Kondisi Tutupan Lahan Desa Cipeuteuy

Bentuk pemanfaatan sumber daya alam berlangsung sejak sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS. Pada umumnya kegiatan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian telah berlangsung sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi TNGHS. Dari hasil studi yang dilakukan Galudra et al . 2005, didapatkan bahwa pada beberapa bagian kawasan hutan yang ditunjuk telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Hasil analisis citra landsat dari akhir tahun 2005 ke akhir tahun 2010, diketahui bahwa terjadi perubahan luasan pada areal hutan tanaman dan semak belukar. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luasan hutan tanaman sebesar 74,67 ha menjadi semak belukar yang semula 3.223,21 ha menjadi 3.148,54 ha. Hal ini menunjukkan telah terjadi deforestasi di kawasan TNGHS yang disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging. Prasetyo dan Setiawan 2006 mengemukakan bahwa sampai tahun 2004 telah terjadi degradasi dan deforestasi di kawasan TNGHS dengan rata-rata sebesar 1,3 per tahun yang disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging, penambangan emas liar dan perambahan hutan. Deforestasi terjadi akibat lemahnya kebijakan pengelolaan hutan alam di kawasan Halimun sebelum perluasan taman nasional, lemahnya kapasitas pengelolaan, dan lemahnya dukungan para pihak dan masyarakat terhadap ekosistem TNGHS BTNGHS 2007. Pada masa peralihan pengelolaan merupakan masa transisi dari tahun 2003 sampai 2006, karena secara adminstrasi pelimpahan kawasan baru terselesaikan pada tahun 2006. Pada masa transisi ini memicu terjadinya akses terbuka open acces yang mendorong eksploitasi sumber daya secara tidak terkendali.

7. Kondisi Tutupan Lahan Desa Tamansari

Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Tamansari. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luas hutan tanaman sebesar 20,87 ha yang semula 244,43 ha menjadi 223,56 ha menjadi lahan agroforestri. Terjadi perubahan penggunaan lahan seluas 12,76 ha yang semula tanaman perkebunan menjadi lahan agroforestri. Terjadinya kenaikan luas lahan agroforestri sebesar 38,67 ha yang semula 83,40 ha menjadi 122,16 ha. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan permintaan pasar akan produk-produk pertanian. Peningkatan lahan agroforestri ini karena kawasan merupakan hutan produksi Perum Perhutani yang pengelolaannya melalui pola PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Hasil analisis citra landsat dari tahun 2005 sampai tahun 2010 tidak terjadi perubahan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan masyarakat di sekitar kawasan menjaga keberadaankondisi hutan setelah adanya penunjukkan kawasan yang sebelumnya di bawah pengelolaan Perum Perhutani menjadi kawasan konservasi. Tanaman yang diusahakan di wilayah ini merupakan tanaman poh-pohan yang ditanam di bawah tegakan pinus dan damar. Tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang tertutup naungan, sehingga masyarakat menjaga keberadaankondisi hutan dengan baik. Desa ini sebagai sentra tanaman poh- pohan di wilayah Bogor.

8. Kondisi Tutupan Lahan Desa Tapos

Berdasarkan hasil analisis citra landsat dari tahun 2000 sampai tahun 2005 terjadi perubahan tutupan lahan di Desa Tapos. Perubahan yang terjadi merupakan penurunan luas hutan lahan kering terganggu seluas 89,78 ha yang semula 2.784,13 ha menjadi 2.694,35 ha menjadi lahan terbuka seluas 14,29 ha dan hutan tanaman seluas 75,48 ha. Telah terjadi perubahan penggunaan lahan semasa pengelolaan oleh Perum Perhutani dari hutan lahan kering terganggu menjadi hutan tanaman, dimungkinkan terjadinya peningkatan hutan tanaman karena di dorong oleh adanya penanaman hutan tanaman jenis pinus. Di sisi lain juga terjadi penambahan semak belukar. Hasil analisis citra landsat dari tahun 2005 sampai tahun 2010 tidak terjadi perubahan tutupan lahan. Hal ini mengindikasikan masyarakat di sekitar kawasan menjaga keberadaankondisi hutan.

5.11.2. Sikap Masyarakat Terhadap Keberadaan dan Pengelolaan TNGHS

Tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan pengelolaan TNGHS diukur dengan persentase kepala keluarga dengan beberapa indikator disajikan pada Tabel 80. Mayoritas responden setuju bahwa pengelolaan TNGHS harus mempunyai tujuan; pentingnya zonasi dalam pengelolaan TNGHS, adanya aturan dalam pembagian zonasi; adanya kegiatan yang dilarang dalam TNGHS dan adanya sanksi bagi yang melanggar aturan TNGHS. Mayoritas responden setuju perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS dan pentingnya perlindungan kawasan hutan TNGHS. Beberapa alasan responden pentingnya perlindungan kawasan TNGHS antara lain adalah kawasan TNGHS harus dijaga kelestariannya agar tidak terjadi bencana alam seperti longsor, banjir dan sulitnya air. Hal ini menunjukkan pihak pengelola BTNGHS telah melakukan sosialisasi tentang keberadaan dan pengelolaan TNGHS, sehingga masyarakat memahami dan mengetahui keberadaan TNGHS. Tabel 80. Sikap responden terhadap pengelolaan TNGHS N o Pertanyaan Sangat setuju Setu ju Ku rang setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Skor Rata-rata 1 Pengelolaan TNGHS hrs mempunyai prinsip dan tujuan pengelolaan 12,12 84,51 2,36 1,01 - 517 1.92 ≈ 2 2 Pentingnya zonasi dalam pengelolaan TNGHS 10,44 83,84 4,71 1,01 - 583 1.96 ≈ 2 3 Pengertian zona dlm TNGHS dan aturan pengelolaannya 8,75 85,86 4,71 0,67 - 586 1.97 ≈ 2 4 Kegiatan yang dilarang dalam TNGHS 8,08 81,14 6,40 4,04 0,34 616 2.07 ≈ 2 5 Manfaat TNGHS bagi lingkungan dan masyarakat sekitar 17,17 82,49 - 0,34 - 545 1.84 ≈ 2 6 Adanya sanksi bagi org yg melanggar aturan TNGHS 9,76 76,77 9,09 3,37 1,01 621 2.09 ≈ 2 7 Perlunya partisipasi masy dlm pengelolaan TNGHS 11,78 86,53 1,68 - - 564 1.9 ≈ 2 8 Pentingnya perlindungan TNGHS 17,51 82,49 - - - 542 1.82 ≈ 2 Jumlah 4628 15.58 ≈ 16