Pada Gambar 8 dapat di lihat bahwa sebagian besar responden tidak memiliki lahan sawah di kawasan TNGHS, yaitu sebanyak 174 responden atau
58,59 dari total responden. Sebanyak 41,41 responden memiliki sawah di kawasan TNGHS dengan luas yang bervariasi, yaitu berkisar antara 0,02–0,25 ha
dengan katagori sedang 31,65, dan kegori tinggi 9,76 dengan selang antara 0,28–1,5 ha. Semua responden 100 di Desa Pangradin dan Desa Tamansari
tidak mempunyai lahan garapan sebagai sawah. Masyarakat Desa Pangradin tidak memiliki lahan sawah di kawasan karena mereka lebih tertarik memanfaatkan
lahan garapan TNGHS sebagai kebun karet, sehingga mendapatkan penghasilan setiap hari dari hasil sadapan getah karet. Masyarakat Desa Tamansari tidak
menggunakan lahan garapan sebagai sawah, yaitu dengan memanfaatkan lahan kawasan melalui penanaman tanaman poh-pohan dibawah tegakan pinus dan
damar. Sebagian besar responden di ke-tiga desa penelitian, yaitu di Desa Sirnaresmi 71,90, Desa Malasari 50,95 dan Desa Mekarnangka 53,57
menggarap sawah di lahan kawasan TNGHS dengan katagori sedang ≤0,25 ha, sedangkan di Desa Lebak Gedong 50,0 dengan kategori tinggi 0,25 ha.
Sebagian besar responden 91,25 menggunakan lahan kawasan TNGHS sebagai kebun dengan luas lahan yang bervariasi, yaitu berkisar antara 0,01–3,0
ha. Sebagain besar responden memiliki kebun dengan luas katagori sedang 54,21 sampai kategori tinggi 35,04. Sebagian besar responden di Desa
Pangradin 63,80 dan Desa Lebak Gedong 76,70 memiliki kebun dengan luas kategori tinggi, yaitu rata-rata 1,0 ha di Desa Pangradin dan 0,63 ha di Desa
Lebak Gedong. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
subsisten Harada et al. 2001. Tingkat ketergantungan lahan akan semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk di dalam dan di sekitar kawasan
TNGHS.
Gunawan et
al. 2013
juga mengemukakan
bahwa tingkat
ketergantungan lahan untuk usaha tani di kawasan taman nasional oleh eks peserta PHBM masa pengelolaan Perum Perhutani menjadi semakin meningkat dengan
semakin bertambahnya pendududuk, sementara
ketersediaan lahan tidak
bertambah.
d. Tahun garapan responden di kawasan TNGHS
Mulai menggarapnya responden di kawasan TNGHS dibagi dalam tiga periode, yaitu sebelum tahun 2003, tahun 2003–2006 dan di atas tahun 2007.
Sebelum tahun 2003 adalah sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS, sedangkan pada tahun 2003–2006 adalah masa transisi setelah adanya
penunjukkan perluasan kawasan TNGHS dimana Perum Perhutani telah melimpahkan kawasan hutan namun pelimpahan perluasan kawasan baru
terselesaikan tahun 2006. Tahun 2007, kawasan TNGHS secara administrasi di kelola oleh BTNGHS.
R e
sp o
n d
e n
Desa Penelitian Tahun garapan responden di lahan kawasan TNGHS
2003 2003-2006
2007-2011
Gambar 9. Sebaran responden mulai menggarap lahan kawasan TNGHS
Pada Gambar 9 dapat di lihat bahwa rata-rata responden telah menggarap lahan di kawasan TNGHS berkisar antara 2 sampai 30 tahun dengan rata-rata
12,76 tahun. Sebagian besar responden 63,63 telah menggarap lahan kawasan TNGHS sebagai lahan perkebunan atau pertanian sejak sebelum adanya perluasan
penunjukkan kawasan menjadi taman nasional, yaitu semenjak pengelolaan oleh Perum Perhutani dengan pola PHBM. Hasil penelitian Galudra 2005, didapatkan
bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.
Sebanyak 45 responden atau 15,16 dari total responden mulai menggarap lahan kawasan sebagai lahan pertanian atau perkebunan setelah adanya
penunjukkan kawasan menjadi taman nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa selama masa transisi pengelolaan telah terjadi perambahan kawasan oleh
masyarakat sekitar hutan, karena sejak tahun 2003 Perum Perhutani telah melimpahkan pengelolaannya ke pihak Balai Taman Nasional, sedangkan proses
administrasi pelimpahan baru terealisasi pada tahun 2006.
Beberapa responden mulai menggarap lahan kawasan TNGHS sejak tahun 2007–2011, yaitu sebesar 21,21 atau 63 responden dari total responden. Hal ini
terjadi karena terbatasnya kemampuan pengelola taman nasional dalam melakukan pengamanan taman nasional karena areal kawasan konservasi yang
relatif luas. Selain itu kuantitas jumlah tenaga pengelola taman nasional masih sangat terbatas, terutama tenaga lapangan. Saat ini hanya terdapat 45 orang
jagawana yang bertugas melindungi kawasan TNGHS dengan luas sekitar 113.357 hektar. Dunggio dan Gunawan 2009 mengemukakan bahwa selain
partisipasi
masyarakat, keberhasilan
pengelolaan taman
nasional sangat
ditentukan juga oleh kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Oleh karena itu pihak pengelola perlu meningkatkan pengawasan supaya tidak terjadinya
perluasan penggunaan lahan kawasan TNGHS oleh masyarakat.