Kinerja Pengamanan TNGHS Biaya Transaksi

b. Kelembagaan Informal

Kawasan TNGHS berbatasan langsung dengan kawasan pedesaan di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Kondisi ini perlu adanya kerjasama antara BTNGHS dengan institusi lokal. Lembaga informal yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat antara lain lembaga Adat Kasepuhan. Lembaga adat dipimpin oleh seseorang sesepuh yang dibantu oleh perangkat lembaga adat yang biasa disebut baris kolot. Pemimpin adat dipilih berdasarkan garis keturunan. Kelembagaan adat kasepuhan mengatur tata cara kehidupan keseharian warganya yang terkait dengan cara bertani, ritual budaya, pengaturan dan pemanfaatan ruang serta interaksi antar warga dengan anggota warga masyarakat lainnya Pratiwi 2008. Beberapa lembaga non formal lainnya seperti kelompok tani, PKK, karang taruna, kepemudaan, kelompok pengajian, dan arisan. Ada beberapa kearifan tradisional pada masyarakat di lokasi peneltian terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam. Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa larangan pembukaan lahan pada daerah sumber mata air, sempadan sungai, dan lainnya yang berdekatan. Adanya larangan untuk menebang pohon di lahan yang curan walaupun di lahan milik. Masyarakat memiliki pandangan tersendiri terhadap keberadaan hutan serta memiliki arti dan makna tersendiri juga. Hutan hejo masyarakat ngejo sudah menjadi slogan di masyarakat yang artinya jika hutan tetap hijau masyarakat akan tetap makmur. Masyarakat Desa Malasari di Kampung Cisangku membagi lahan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung tutupan, leuweung dudukuhan, dan leuweung bukaan, sedangkan masyarakat di Kampung Nyungcung membagi lahan menjadi empat bagian, yaitu leuweung larangan, leuweung dudukuhan, leuweung sarerea, dan lahan leumbur kampung. Leuweung tutupan atau leuweung larangan ini merupakan area penyangga dan dapat diartikan sebagai zona inti. Masyarakat dilarang menebang pohon di kawasan ini, karena sebagai penyangga atau mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor. Leuweung dudukuhan merupakan hutan alam atau hutan sekunder dengan pemanfaatan terbatas. Masyarakat memanfaatkan areal ini sebagai kebun talun yang ditanami tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan yang beraneka ragam. Leuweung dudukuhan merupakan lahan garapan masyarakat yang terdapat di dalam kawasan, dan lahan ini merupakan lahan Eks Perum Perhutani. Leuweung sarerea adalah areal hutan yang telah ditanami tanaman pinus oleh pihak Perum Perhutani yang saat ini menjadi kawasan TNGHS. Leuweung sarerea berfungsi untuk kebutuhan umum bagi masyarakat, seperti kayu digunakan untuk pembuatan mesjid, jembatan dan sebagainya. Leuweung bukaan atau lahan leumbur merupakan areal hutan yang telah dibuka oleh masyarakat dan dikelola untuk sawah, kebun maupun pemukiman, merupakan zona khusus berdasarkan pembagian zona BTNGHS. Leuweung bukaan atau lahan leumbur ini telah menjadi lahan milik, akan tetapi tidak memiliki sertifikat tanah. Masyarakat hanya memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT. Masyarakat Desa Malasari khususnya di Kampung Nyungcung membagi hutan kedalam tiga zona yaitu, hutan Zona Inti atau hutan larangan ditutup oleh pemerintah, hutan Zona Penyangga atau hutan dudukuhan penggunaannya terbatas, dan hutan Zona Pemanfaatan atau hutan leumbur yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Hutan zona inti merupakan sumber mata air bagi masyarakat Kampung Nyungcung. Hutan zona penyangga dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Nyungcung untuk berkebun talun. Selain sebagai berkebun talun, hutan zona penyangga juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pakan ternak, kayu bakar dan kayu bahan bangunan. Hutan zona pemanfaatan merupakan kawasan hutan yang secara fisik tidak lagi ditumbuhi oleh pohon-pohonan. Hutan ini berada di dekat pemukiman penduduk dan diusahakan untuk areal pertanian. Seharusnya zona pemanfaatan untuk fungsi wisata. Untuk menjaga kelestarian hutan dan mempertahankan keberadaan hutan maka masyarakat melakukan berbagai kegiatan dan pengklasifikasian hutan menjadi: 1 mengklasifikasikan hutan ke dalam tiga zona yaitu, zona inti hutan larangan, zona penyangga hutan dudukuhan, dan zona pemanfaatan hutan leumbur; 2 mengadakan kegiatan kampung dengan tujuan konservasi dengan mengadakan patroli ke hutan setiap dua mingu sekali dengan tujuan mengontrol keberadaan hutan. Aturan adat Masyarakat Kasepuhan Sinarresmi tidak pernah terlepas dari filosofi-filosofi hidup dan berbagai aturan adat yang menyertainya. Dalam kehidupan bermasyarakat, filosofi hidup dari hukum adat kasepuhan adalah, “tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta keneh ”, yang secara harfiah artinya ‘tiga se wajah, dua se rupa, satu yang itu juga”. Semua aturan adat harus dijalankan oleh masyarakat, dan apabila ada pelanggaran dari aturan adat ini maka akan terjadi sesuatu yang buruk atau disebut dengan kabendon. Masyarakat kasepuhan memiliki aturan zonasi adat dalam kawasan TNGHS. Zonasi adat ini adalah : 1. Leuweung Kolot Leuweung Tutupan, wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Wilayah ini dipercaya dijaga oleh roh-roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan kabendon. 2. Leuweung Titipan, suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur kasepuhan kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk kabendon. 3. Leuweung Sampalan, kawasan hutan yang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat untuk huma, sawah, dan kebun. Beberapa orgnisasi yang masih aktif pada masyarakat sekitar hutan antara lain: kelompok tani, kelompok pengajian, arisan, organisasi kepemudaan. Kebiasaan masyarakat bergotong royong merupakan kebiasaan yang sangat baik dan perlu dilestarikan. Setiap pembukaan lahan ataupun kegiatan menanam padi dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat. Kebiasaan seperti ini telah dijalankan sejak lama oleh masyarakat. Kegiatan pertanian ladang ataupun kebun yang dilakukan oleh masyarakat memiliki kecenderungan pada ekspansi lahan TNGHS sehingga terjadi degradasi di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan, jumlah penduduk yang makin bertambah, di sisi lain jumlah lahan pertanian berkurang akibat adanya perluasan areal TNGHS. Kecenderungan ini merupakan ancaman terhadap TNGHS yang dapat menyebabkan degradasi hutan TNGHS secara terus menerus.