Vegetasi Tanaman Damar Agathis dammara, Pinus Pinus merkusii

Pada Tabel 73 menunjukkan bahwa terdapat 23 jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami di bawah tegakan Pinus merkusii. Jenis tumbuhan bawah yang mempunyai INP tertinggi adalah tanaman harendong Melastoma affine dengan INP sebesar 37,50, diikuti tanaman andam Dicranopteris dichotoma dengan INP 24,19, pakis teri Pteridophyta dengan INP 21,12, rumput sauheun Orophea hexandra dengan INP 20,54, rumput kipahit Andrographis paniculata dengan INP 19,11 dan rumput Lamotek Curculigo villosa dengan INP 12,71. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saharjo dan Whardana 2011 yang menemukan 23 jenis tumbuhan di bawah tegakan Pinus merkusii di KPH Cianjur Perum Perhutani. Jenis tumbuhan berkhasiat obat dan sering digunakan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai obat tradisional yang tumbuh di bawah tegakan Pinus merkusii, yaitu terdiri dari: tumbuhan Dicranopteris dichotoma sebagai obat infeksi saluran kencing dan obat batuk, Andrographis paniculata sebagai obat demam dan kencing manis, Alsophila glauca sebagai obat diare, Selaginella sp. sebagai obat eksim, Cinnamomum burmannii sebagai obat sariawan, Schefflera sp.sebagai obat rematik, Physalis sp. sebagai obat bisul dan Melastoma affine sebagai obat diare dan sariawan. Tabel 74. Jenis tumbuhan di bawah tegakan Hevea brasiliensis berdasarkan Indeks Nilai Penting di kawasan TNGHS di Desa Pangradin Nama ilmiah K indha KR FR INP Cynodon dactylon 20.000 34,48 13,33 47,82 Melastoma affine 10.500 18,10 16,67 38.97 Ligodium sp. 4500 7,76 13,33 21.09 Pteridophyta 5500 9,48 6,67 16.15 Eleusine indica 4500 7,76 10,0 17.76 Eleusine coracana 2500 4,31 6,67 10,98 Alsophila glauca 1000 1,72 6,67 8.39 Jatropha curcas 2000 3,44 3,33 6.78 Alpinia galanga 1000 1,72 3,33 5.06 Keterangan: KR = Kerapatan relatif; FR = Frekuensi relatif; INP = Index nilai penting Tanaman Karet Hevea brasiliensis yang tumbuh di kawasan TNGHS merupakan penanaman masyarakat sejak masa transisi pengelolaan. Pada mulanya kawasan tersebut merupakan hutan produksi tanaman Pinus merkusii yang dikelola oleh Perum Perhutani. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah menunjukkan bahwa terdapat 13 jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami di bawah tegakan karet Hevea brasiliensis. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Aththoric 2005 yang menemukan 21 jenis tumbuhan di bawah tegakan karet di perkebunan karet Labuhan Batu. Jenis tumbuhan bawah yang paling dominan di lokasi penelitian adalah jampang kawat Cynodon dactylon dengan INP 47,82, diikuti tanaman harendong Melastoma affine dengan INP 38,97, tanaman hata Ligodium sp. dengan INP 21,09, tanaman Pteridophyta dengan INP 16,15. Terdapat lima jenis tanaman berkhasiat obat di bawah tegakan karet yang sering digunakan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai obat tradisional, yaitu Melastoma affine sebagai obat sariawan, Eleusine indica sebagai obat diare, Alsophila glauca sebagai obat diare dengan INP sebesar 8, 4, Jatropha curcas sebagai obat cacing dengan INP sebesar 6,8 dan Alpinia galanga sebagai obat panu dengan INP sebesar 5,1. Tabel 74. Indeks keragaman jenis tumbuhan bawah di bawah tegakan Agathis dammara dengan nilai H’ 2,24, di bawah tegakan Pinus merkusii dengan nilai H’ 2,16 dan di bawah tegakan Hevea brasiliensis dengan nilai H’ 2,10. Nilai keragaman jenis tiga jenis tanaman pada lokasi penelitian termasuk rendah. Menurut Samingan 1997, nilai keragaman sangat tinggi apabila mempunyai nilai H’ di atas 3,40. Indeks keanekaragaman jenis yang rendah menunjukkan bahwa jenis yang ditemukan tidak begitu banyak dan hanya ditemukan jenis yang sama pada masing-masing tegakan Asmayannur dan Syam 2012. Tabel 75. Tinggi dan diameter pohon Agathis dammara, Pinus merkusii dan Hevea brasiliensis di kawasan TNGHS No Plot Tinggi pohon damar m Diameter pohon damar cm Tinggi pohon Pinus m Diameter pohon Pinus cm Tinggi pohon Karet m Diameter pohon Karetcm 1 17,86 24,65 31,15 34,17 12,18 13,99 2 20,50 25,81 27,19 30,89 10,46 11,85 3 18,67 27,43 26,97 32,77 10,30 10,07 4 20,11 26,42 28,81 30,69 9,57 8,43 5 19,37 27,03 27,01 30,29 9,20 9,45 6 21,46 28,71 26,59 29,85 10,25 10.30 7 21,51 24,31 26,87 32,82 11,30 11,24 8 21,08 28,45 22,61 32,30 12,10 12,15 9 22,20 30,70 12,97 24,08 10,50 11,40 10 19,07 24,21 27,87 32,91 11,15 11,90 11 21,26 27,50 26,19 29,33 10,85 10,89 12 20,42 31,34 18,41 28,00 9,75 11,45 Rata- rata 20,29 27,21 25,22 30,67 10,63 11,09 Parameter yang diamati untuk mengetahui pertumbuhan tiga jenis tanaman di lokasi penelitian adalah tinggi dan diameter pohon. Kondisi tegakan merupakan perlu diketahui untuk menilai keberhasilan penanaman suatu jenis tanaman. Kondisi tersebut dicerminkan oleh beberapa parameter, antara lain yaitu jumlah batanghektar, diameter dan tinggi tanaman Rusdiana dan Amalia 2012. Rata- rata tinggi pohon Agathis dammara, Pinus merkusii dan Hevea brasiliensis di kawasan TNGHS berturut-turut adalah 20,29 meter; 25,22 meter dan 10,63 meter. Rata-rata diameter pohon Agathis dammara, Pinus merkusii dan Hevea brasiliensis di kawasan TNGHS berturut-turut adalah 27,21 cm; 30,67 cm dan11,09 cm Tabel 75. Penelitian Rusdiana dan Amalia 2012 di KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas menunjukkan bahwa semakin bertambah umur tanaman Pinus merkusii, maka semakin bertambah tinggi dan diameter tanaman. Tanaman pinus pada umur tegakan 18 tahun mempunyai tinggi 18,14 meter dan diameter 24,24 cm, sedangkan pada umur tegakan 22 tahun mempunyai tinggi 24,62 meter dan diameter 32,79 cm. Diameter tanaman Pinus merkussi di lokasi penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman Pinus merkussi di KPH Banyumas. Rusdiana dan Amalia 2012 mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman Pinus merkusii dipengaruhi oleh karakteristik tanah, suhu, curah hujan, dan ketinggian tempat.

5.10.2. Pemungutan HHBK di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Pemungutan hasil hutan bukan kayu HHBK oleh masyarakat sekitar hutan dalam penelitian ini terdiri dari pemungutan getah damar, getah pinus dan getah karet. Pemanfaatan HHBK di kawasan konservasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Jacobson dan Shiba 2012, mengemukakan bahwa dalam pengelolaan hutan pengembangan HHBK perlu direncanakan untuk meningkatkan pendapatan alternatif masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumber daya hutan dengan memperhatikan faktor sosial ekonomi masyarakat dan kondisi hutan. Pihak manajemen TNGHS telah melakukan upaya optimalisasi fungsi hutan dengan memanfaatkan potensi yang ada melalui program pemungutan HHBK dan mendaya-gunakan jejaring kerja dengan berbagai pihak, antara lain dengan masyarakat sekitar hutan. Sinergi kolaborasi dengan masyarakat sekitar hutan diharapkan dapat mendukung upaya pencapaian tujuan pengembangan TNGHS. Pihak pengelola menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh pihak pengelola sendiri. Sejalan dengan upaya pengelolaan BTNGHS yang tertuang dalam RPTN 2007 – 2026 dimana kemitraan multipihak merupakan kekuatan sosial untuk menopang pengelolaan TNGHS. Oleh karena itu diperlukan strategi yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat melalui pendekatan sosial ekonomi yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional. Pemungutan HHBK di kawasan konservasi sebagai wujud implementasi dari Peraturan Pemerintah PP No 28 tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Pada pasal 35 disebutkan bahwa” Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu”. Program pemungutan getah pinus Pinus merkusii dan getah damar Agathis dammara di kawasan TNGHS mulai disosialisasikan pada bulan Juni 2012. Program tersebut mulai di laksanakan pada bulan September tahun 2012 berdasarkan MoU Momerandom of Understanding antara masyarakatpetani penyadap, Balai TNGHS yang bekerjasama dengan YPPS Yayasan Pemerhati Pembangunan Sukabumi sebagai penyandang dana dan penampung hasil sadapan getah. MoU tersebut antara lain: a petani penyadap diwajibkan menjual hasil sadapan getah pinus dan damar kepada YPPS dengan harga jual getah yang sudah disepakati, yaitu sebesar Rp 3.000kg; b harus mengikuti petunjuk dan bimbingan teknis yang diberikan oleh petugas; 3 petani penyadap sebagai anggota kelompok tani MKK Masyarakat Kampung Konservasi dan berpartisipasi secara aktif dalam upaya pengamanan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Apabila ada petani penyadap yang melanggar peraturan yang sudah disepakati maka BTNGHS akan mencabut ijin pemungutan HHBK. Pemungutan getah damar di Desa Cipeuteuy dilakukan oleh anggota kelompok Masyarakat Kampung Konservasi MKK Kopel Sukagalih. Tanaman dammar yang terdapat di kawasan TNGHS pada mulanya merupakan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tanaman ini ditanam oleh masyarakat sejak tahun 1993. Jarak lokasi tanaman damar ke perumahan penduduk sekitar 300 meter. Dalam melakukan penyadapan getah damar dilakukan secara bergotong royong oleh anggota MKK Kopel Sukagalih. Jumlah anggota MKK yang terlibat dalam program ini sebanyak 24 orang. Metode penyadapan yang digunakan kowakan atau quarre dimana luka sadapannya berbentuk persegi. Produksi getah damar yang dihasilkan pada panen pertama sebanyak 150 kg dan panen kedua sebanyak 50 kg dari 1.500 pohon yang disadap selama 15 hari penyadapan. Hasil sadapan getah di jual ke YPPS dengan harga jual Rp 3.000kg getah. Jumlah pendapatan kelompok MKK Kopel dari hasil sadapan getah damar sebesar Rp 600.000bulan. Pendapatan dari hasil sadapan getah damar dibagi sama rata pada semua anggota MKK yang terlibat dalam program ini, sehingga setiap anggota mendapatkan Rp 25.000orangbulan. Kontribusi pendapatan getah damar di Desa Cipeuteuy sangat rendah terhadap total pendapatan rumah tangga petani, yaitu sebesar 1,28 sampai 4,41 dengan rata-rata 2,34 Tabel 76. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Wijayanto 2002 yang mengemukakan bahwa getah damar memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumah tangga di Pesisir Krui Kabupaten Lampung Barat, yaitu sebesar sebesar 65 dari total pendapatan rumah tanggga petani. Begitupula pendapat Maryudi 2012 yang mengemukakan bahwa rata-rata pendapatan petani penyadap getah damar dalam pengelolaan hutan yang di kelola Perum Perhutani sebesar Rp 1.000.000bulanorang. Rendahnya hasil sadapan getah damar di Desa Cipeuteuy disebabkan karena petani kurang memahami teknik penyadapan, sedikitnya jumlah lubang sadappohon, dan banyaknya pohon damar yang tidak menghasilkan getah. Irawan et al. 2007 mengemukakan bahwa pohon-pohon “kering getah” baru diketahui setelah dilakukan penyadapan pertama karena secara fisik sulit atau tidak dapat dibedakan dengan pohon-pohon “deras getah” atau pohon-pohon yang lebih banyak menghasilkan getah. Produksi damar per pohon sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: kualitas tempat tumbuh, umur pohon, kerapatan tegakan, sifat genetis, ketinggian tempat tumbuh di atas permukaan laut, ketebalan kulit batang, diameter batang, topografi, kualitas tajuk dan arah penyadapan Irawan et al. 2007. Program pemungutan getah damar di Desa Cipeutey hanya berjalan selama satu bulan. Hal ini disebabkan karena petani tidak ingin melanjutkan program ini yang disebabkan karena rendahnya produksi getah damar dan rendahnya harga jual getah, sehingga tidak sesuai dengan waktu dan pengorbanan yang telah mereka lakukan. Petani beranggapan bahwa mereka hanya sebagai buruh dalam program penyadapan ini, dan mereka menginginkan harga jual getah disesuaikan dengan harga standar getah damarkopal di pasaran. Berdasarkan Permendag No 22 Tahun 2012 harga patokan untuk getah damar kopal adalah sebesar Rp 8.500kg. Tanaman pinus yang terdapat dikawasan TNGHS pada mulanya merupakan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sebelum adanya perluasan kawasan, keterlibatan masyarakat dalam penyadapan getah pinus sudah dilakukan semasa pengelolaan Perum Perhutani melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM. Program pemungutan getah pinus di kawasan TNGHS dalam rangka menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan tetap menjamin kelestarian ekosistemnya. Pemungutan getah pinus di Desa Tamansari dilakukan oleh anggota kelompok MKK yang beranggotakan sebanyak 39 orang, namun yang melakukan penyadapan getah pinus hanya 11 orang, karena sebagian anggota MKK belum tertarik dalam pemungutan getah pinus. Mereka mempunyai pekerjaan utama lainnya sehingga tidak memiliki waktu dalam kegiatan penyadapan. Selain itu harga getah yang diterima petani masih rendah sehingga petani kurang tertarikberminat dalam pemungutan getah pinus. Cahyono 2011 mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesediaan petani menyadap pinus antara lain: usia petani, lokasi ke penyadapan dan harga getah. Jumlah pohon pinus yang dikelola petani bervariasi tergantung dari kemampuan masing-masing petani dalam melakukan penyadapan. Kemampuan petani dalam melakukan penyadapan sebanyak 30 pohon sampai 60 pohonhariorang dengan rata-rata 42 pohonhariorang. Jarak yang ditempuh ke lokasi penyadapan sejauh 0,1 km sampai 2 km dengan rata-rata 1,05 km. Jumlah pohon yang dikelola sebanyak 300 pohon sampai 1.000 pohonorang dengan rata-rata 451 pohonorang. Pemanenan getah dilakukan setiap 15 hari, dengan produksi getah yang dihasilkan sebanyak 160 kg sampai 450 kgbulanorang dengan rata-rata produksi sebesar 285,45 kgorangbulan. Rata-rata produksi getah per pohon adalah sebesar 316 gr Tabel 76. Sukadaryati dan Dulsalam 2013 mengemukakan bahwa produksi getah setiap pohon bervariasi, karena faktor internal dari pinus itu sendiri yang mampu menghasilkan lebih banyak getah dari pohon yang lain. Pendapatan petani dari hasil sadapan pinus sebesar Rp 400.000,- sampai Rp 1.125.000,-bulan dengan rata-rata sebesar Rp 700.000bulan. Kontribusi pemungutan getah pinus terhadap total pendapatan rumah tangga petani sebesar 47,34 sampai 74,26 dengan rata-rata 59,18 Tabel 76. Program pemungutan getah Pinus merkusii di Zona Pemanfaatan di kawasan TNGHS dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyono et al. 2006 yang mengemukakan bahwa kegiatan penyadapan getah pinus dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan. Tanaman karet Hevea brasilliensis di Indonesia merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peranan penting sebagai sumber pendapatan devisa, kesempatan kerja, dan pendorong pertumbuhan ekonomi maupun pelestarian lingkungan dan sumber daya hayati Sannia et al. 2013. Tanaman karet di kawasan TNGHS di Desa Pangradin merupakan penanaman masyarakat sebelum adanya perluasan kawasan taman nasional. Pemungutan getah karet di kawasan TNGHS sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Desa Pangradin, namun belum terbentuk MoU antara masyarakat dengan BTNGHS dalam pemungutan getah karet. Hal ini disebabkan karena belum terbentuknya MKK Masyarakat Kampung Konservasi sebagai salah satu syarat pembentukan Mou dalam pemberdayaan masyarakat. Luas lahan garapan di kawasan TNGHS yang dikelola petani di Desa Pangradin sebesar 0,25 ha sampai 3,0 ha dengan rata-rata 0,95 hapetani, dengan jenis tanaman yang dikelola berupa tanaman karet. Tanaman karet merupakan sumber pendapatan harian rumah tangga petani menjadi alasan utama masyarakat memilih jenis tanaman ini. Hasil getah karet diperoleh sejak tanaman berumur tujuh tahun, dan produksi getah karet terus berlanjut hingga umur tanaman 25 tahun. Kemampuan petani dalam melakukan penyadapan sebanyak 200–300 pohonhari dengan produksi getah yang diperoleh sebesar 7 kg sampai 15 kg lateks per dua hari dengan rata-rata 11 kg. Petani menjual hasil sadapan ke pengepul pengolahan karet yang berlokasi di sekitar desa dengan harga jual sebesar Rp 5.000kg. Getah karet yang diperoleh dari petani penyadap kemudian oleh pengumpul getah diproses menjadi lembaran sit karet yang siap dijual dengan harga Rp 25.000kg. Rata-rata produksi getah karet sebesar 105 kgbulanorang sampai 300 kgbulanorang dengan rata-rata 167,7 kgbulan Tabel 76. Produksi getah yang dihasilkan petani tergantung dari luas lahan yang dikelola, frekwensi penyadapan, jumlah pohon yang disadap dan umur tanaman. Rata-rata produksi getah karet di Desa Pangradin sebesar 177 kghabulan dengan jumlah pohon 682 pohonha. Nilai ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Wulansari et al. 2012, yaitu produksi getah karet sebesar 200 kghabulan dengan jumlah pohon sebesar 500 pohonha di Kecamatan Hatungan Kabupaten Tapin. Rendahnya produksi getah karet di Desa Pangradin terkait dengan pengelolaan lahan dan pemeliharaan tanaman yang kurang optimal. Usaha tani karet yang diusahakan tanpa adanya pemeliharaan yang baik seperti pemupukan dan penyiangan. Tabel 76. Produksi dan pendapatan petani dari hasil sadapan getah tanaman damar, pinus dan karet di kawasan TNGHS Jenis tanaman Agathis dammara Pinus merkusii Hevea brasilliensis Luas tanaman ha 15 5 75 Jumlah pohonha 452 662 745 Umur tanaman Tahun 20 25 10 Jumlah penyadap orang 24 11 28 Harga getah Rpkg 3.000 3.000 5.000 Jarak ke lokasi penyadapan km 0,3 1,05 3,5 Jumlah Tanaman yang dikelolaorang 63 451 682 Jumlah pohon yang di sadaphariorang 9 42 250 Produksi getahpohon gram15 hari 100 316 125 Produksi getah kgblnorg 8,34 285,45 167,77 Pendapatan getah Rpx1000bulanorg 25.000 700.000 832.000 Rata-rata total pendapatan petani dari pekerjaan utama dan sampingan Rpbulanpetani 1.176.000 1.187.000 1.439.000 Kontribusi pendapatan hasil sadapan getah terhadap total pendapatan rumah tangga 2,34 59,18 60,71 Pendapatan petani dari hasil sadapan getah karet di kawasan TNGHS sebesar Rp 525.000 sampai Rp 1.500.000 bulanorang dengan rata-ra Rp 832.000bulanorang. Pendapatan petani dari hasil sadapan bervariasi, tergantung dari luas lahan garapan yang mereka kelola. Getah karet memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 22,32 sampai 100.00 dengan rata-rata sebesar 60,71 Tabel 76. Hasil penyadapan getah karet di kawasan TNGHS dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di Desa Pangradin. Oleh karena itu keberadaan kawasan TNGHS menjadi penopang kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi.