Kelembagaan Formal Strategi WT

bahwa kekayaan alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Dunggio dan Gunawan 2009. Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 maupun Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998 belum menyebutkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional, padahal masyarakat merupakan bagian dari ekosistem hutan. Pengelolaan taman nasional tidak terlepas dari masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan. Pengelolaan taman nasional tidak bisa hanya dapat dikelola oleh single institution tetapi harus melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarkat di sekitar hutan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya TNGHS dengan mengadopsi modal sosial masyarakat di sekitar hutan. Suharjito 2009 mengemukakan bahwa konsep pembangunan partisipatif masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan upaya pengakuan dan penghormatan atas keseteraan sosial, pengetahuan dan hak-hal masyarakat lokal yang lebih harmonis dan lebih makmur dengan kondisi lingkungan yang lestari Berdasarkan uraian di atas maka Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka UU No 5 Tahun 1990 dan PP No 68 Tahun 1998 perlu disempurnakan dengan memasukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional dalam mengakomodir kepentingan sosial, ekonomi, budaya masyarakat lokal dan ekologi secara seimbang.

c. Perkembangan Konsep Pengelolaan Taman Nasional

“Pemerintah terus mencari konsep pengelolaan taman nasional yang ideal atau yang cocok dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya setempat serta dapat mengakomodir semua kepentingan. Kebijakan pengelolaan taman nasional dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan jaman dan mengakomodir berbagai pihak yang berkepentingan stakeholders. Untuk kepentingan pengaturan pemanfaatan, pemerintah menetapkan zonasi di taman nasional. Kepentingan masyarakat dan kepentingan konservasi diakomodir dalam zona-zona yang ditetapkan, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, dan zona pemanfaatan tradisional” Dunggio dan Gunawan 2009. Sejak kongres ke-dua taman nasional sedunia di Bali tahun 1982, Indonesia mendeklarasikan 11 taman nasional, namun masih mengedepankan pendekatan pengamanan dengan mengutamakan konservasi. Pada kongres taman nasional di Durban tahun 2003 bahwa pengelolaan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, Seiring perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional maka pemerintah Indonesia mulai memperbaiki pola pengelolaan taman nasional dengan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat melalui pola pengelolaan secara kolaboratif dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19Menhut-II2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Dunggio dan Gunawan 2009. Putro 2006 diacu dalam Dunggio dan Gunawan 2009 mengemukakan tentang perkembangan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu:  Pada Kongres IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural Resources di New Delhi tahun 1969 menetapkan bahwa kawasan konservasi harus dikategorisasikan lebih efektif dan efisien.  Pada Kongres CNPPA Commission on National Parks and Protected Areas atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982, setiap unit kawasan konservasi harus membuat rencana pengelolaan sebagai panduan bagi pengelola dalam mencapai tujuan pengelolaan.  Pada Kongres WCPA World Commission on Protected Areas di Caracas tahun 1993 bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan. Berbagai pendekatan seperti pendekatan partsipatif dan pengelolaan secara kolaboratif menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan konservasi.  Hasil Kongres WCPA di Durban, Yordania tahun 2003, bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan konservasi Sesuai hasil kongres WCPA tahun 2003 di Durban, maka pengelolaan taman nasional di Indonesia harus dapat memberikan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan Birgantoro dan Nurrochmat 2007; Marwa et al . 2010. Dalam pengelolaan sumber daya hutan, ditemukan bahwa modal sosial masyarakat memberikan pengaruh yang positif dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan secara lestari Pranadji 2006; Hartoyo et al. 2012; Mulyono 2012. Dalam rangka mewujudkan paradigma baru pengelolaan taman nasional secara terpadu yang multi fungsi, multiguna dan multi manfaat, modal sosial dipandang sebagai suatu unsur yang sangat berperan terhadap keberhasilan program pembangunan. Maka dalam pengelolaan sumber daya hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak perlu mempertimbangkan modal sosial masyarakat.