lateks per dua hari dengan rata-rata 11 kg. Petani menjual hasil sadapan ke pengepul pengolahan karet yang berlokasi di sekitar desa dengan harga jual
sebesar Rp 5.000kg. Getah karet yang diperoleh dari petani penyadap kemudian oleh pengumpul getah diproses menjadi lembaran sit karet yang siap dijual
dengan harga Rp 25.000kg. Rata-rata produksi getah karet sebesar 105 kgbulanorang sampai 300 kgbulanorang dengan rata-rata 167,7 kgbulan
Tabel 76. Produksi getah yang dihasilkan petani tergantung dari luas lahan yang dikelola, frekwensi penyadapan, jumlah pohon yang disadap dan umur tanaman.
Rata-rata produksi getah karet di Desa Pangradin sebesar 177 kghabulan dengan jumlah pohon 682 pohonha. Nilai ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan
oleh Wulansari et al. 2012, yaitu produksi getah karet sebesar 200 kghabulan dengan jumlah pohon sebesar 500 pohonha di Kecamatan Hatungan Kabupaten
Tapin. Rendahnya produksi getah karet di Desa Pangradin terkait dengan pengelolaan lahan dan pemeliharaan tanaman yang kurang optimal. Usaha tani
karet yang diusahakan tanpa adanya pemeliharaan yang baik seperti pemupukan dan penyiangan.
Tabel 76. Produksi dan pendapatan petani dari hasil sadapan getah tanaman damar, pinus dan karet di kawasan TNGHS
Jenis tanaman Agathis
dammara Pinus
merkusii Hevea
brasilliensis Luas tanaman ha
15 5
75 Jumlah pohonha
452 662
745 Umur tanaman Tahun
20 25
10 Jumlah penyadap orang
24 11
28 Harga getah Rpkg
3.000 3.000
5.000 Jarak ke lokasi penyadapan km
0,3 1,05
3,5 Jumlah Tanaman yang dikelolaorang
63 451
682 Jumlah pohon yang di sadaphariorang
9 42
250 Produksi getahpohon gram15 hari
100 316
125 Produksi getah kgblnorg
8,34 285,45
167,77 Pendapatan getah Rpx1000bulanorg
25.000 700.000
832.000 Rata-rata total pendapatan petani dari
pekerjaan utama
dan sampingan
Rpbulanpetani 1.176.000
1.187.000 1.439.000
Kontribusi pendapatan hasil sadapan getah terhadap total pendapatan rumah tangga
2,34 59,18
60,71
Pendapatan petani dari hasil sadapan getah karet di kawasan TNGHS sebesar Rp 525.000 sampai Rp 1.500.000 bulanorang dengan rata-ra
Rp 832.000bulanorang. Pendapatan petani dari hasil sadapan bervariasi, tergantung dari luas lahan garapan yang mereka kelola. Getah karet memberikan
kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 22,32 sampai 100.00 dengan rata-rata sebesar 60,71 Tabel 76. Hasil penyadapan getah
karet di kawasan TNGHS dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di Desa Pangradin. Oleh karena itu keberadaan kawasan TNGHS menjadi penopang
kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi.
5.11. Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara untuk dapat menjamin agar sumber daya alam dapat dilestarikan, sehingga sumber daya
alam ini dapat memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini dan masa mendatang Suhaeri 1994. Tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu
menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan peraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis
Ostrom 1990. Menurut MacKinnon et al. 1993 taman nasioanl merupakan suatu sitem organisasi yang unsur-unsurnya terdiri atas kelembagaan, tujuan
jangka panjang, pengelolaan, kelompok masyarakat yang terlibat serta unsur lingkungan. Kelembagaan merupakan unsur kunci guna mewujudkan keragaan
yang diharapkan, karena melalui kelembagaan baik formal maupun informal perilaku masyarakat akan cepat berubah ke arah yang diharapkan. Kelembagaan
taman nasional mempunyai peran di dalam mengatur hubungan antara organisasi pengelola dan masyarakat terhadap taman nasional. Agar kelembagaan dapat
menjalankan fungsinya, maka diperlukan enforcement dalam bentuk sanksi atau intensif yang memberikan rangsangan kepada masyarakat untuk berperilaku
sebagaimana yang diharapkan.
5.11.1. Perubahan Tutupan Lahan Desa Kajian
Berdasarkan Tabel 77 dan 78 tutupan lahan di delapan desa kajian berdasarkan citra landsat tahun 2000, 2005 dan 2010 secara umum mengalami
perubahan pada luasan tutupan lahannya. Pada tahun 2000, dapat diketahui bahwa dari total luasan areal kajian 53.421,34 ha, kondisi tutupan lahan hampir sebagian
besar didominasi oleh hutan lahan kering terganggu, yakni seluas 24.034,31 ha 44,99 dari total wilayah kajian. Selanjutnya diikuti jenis penutupan lahan lain,
diantaranya: hutan tanaman sebesar 9.509,52 ha 17,80, tanaman perkebunan seluas 5.945,85 ha 11,13, sawah seluas 4.400,43 ha 8,24, agroforestri
seluas 3.862,33 ha 7,23, semak seluas 3.162,18 ha 5,92, pertanian lahan kering seluas 1.157,65 ha 2,17 serta tutupan lahan lain seperti lahan terbuka,
tubuh air, dan hutan lahan kering tidak terganggu yang masing-masing memiliki persentase luas dibawah 2.
Hingga tahun 2005 tutupan lahan di lokasi penelitian dengan luasan wilayah kajian sebesar 53.421,34 ha didominasi oleh hutan lahan kering terganggu yakni
seluas 23.915,38 ha 44,77 dari total wilayah kajian. Selanjutnya diikuti jenis penutupan lahan lain, diantaranya: hutan tanaman sebesar 9.507,06 ha 17,80,
tanaman perkebunan seluas 5.885,01 11,02, sawah 4.400,43 8,24, agroforestri seluas 3.897,43 7,30, semak seluas 3.317,75 ha 6,21, pertanian
lahan kering seluas 1.157,65 ha 2,17 serta tutupan lahan lain seperti lahan terbuka, hutan lahan kering tidak tergangu dan tubuh air yang masing-masing
memiliki persentase luas dibawah 2.
Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat dari akhir tahun 2000 ke akhir tahun 2005, diketahui bahwa terjadi perubahan luasan tutupan lahan. Terjadinya
peningkatan lahan terbuka seluas 14,4 ha, agroforestri seluas 35,1 ha dan semak seluas 155,58 ha. Selain itu terjadi pula perubahan penurunan luas pada jenis
tutupan tanaman perkebunan seluas 60,84 ha, hutan lahan kering terganggu seluas 118,93 ha, hutan tanaman seluas 2,46 ha, dan hutan lahan kering tidak terganggu
seluas 18,65 ha. Terjadinya penurunan luas penutupan lahan seluas 200,88 ha mengindikasikan adanya kegiatan penebangan kayu kemudian lahan dibiarkan
menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Terjadinya peningkatan luas lahan agroforestri disebabkan karena pada tahun 2003 terjadinya perubahan fungsi
kawasan hutan yang berupa hutan tanaman yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi. Pihak Perum Perhutani telah melepaskan
pengelolaannya,
namun pelimpahan
kawasan secara
administrasi baru
terselesaikan pada tahun 2006, sehingga pada masa transisi ini terjadinya illegal logging
dan perambahan kawasan oleh masyarakat. Untuk jenis tutupan lahan lainnya seperti pertanian lahan kering dan sawah tidak mengalami perubahan
luasan.
Tabel 77. Perubahan tutupan lahan di delapan desa penelitian
Jenis tutupan lahan ha
Tahun 2000
Persen Tahun
2005 Persen
Tahun 2010
Persen BRL lahan terbuka
298,77 0,56
313,07 0,59
313,07 0,59
CLOUD 5,13
0,01 1,05
0,00 1,05
0,00 CPL Tanaman
perkebunan 5.945,85
11,13 5.885,01
11,02 5.885,01
11,02 DCL Pertanian
lahan kering 1.157,65
2,17 1.157,65
2,17 1.157,65
2,17 DIF Hutan lahan
kering terganggu 24.034,31
44,99 23.915,38
44,77 23.915,38
44,77 MTC Agroforestri
3.862,33 7,23
3.897,43 7,30
4.654,57 8,71
RCF Sawah 4.400,43
8,24 4.400,43
8,24 4.400,43
8,24 SCH Semak
3.162,18 5,92
3.317,76 6,21
3.317,76 6,21
SET Permukiman 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 TPL Hutan Tana
man 9.509,52
17,80 9.507,06
17,80 8.749,99
16,38 UDF Hutan lahan
kering tidak terganggu
1.040,07 1,95
1.021,42 1,91
1.021,42 1,91
WAB Tubuh air 5,08
0,01 5,08
0,01 5,08
0,01 Total
53.421,34 53.421,34
53.421,34
Pada tahun 2010, dapat diketahui bahwa dari total luasan areal kajian, hampir sebagian besar didominasi oleh hutan lahan kering terganggu, yakni seluas
23.915,38 ha 44,77 dari total wilayah kajian. Selanjutnya diikuti jenis penutupan lahan lain, diantaranya: hutan tanaman sebesar 8.749,99 ha 16,38,
tanaman perkebunan seluas 5.885,01 ha 11,02, agroforestri seluas 4.654,58 ha 8,71, sawah seluas 4.400,43 ha 8,24, semak seluas 3.317,67 ha 6,21,
pertanian lahan kering seluas 1.157,65 ha 2,17 serta tutupan lahan lain seperti lahan terbuka, tubuh air, dan hutan lahan kering tidak terganggu yang masing-
masing memiliki persentase luas dibawah 2 .
Berdasarkan Tabel 79 menunjukkan bahwa hasil analisis citra landsat dari akhir tahun 2005 ke akhir tahun 2010, diketahui bahwa terjadi perubahan luasan
pada areal hutan tanaman dan lahan agroforestri. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luasan hutan tanaman sebesar 757,14 ha dari luasan hutan
tanaman di tahun 2005. Perubahan luasan selanjutnya terjadi pada jenis tutupan agroforestri, dimana terjadi peningkatan luasan sebesar 757,14 ha. Pada umumnya
masyarakat di sekitar kawasan TNGHS mempunyai mata pencaharian dibidang pertanian dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya
lahan. Situasi ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan cara mengkonversi menjadi lahan usaha tani. Selain itu karena semakin
meningkatnya permintaan produk pertanian seperti cabe yang mempunyai nilai jual yang tinggi, membuat masyarakat memperluas lahan garapannya di kawasan
TNGHS. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan hutan tanaman menjadi lahan agroforestri. Komoditas utama yang diusahakan antara lain: cabe, kacang
panjang, kol, mentimun dan terong. Kondisi topografi dengan curah hujan yang sesuai sangat mendukung dalam usaha pertanian.
Aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan
penggunaan dan penutupan lahan di kawasan TNGH. Terjadinya penurunan luas hutan tanaman menjadi lahan agroforestri mengindikasikan telah terjadinya
degradasi hutan di kawasan TNGHS serta terjadinya kegiatan illegal logging. Terjadinya kerusakan hutan menunjukkan belum optimalnya kinerja pengelolaan
TNGHS. Degradasi ekosistem hutan banyak terjadi di desa-desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNGHS BTNGHS 2007. Sementara itu, untuk jenis
tutupan lahan lainnya seperti hutan lahan kering terganggu, tanaman perkebunan, sawah, pertanian lahan kering, lahan terbuka, semak, tubuh air, dan hutan lahan
kering tidak terganggu tidak mengalami perubahan luasan.
Tabel 78. Perubahan luas tutupan lahan di delapan desa penelitian Jenis tutupan lahan
Tahun 2000–2005 ha
Tahun 2005–2010 ha
Tahun 2000–2010 ha
BRL lahan terbuka 14,4
298,77 menjadi 313,07
CPL Tanaman perkebunan
- 60,84 5.945,85 menjadi
5.885,01 DCL Pertanian
lahan kering DIF Hutan lahan
kering terganggu -118,93
24.034,31menjadi 23.915,38
MTC Agroforestri 35,1
757,14 3.862,33 menjadi
3.897,43menjadi 4.654,57
RCF Sawah SCH Semak
155,58 3.162,18 menjadi
3.317,76 SET Permukiman
TPL Hutan Tanaman
-2,46 -757,14
9.509,52 menjadi 9.507,06 menjadi
8.749,99 UDF Hutan lahan
kering tidak terganggu
-18,65 1.040,07 menjadi
1.021,42 WAB Tubuh air
Tabel 79. Perubahan tutupan lahan delapan desa kajian tahun 2000 – 2005 dan tahun 2005 – 2010
Tutupan lahan ha
DIF TPL
CPL MTC
SCH UDF
BRL 2000–2005
-118,93 -2,46
- 60,84 35,10
155,58 -18,65
14,30 2005–2010
0,00 -757,07
0,00 757,14
0,00 0,00
0,00
Keterangan: DIF Hutan lahan kering terganggu; TPL Hutan Tanaman; CPL Tanaman perkebunan; MTC Agroforestri; SCH Semak; UDF Hutan lahan kering tidak
terganggu; BRL Lahan terbuka
1. Kondisi Tutupan Lahan Desa Cipeuteuy
Sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seluas 2.115 ha atau sekitar 56,45 dari total
luas wilayah desa. Penggunaan lahan oleh masyarakat dilakukan sejak sebelum adanya penunjukkan kawasan menjadi taman nasional, yaitu pada masa
pengelolaan oleh Perum Perhutani. Sebagian besar responden melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional. Penggunaaan lahan garapan
kawasan taman nasional untuk dijadikan sawah dan kebun. Lahan yang digarap masyarakat adalah lahan hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani
sebagai hutan produksi
Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000 sampai 2005 tidak terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Cipeuteuy. Namun sejak tahun 2005
sampai 2010 terjadi perubahan tutupan lahan, yaitu meningkatnya luas lahan agroforestri dan menurunnya luas lahan hutan tanaman dan semak belukar. Telah
terjadi penurunan luas hutan tanaman menjadi lahan agroforestri sebesar 652,35 ha yang semula 2.087,98 ha menjadi 1.435,63 ha. Kondisi ini muncul setelah
adanya perluasan kawasan TNGHS yang semula dikelola oleh Perum Perhutani. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya deforestasi akibat lemahnya kapasitas
pengelolaan BTNGHS. Tingginya permintaan cabe dan dengan nilai jual yang tinggi membuat masyarakat di sekitar kawasan menanam tanaman pertanian
secara besar-besaran. Selain itu karena adanya pemasok modal di sekitar desa dalam penanaman jenis ini, yang mengakibatkan terjadinya perambahan lahan
kawasan menjadi lahan pertanian. Jenis tanaman pertanian yang ditanam di lahan garapan antara lain: Kacang panjang, cabe, kol, sawi putih, kubis, tomat, buncis,
dan terong. Meluasnya perambahan lahan kawasan terjadi pada saat peralihan pengelolaan pada tahun 2003, dimana Perum Perhutani sudah melepaskan
pengelolaannya sementara Balai Taman Nasional belum siap mengelola karena secara administrasi penunjukkannya baru terselesaikan pada tahun 2006. Di sisi
lain luas lahan semak belukar mengalami penurunan, yaitu sebesar 74,74 ha menjadi hutan tanaman yaitu dari luasan 630,18 ha menjadi 555,44 ha. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat sekitar hutan berupaya melakukan merehabilitasi lahan.