Manusia Bagian dari Ekosistem Hutan

 Pada Kongres IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural Resources di New Delhi tahun 1969 menetapkan bahwa kawasan konservasi harus dikategorisasikan lebih efektif dan efisien.  Pada Kongres CNPPA Commission on National Parks and Protected Areas atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982, setiap unit kawasan konservasi harus membuat rencana pengelolaan sebagai panduan bagi pengelola dalam mencapai tujuan pengelolaan.  Pada Kongres WCPA World Commission on Protected Areas di Caracas tahun 1993 bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single institution, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan. Berbagai pendekatan seperti pendekatan partsipatif dan pengelolaan secara kolaboratif menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan konservasi.  Hasil Kongres WCPA di Durban, Yordania tahun 2003, bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan konservasi Sesuai hasil kongres WCPA tahun 2003 di Durban, maka pengelolaan taman nasional di Indonesia harus dapat memberikan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan Birgantoro dan Nurrochmat 2007; Marwa et al . 2010. Dalam pengelolaan sumber daya hutan, ditemukan bahwa modal sosial masyarakat memberikan pengaruh yang positif dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan secara lestari Pranadji 2006; Hartoyo et al. 2012; Mulyono 2012. Dalam rangka mewujudkan paradigma baru pengelolaan taman nasional secara terpadu yang multi fungsi, multiguna dan multi manfaat, modal sosial dipandang sebagai suatu unsur yang sangat berperan terhadap keberhasilan program pembangunan. Maka dalam pengelolaan sumber daya hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak perlu mempertimbangkan modal sosial masyarakat. 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Kondisi hutan tanaman Agathis dammara dan Pinus merkusii di kawasan TNGHS masih relatif baik dengan tingkat kerapatan pohon yang tinggi, namun memiliki keanekaragaman spesies yang rendah. Pemungutan hasil hutan bukan kayu HHBK flora berupa pemungutan getah pinus, karet dan damar di Zona Pemanfaatan Tradisional oleh masyarakat sekitar hutan memberikan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat sekitar hutan. Kontribusi pendapatan dari hasil sadapan getah karet lebih tinggi dari getah damar dan pinus terhadap total pendapatan rumah tangga petani yang melakukan penyadapan. Tanaman pinus, damar dan karet yang terdapat di kawasan TNGHS merupakan jenis eksotik. Untuk menunjang pendapatan masyarakat sekitar hutan, maka jenis tanaman ini dapat dimanfaatkan sampai daurnya habis, kemudian dilakukan restorasi melalui penanaman dengan jenis tanaman MPTS . Masyarakat di sekitar kawasan TNGHS memiliki tingkat modal sosial pada kategori sedang dan cenderung memiliki tipe modal sosial yang yang mengikat bonding. Modal sosial masyarakat berhubungan nyata dengan unsur-unsur pembentuknya, yaitu kepercayaan, jaringan, norma sosial, tindakan proaktif dan tingkat kepedulian terhadap lingkungan tetapi modal sosial tidak berhubungan nyata dengan tingkat kepedulian terhadap sesama Tingkat modal sosial masyarakat berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan TNGHS. Semakin tinggi tingkat modal sosial semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan pengelolaan TNGHS. Walaupun tingkat modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS pada kategori sedang, namun tingkat partisipasinya pada kategori tinggi, diantaranya ditunjukkan dengan partisipasi yang bersifat sukarela. Semakin tinggi tingkat modal sosial masyarakat di sekitar kawasan TNGHS maka tingkat degradasi hutan cenderung semakin rendah. Anomali terlihat di Desa Mekarnangka dan Desa Cipeuteuy dimana degradasi hutan yang cukup tinggi terjadi pada kondisi tingkat modal sosial masyarakat yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan secara historis pada saat masa transisi pengelolaan ada problem kelembagaan, adanya kondisi open akses dan ketersediaan infrastruktur jalan yang mudah dan adanya investor yang masuk sehingga tingkat degradasi tinggi. Masyarakat adat Kasepuhan Sinarresmi memiliki tingkat modal sosial dengan kategori sedang, namun memiliki skor modal sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat non adat yang berada di dalam dan di luar kawasan. Pada lahan masyarakat adat cenderung terjadi perubahan tutupan lahan yang lebih luas dari masyarakat non adat yang bertempat tinggal di dalam dan di luar kawasan hutan dan anomali terlihat pada Desa Mekarnangka dan Desa Cipeuteuy. Hal ini disebabkan oleh adanya problem kelembagaan pada masa transisi pengelolaan, adanya pengaruh budaya agraris pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sawah yang dibatasi satu tahun sekali masa panennya, sehingga aturan adat dalam konteks ini justru mendorong terjadinya ekstensifikasi lahan pertanian, dan adanya pengaruh modal sosial individu pemimpin adat Abah yang lebih kuat daripada modal sosial kelompokkomunal. Ada kecenderungan semakin tinggi tingkat modal sosial masyarakat maka semakin tinggi tingkat pendapatan responden berdasarkan pekerjaan utama. Namun pendapatan masyarakat berdasarkan pekerjaan utama tergantung dari luas lahan yang dikelola, jenisbentuk penggunaan lahan dan tergantung dari jenis komoditi yang diusahakan. Tingkat modal sosial tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan berdasarkan pekerjaan sampingan. Hal ini karena mayoritas masyarakat mempunyai pekerjaan sampingan yang bervariasi. Pendapatan sampingan tertinggi diperoleh masyarakat di Desa Malasari karena sebagian besar warga memiliki pekerjaan sampingan yang tidak sustainable yaitu, sebagai buruh tumbuk tanah yang mengandung emas, dan hal ini merupakan ancaman bagi keberadaan TNGHS. Berdasarkan analisis SWOT, strategi terpilih dalam pembangunan pengelolaan TNGHS adalah strategi ST Strength-Threat, yakni dengan mempertahankan kekuatan untuk mengatasi ancaman yang tidak menguntungkan. Strategi ST yang dapat dilakukan adalah:1 Melaksanakan sosialisasi intensif kepada pihak terkait tentang pengelolaan TNGHS; 2 Melaksanakan pengenalan potensi kawasan kepada masyarakat; 3 Melaksanakan sosialisasi mengenai wilayah pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan masyarakat di kawasan TNGHS, 4 Mendorong pemanfaatan SDA secara lestari dengan pihak terkait dan 5 Pengendalian pemanfaatan sumber daya hutan. Berdasarkan hasil analisis QSPM strategi prioritas alternatif yang terpilih adalah melaksanakan sosialisasi mengenai wilayah pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan masyarakat di kawasan TNGHS.

6.2. Saran

Agar masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan TNGHS yang berkelanjutan maka perlu penguatan modal sosial masyarakat melalui penguatan kelembagaan di masyarakat. Unsur modal sosial yang perlu diperkuat adalah kepercayaan keluar bridging social capital dengan cara membangun jejaring kerja secara kolektif. Kondisi saat ini zona inti berada di luar perluasan kawasan TNGHS dan masyarakat tidak ada yang masuk zona inti. Namun demikian dalam penentuan zonasi pada areal perluasan TNGHS eks Perum Perhutani perlu mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kebutuhan masyarakat.