Kondisi Tutupan Lahan Desa Tamansari

tani pada lahan garapan kawasan TNGHS. Pada umumnya kegiatan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian telah berlangsung sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi TNGHS. Apabila dipaksakan untuk memindahkannya, maka akan memerlukan biaya yang cukup besar dan sangat rawan terjadinya konflik sosial. Sanim et al. 2006 mengemukakan bahwa ongkos eksklusi tinggi akan memunculkan penunggang gratis free rider , yaitu kelompok yang hanya menikmati manfaat keuntungan tanpa adanya kontribusi dalam pengelolaa TNGHS.

b. Biaya Transaksi

Biaya transaksi meliputi biaya untuk mendapatkan informasi mengenai sumber daya yang akan ditransaksikan, biaya untuk melindungi hak atas sumber daya, biaya untuk mendapatkan kontrak dan biaya untuk menjalankan kontrak. Menurut Sanim et al. 2006, biaya transaksi sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inhern dari situasi yang kaitannya dengan kelembagaan dapat menentukan siapa yang menanggung biaya transaksi. Salah satu upaya agar biaya transaksi tidak tinggi adalah dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan akan sumber daya hutan. Modal sosial masyarakat merupakan modal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Situasi kontrak dan pengorganisasian dalam pengelolaan TNGHS adalah melalui pembentukan kelembagaan Model Kampung Konservasi MKK. Sampai saat ini telah dibentuk sebanyak 24 MKK. Model kampung konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Pemerintah memberikan kebijaksanaan pada masyarakat yang telah menggarap lahan kawasan sebelum adanya penunjukkan kawasan TNGHS, namun tidak diperbolehkan adanya perluasan garapan. Pengelola belum mampu mencegah kerusakan sumber daya karena pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan lahan garapan belum terkoordinasi dengan baik. Hal ini karena tidak terdapat kepastian hukum tentang pengelolaan lahan garapan, dan belum terbentuknya MoU antara pihak pengelola dengan masyarakat yang melakukan usaha tani di lahan garapan kawasan TNGHS. Dampaknya masyarakat tidak mendapat hak perlindungan terhadap gangguan satwaliar seperti babi hutan Sus scrofa dan monyet Macaca fascicularis yang sering merusak tanaman pertanian masyarakat yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Serangan satwa liar tersebut merupakan dampak adanya konversi hutan.

5.11.3. Kinerja Pengamanan TNGHS

Tugas Resort dititikberatkan pada perlindungan dan pengamanan kawasan. Berbagai upaya dalam menjaga keutuhan kawasan TNGHS yang disebabkan oleh aktivitas penduduk terus dilakukan. Jenis gangguan yang disebabkan oleh aktivitas penduduk sekitar antara lain perambahan kawasan dan pencurian hasil hutan. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menekan gangguan antara lain patroli rutin, operasi gabungan, penyuluhan, dan penyelesaian kasus perkara pelanggaran. Kinerja pengaman TNGHS berdasarkan data gangguan kawasan antara lain, pada tahun 2011 terjadinya pencurian kayu sebanyak 167 batang kayu pasang atau 5.0256 m 2 , 403 batang kayu Rasamala, Pasang dan Huru atau 18.702 m 2 , pencurian kayu bakar 300 kg arang kayu dan adanya kegiatan penambang emas liar PETI sebesar 203 ha, sedangkan pada tahun 2012 masih terjadinya pencurian kayu bulat olahan sebanyak 424 batang dan terjadinya areal terbakar seluas 17.563 ha BTNGHS 2012. Gangguan kawasan hampir sepanjang tahun, gangguan tertinggi adalah terjadinya pencurian kayu dalam kawasan yang terjadi setiap tahun. Terjadinya gangguan ini karena kurangnya pengawasan. Apabila perlindungan kawasan hanya menitikberatkan pada pengamanan kawasan dari gangguan yang disebabkan oleh aktivitas penduduk, maka pengamanan hutan TNGHS belum optimal. Hal ini karena terbatasnya kuantitas jagawanapolhut dan sarana prasarana pengamanan. Jika dilihat dari besarnya ratio jumlah jagawana terhadap panjang batas kawasan TNGHS relatif kecil. Saat ini BTNGHS memiliki 42 orang jagawana dengan luas kawasan TNGHS yang harus dikelola seluas 113.000 ha, yang berarti setiap jagawana harus menjaga kawasan seluas 2.690 ha.

5.11.4. Kelembagaan Formal dan Non-Formal a. Kelembagaan Formal

Balai TNGHS adalah aparat pemerintah pusat yang wilayah kerjanya berada di daerah. Aparat ini tergabung dalam sebuah Unit Pelaksana Teknis UPT Taman Nasional Gunung Halimun Salak. UPT ini bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Sistem kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid dalam Suhaeri 1994 tersusun atas tiga komponen utama, yaitu: 1 hak kepemilikan property right yang berupa hak atas benda materi maupun non materi, 2 batas wilayah kewenangan yurisdictional boundary, dan 3 aturan representasi rule of representation . Hak kepemilikan taman nasional berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 adalah tanah milik Negara atau state property. Pada pasal 34 Undang-undang No 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah Pratiwi 2008. Dasar hukum pengelolaan TNGHS BTNGHS 2007. 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. Undang-Undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 3. Undang-Undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak 4. Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 5. Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan 6. Undang-Undang No 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan 7. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 8. Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 9. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa