Hak Kepemilikan Property Right

5.12. Strategi Pengelolaan Taman Nasiona Gunung Halimun

Pengelolaan kawasan taman nasional sebagai salah satu bentuk implementasi kebijakan konservasi sumber daya alam mengacu pada Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mempunyai fungsi: a Perlindungan sistem penyangga kehidupan; b Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan c Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Secara historis Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS telah mengalami beberapa kali perubahan status. Untuk menjaga kondisi sumber daya alam hutan yang semakin terancam rusak dan adanya desakan para pihak yang peduli konservasi alam, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun pada tahun 2003 diperluas dari ± 40.000 ha menjadi 113.357 ha yang sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi. Pengembangan status dimaksudkan agar potensi kawasan TNGHS dapat dimanfaatkan secara lebih optimal bagi kesejahteraan manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa. Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki dua fungsi utama sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis satwa dan tumbuhan BTNGHS 2007. Pemanfaatan sumber daya hutan taman nasional diharapkan lebih menjamin kelestarian sumber daya alam dan dapat meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan yang menjadi azas pembangunan nasional di Indonesia. Untuk kepentingan pengaturan pemanfaatan, pemerintah menetapkan zonasi di taman nasional. Kepentingan masyarakat dan kepentingan konservasi diakomodir dalam zona-zona yang ditetapkan, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan lain-lain Dunggio dan Gunawan 2009. Kebijakan perluasan TNGHS pada tahun 2003 berimplikasi pada perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi dan hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi taman nasional yang secara normatif berarti pembatasan akses masyarakat terhadap kawasan. Pengelolaan TNGHS dalam mencapai tujuannya memerlukan strategi yang tidak hanya berdasarkan sumber daya alam, sumber daya fisik dan sumber daya manusia, tetapi membutuhkan penguatan modal masyarakat sasaran program pembangunan TNGHS. Pengelolaan sumber daya hutan perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan Junaedi dan Maryani 2013, dan berdasarkan pada sifat alami hutan kondisi bio fisik hutan, kondisi sosial, finansial maupun ekonomi Kartodihardjo 2013. Perencanaan pengelolaan hutan meliputi perpaduan sistem ekonomi, ekologi dan sosial yang masing-masing bersifat komplek. Keputusan yang diambil harus mempertimbangkan nilai-nilai ekologi, ekonomi dan sosial sehingga mampu memberikan kelestarian hasil Rinawati 2012. Dalam upaya menjaga kawasan konservasi dari pemanfaatan yang tidak sejalan dengan tujuan konservasi, maka dilakukan berbagai bentuk pendekatan sosial, diantaranya adalah program- program peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi melalui pembentukan kelembagaan model kampung konservasi MKK. Penentuan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan TNGHS berdasarkan aspek fungsi TNGHS dan para aktor yang terlibat dilakukan dengan menggunakan metode analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk membandingkan faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman, sedangkan faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan análisis matriks perencanaan strategi kuantitatif atau QSPM untuk memperoleh strategi yang paling menarik dan dapat diterapkan sesuai kondisi setempat. Analisis SWOT dan QSPM diperoleh dengan tiga tahapan, yaitu pengumpulan data masukan, análisis pemaduan dan pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal berdasarkan kajian di lapangan terhadap karakteristik masyarakat, karakteristik individu, modal sosial masyarakat, dukungan infrastruktur, dukungan kebijakan dan dukungan pihak terlibat dalam program pembangunan pengelolaan TNGHS. Faktor-faktor SWOT diidentifikasi berdasarkan penilaian dan hasil wawancara beberapa stakeholders, yaitu pihak Balai TNGHS, penyuluh TNGHS, kepala resort TNGHS, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa, pihak LSM dan peneliti pada Badan Litbang Kehutanan. Faktor-faktor SWOT yang diidentifikasi meliputi faktor yang berasal dari dalam BTNGHS maupun yang berasal dari dalam komunitas internal yang berupa kekuatan strength dan kelemahan weaknesses, dan faktor yang berasal dari luar BTNGHS eksternal yang terdiri dari peluang opportunities, dan ancaman threats dalam pengelolaan TNGHS. Proses pendekatan pada analisis SWOT dilakukan dengan beberapa tahapan analisis, sebagai berikut: 1 Menentukan atau memilih faktor-faktor kunci keberhasilan dan menetukan faktor internal strengths dan weaknesses serta faktor eksternal opportunities dan threats; 2 evaluasi faktor internal dan eksternal; dan 3 menetapkan peta kekuatan dan menetapkan matriks strategi.

5.12.1. Identifikasi Faktor Internal

Keberhasilan dalam pengelolaan TNGHS sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal berupa kekuatan dan kelemahan. Faktor kekuatan dan kelemahan dievaluasi untuk menentukan faktor yang memberikan pengaruh terbesar dalam pembangunan pengelolaan TNGHS. Kepentingan relatif setiap faktor dalam menunjang keberhasilan pengelolaan TNGHS ditunjukkan oleh bobot setiap faktor.

A. Kekuatan

Faktor-faktor kekuatan yang berpengaruh terhadap pembangunan pengelolaan TNGHS disajikan pada Tabel 82.