMR provinsi Jawa Barat Kabupaten Bogor yaitu sebesar Rp 2.042.000, dan
Kabupaten Sukabumi sebesar Rp 1.201.000 maupun Provinsi Banten Kabupaten Lebak sebesar Rp 1.187.000,-.
Tabel 26. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan berdasarkan pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan
N o
Lokasi desa penelitian
Jumlah respon-
den Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan dari
pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan Rpx1.000 Rp 800
Katagori rendah
Rp 800 – 1.500 Katagori
sedang Rp 1.500
Katagori tinggi
1 Tamansari 30
6 20,0
17 56,6
7 23,4
2 Tapos I 30
7 23,3
14 46,6
9 30,1
3 Sirnaresmi 32
14 43,8
8 25,0
10 31,3
4 Mekarnangka 28
10 35,7
14 50,0
4 14,3
5 Cipeuteuy 58
7 12,1
31 53,4
20 34,5
6 Pangradin 36
5 13,9
13 36,1
18 50,0
7 Malasari 53
7 13,2
19 35,9
27 50,9
8 Lebak Gedong 30
11 36,6
14 46,6
5 16,8
Jumlah responden Persentase
297 67
22,6 130
43,7 100
33,7
Penghasilan responden dari hasil pertanian tidak menentu, sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, dan faktor pasar penawaran dan permintaan
barang. Pasar hasil pertanian juga dikuasai tengkulak sehingga sebagian besar petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Sebanyak 67 responden atau
22,56 termasuk keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah, yaitu di bawah Rp 800.000bln. Sebagian besar responden tidak mempunyai pekerjaan
sampingan. Tingkat pendapatan di Desa Pangradin relatif lebih tinggi dari pendapatan desa lainnya, terutama bersumber dari hasil menyadap karet di lahan
milik maupun lahan garapan di kawasan TNGHS.
Tabel 27. Rata-rata pendapatan responden N
o Desa
penelitian Jumlah
responden Rata-rata pendapatan
responden Rpbln Selang pendapatan
responden Rpbln 1
Tamansari 30
1.079.000 420.000 – 2.260.000
2 Tapos I
30 1.171.000
433.000 – 2.455.000 3
Sirnaresmi 32
1.087.000 464.000 – 2.566.000
4 Mekarnangka
28 962.000
356.000 – 1.949.000 5
Cipeuteuy 58
1.176.000 567.000 – 1.976.000
6 Pangradin
36 1.450.000
525.000 – 2.650.000 7
Malasari 53
1.385.000 668.000 – 2.457.000
8 Lebak Gedong
30 960.000
357.000 – 1.994.000
a. Pendapatan responden dari lahan garapan TNGHS
Mayoritas responden mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani, untuk mencukupi kebutuhn hidupnya masyarakat sangat tergantung dari lahan
garapan kawasan TNGHS. Pada Tabel 28 dapat di lihat bahwa sebagian besar responden 73,7 memiliki tingkat pendapatan dari penggunaan lahan TNGHS
dengan kategori rendah Rp 500.000bulan, dengan rata-rata Rp 411.000bulan, dan hanya sebagian kecil responden dengan tingkat pendapatan sedang 23,9
sampai tinggi 2,4. Tingkat pendapatan responden di Desa Pangradin relatif lebih tinggi desa lainnya, yaitu dengan tingkat pendapatan pada katagori sedang
55,5
sampai tinggi
13,8, dengan
rata-rata pendapatan
sebesar Rp 817.000bulan. Hal ini dikarenakan mereka mendapatkan penghasilan setiap
hari dari hasil sadapan getah karet dalam menunjang kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Hasil hutan bukan kayu terbukti dapat memberikan dampak pada
peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan Suwardi dan Dendi 2001. Walaupun pendapatan dari hasil sadapan getah karet lebih tinggi, namun hal ini
tidak sejalan dengan konsep konservasi, karena tanaman karet Hevea brasiliensis
merupakan jenis tanaman eksotik di taman nasional. van Wilgen dan Richardson 2012 mengemukakan bahwa jenis tanaman eksotik akan berdampak
pada spesies alami dan dapat mengakibatkan kepunahan spesies. Pengelolaan hutan perlu diarahkan sebagai penghasil HHBK yang dapat membuka kegiatan
dan penghasilan bagi masyarakat lokal dengan memperhatikan faktor ekologisnya. Rata-rata tingkat pendapatan terendah dari penggunaan lahan garapan masyarakat
di kawasan TNGHS yaitu di Desa Mekarnangka dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 194.000bulan. Hal ini karena terjadinya penurunan produktivitas
lahan. Pada umumnya masyarakat menanam jenis tanaman singkong Manihot utilisima
di lahan
garapan kawasan
TNGHS. Yudilastiantoro
2011 mengemukakan bahwa produksi tanaman pangan yang diusahakan dipengaruhi
oleh kondisi naungan. Semakin ternaungi oleh kanopi semakin rendah produktivitasnya.