Kondisi Tutupan Lahan di Desa Sirnaresmi

Berdasarkan persamaan selang nilai dengan X maksimum 40, X minimum 8 dan jumlah kelas N berdasarkan lima tingkat kategori sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju, didapatkan lebar kelas adalah 6,4. Maka skala penilaian yang didapat untuk karakteristik individu pada masyarakat adalah sebagai berikut: a. Sikap responden sangat tinggi apabila jumlah skor ≤ 14 b. Sikap responden tinggi apabila jumlah skor 15−20 c. Sikap responden sedang apabila jumlah skor 21−26 d. Sikap responden rendah apabila jumlah skor 27−33 e. Sikap responden sangat rendah apabila jumlah skor 33 Berdasarkan selang nilai menunjukkan bahwa sikap responden dengan kategori tinggi dengan skor 16. Sikap responden dengan kategori tinggi ini menunjukkan kekuatan dari individu-individu pada komunitas masyarakat di sekitar kawasan TNGHS yang sangat mendukung dalam pengelolaan TNGHS. Tabel 81. Rata-rata skor sikap responden pada masing-masing desa penelitian No Desa penelitian Jumlah responden Skor Rata-rata Kategori 1 Tamansari 30 458 15 Tinggi 2 Tapos I 30 490 16 Tinggi 3 Sirnaresmi 32 507 16 Tinggi 4 Mekarnangka 28 431 15 Tinggi 5 Cipeuteuy 58 865 15 Tinggi 6 Pangradin 36 578 16 Tinggi 7 Malasari 53 821 15 Tinggi 8 Lebak Gedong 30 478 16 Tinggi Jumlah 297 4628 15,58 ≈ 16 Berdasarkan kondisi umum TNGHS tutupan lahan, sikap responden TNGHS, partisipasi masyarakat dan kesediaan masyarakat berpartisipasi serta karakteristik sosial ekonomi kaitannya dengan kelembagaan TNGHS dapat dijelaskan situasi situation kelembagaan pengelolaan TNGHS tersebut. Beberapa karakteristik inhern terkait dengan situasi dalam penelitian ini antara lain biaya ekslusi tinggi, dan ongkos transaksi.

a. Biaya Eksklusi Tinggi

Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2000 − 2005 di delapan desa kajian telah terjadi perubahan penutupan lahan. Diketahui bahwa perubahan penutupan tanaman perkebunan, hutan tanaman, hutan lahan kering terganggu dan hutan lahan kering tidak terganggu menjadi non hutan lahan terbuka, semak belukar dan agroforestri mencapai 205,08 ha atau 0,38 dari total luas kajian. Perubahan penutupan lahan hutan tanaman menjadi lahan agroforestri pada tahun 2005 − 2010 mencapai 757,14 ha atau 1,42 dari luas seluruh kajian 53.421,34 ha. Sebagian besar masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat akan sumber daya cukup tinggi. Kondisi ini menggambarkan ongkos eksklusi yang tinggi dalam pengelolaan TNGHS karena tidak dapat memindahkanmengeluarkan masyarakat yang telah melakukan usaha tani pada lahan garapan kawasan TNGHS. Pada umumnya kegiatan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian telah berlangsung sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi TNGHS. Apabila dipaksakan untuk memindahkannya, maka akan memerlukan biaya yang cukup besar dan sangat rawan terjadinya konflik sosial. Sanim et al. 2006 mengemukakan bahwa ongkos eksklusi tinggi akan memunculkan penunggang gratis free rider , yaitu kelompok yang hanya menikmati manfaat keuntungan tanpa adanya kontribusi dalam pengelolaa TNGHS.

b. Biaya Transaksi

Biaya transaksi meliputi biaya untuk mendapatkan informasi mengenai sumber daya yang akan ditransaksikan, biaya untuk melindungi hak atas sumber daya, biaya untuk mendapatkan kontrak dan biaya untuk menjalankan kontrak. Menurut Sanim et al. 2006, biaya transaksi sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inhern dari situasi yang kaitannya dengan kelembagaan dapat menentukan siapa yang menanggung biaya transaksi. Salah satu upaya agar biaya transaksi tidak tinggi adalah dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan akan sumber daya hutan. Modal sosial masyarakat merupakan modal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Situasi kontrak dan pengorganisasian dalam pengelolaan TNGHS adalah melalui pembentukan kelembagaan Model Kampung Konservasi MKK. Sampai saat ini telah dibentuk sebanyak 24 MKK. Model kampung konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Pemerintah memberikan kebijaksanaan pada masyarakat yang telah menggarap lahan kawasan sebelum adanya penunjukkan kawasan TNGHS, namun tidak diperbolehkan adanya perluasan garapan. Pengelola belum mampu mencegah kerusakan sumber daya karena pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan lahan garapan belum terkoordinasi dengan baik. Hal ini karena tidak terdapat kepastian hukum tentang pengelolaan lahan garapan, dan belum terbentuknya MoU antara pihak pengelola dengan masyarakat yang melakukan usaha tani di lahan garapan kawasan TNGHS. Dampaknya masyarakat tidak mendapat hak perlindungan terhadap gangguan satwaliar seperti babi hutan Sus scrofa dan monyet Macaca fascicularis yang sering merusak tanaman pertanian masyarakat yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Serangan satwa liar tersebut merupakan dampak adanya konversi hutan.

5.11.3. Kinerja Pengamanan TNGHS

Tugas Resort dititikberatkan pada perlindungan dan pengamanan kawasan. Berbagai upaya dalam menjaga keutuhan kawasan TNGHS yang disebabkan oleh aktivitas penduduk terus dilakukan. Jenis gangguan yang disebabkan oleh aktivitas penduduk sekitar antara lain perambahan kawasan dan pencurian hasil hutan. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menekan gangguan antara lain patroli rutin, operasi gabungan, penyuluhan, dan penyelesaian kasus perkara pelanggaran. Kinerja pengaman TNGHS berdasarkan data gangguan kawasan