Perairan Pesisir dan Tantangan Pengembangannya.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Pesisir dan Tantangan Pengembangannya.

Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto 1976 diacu dalam Dahuri et al. 1996, bahwa definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat- sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan pengertian atau gambaran bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Dengan demikian wilayah pesisir dapat dikatakan merupakan wilayah dengan karakteristik yang unik. Keunikan wilayah ini terlihat dari keanekaragaman sumber daya yang bernilai ekonomis penting yang dapat dikembangkan, keindahan alamnya dapat menjadi objek wisata serta tempat strategis bagi pembangunan pelabuhan dan masih banyak lagi nilai ekonomi wilayah ini. Dahuri et al. 1996, mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu integrated guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi:sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu horizontal integration; dan antar pemerintah tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai tingkat pusat vertical integration. Keterpaduan dari segi keilmuan, mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum. Hal ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria, pantai berpasir, pantai berbatu yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa salah satu ekosistem akan berpengaruh ke ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia seperti pertanian, industri maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas upland areas maupun laut lepas oceans. Kondisi semacam ini mengindikasikan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu PWPLT harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis ecological linkages tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Oleh karena, lebih dari setengah penduduk dunia telah mendiami wilayah pesisir. Sementara itu, pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat, berarti meningkat pula kebutuhan. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila terjadi eksploitasi besar-besaran sumberdaya wilayah pesisir maupun pemanfaatan posisi strategisnya untuk berbagai kegiatan pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian dari sumber daya tersebut. Lebih dari 60 penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di wilayah pesisir meliputi areal 50 km dari garis pantai, dan dua pertiga dari kota-kota seperti Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, Ambon berada di wilayah pesisir Dahuri et al. 1996. Sejalan dengan bertambahnya waktu maka kemampuan alam untuk menampung seluruh kegiatan pembangunan juga terbatas. Kondisi inilah yang sedang terjadi di wilayah pesisir dimana semakin meningkat jumlah penduduk, semakin tinggi tekanan lingkungan. Adapun masalah pengelolaan wilayah pesisir adalah: 1 Masalah Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir Kerusakan sumber daya pesisir umumnya dapat dibagi atas empat bagian:a kerusakan ekosistem, seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria dan pantai; b kerusakan sumberdaya ikan; c pencemaran, d abrasi, sedimentasi dan siltasi. Kerusakan juga dapat disebabkan akibat pemanfaatan berlebihan over exploitation, pencemaran laut menurunnya kualitas perairan, intrusi air laut, eutrofikasi, pasang merah dan biru, tumpahan minyak, erosi, sedimentasi, bencana alam tsunami, banjir. Dahuri 1999, mengemukakan bahwa dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir, pencemaran merupakan faktor yang paling penting. Hal ini karena pencemaran tidak hanya berdampak ke sumber daya tetapi juga ke kesehatan manusia. Pencemaran laut dan pesisir pada umumnya terjadi karena adanya pemusatan penduduk, pariwisata dan industrialisasi di daerah pesisir. Aktivitas- aktivitas tersebut baik langsung maupun tidak langsung melalui limbah buangannya, sering mengganggu kehidupan di perairan laut. Banyak anggapan bahwa laut merupakan ”tempat sampah” yang ideal, baik yang berupa sampah domestik maupun limbah industri. Kondisi seperti ini terbentuk dari pemikiran bahwa karena luasnya maka laut dianggap sanggup menghancurkan dan melarutkan setiap bahan yang masuk. Namun mereka lupa bahwa laut sebagai suatu sistem mempunyai kemampuan daya larut yang terbatas pula, selain sifat bahan-bahan tersebut ada yang dapat larut dalam air ataupun yang sulittidak dapat larut Supriharyono 2007. Selain itu berbicara mengenai potensi sumber daya biologis laut, wilayah Indonesia terkenal mempunyai keragaman hayati laut yang sangat tinggi, sehingga banyak dilirik oleh para wisatawan yang ingin ”mempelajarinya”. Namun sangat disayangkan aktivitas manusia dalam hal pemanfaatan sumber daya alam tersebut sering tidak mempedulikan konsep pelestariannya. Dengan demikian potensi sumber daya alam tersebut menurun. Sebagai contoh, total hutan mangrove di dunia 15.9 juta hektar dan 4.25 juta hektar atau 27 nya berada di Indonesia Dept.Kehutanan RI 1982. Berdasarkan laporan PHPA-AWB 1987 hutan mangrove di Indonesia diperkirakan tinggal 3.24 juta hektar, sedangkan hasil interpretasi citra lansad tahun 1992, luas hutan mangrove di Indonesia adalah 3 737.000 dengan demikian terjadi penyusutan kurang lebih 31 dari jumlah 4.29 juta hektar http:www.Dephut.co.id.2002. Hilangnya hutan mangrove danatau sub-sub sistem lainnya tentunya menurunkan produktivitas ekosistem wilayah pesisir. Sebagai contoh, sub-sub sistem tersebut menyumbang produksi perikanan laut di Indonesia sekitar 6.0 – 6.7 juta ton ikantahun tangkapan lestari. Oleh karena itu apabila kondisi lingkungan sumber daya sub-sub sistem di atas tetap terjaga maka kelestarian dan keberlanjutan sumber daya di dalamnya juga tetap dapat dipertahankan, sebaliknya bila kondisinya semakin rusak, bisa jadi 75-nya saja belum tentu dapat dipertahankan PCI 2001, diacu dalam Supriharyono 2007. Hal sama juga tergambar dari berbagai laporan tentang kerusakan terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai ekosistem tempat mencari makan bagi beberapa organisma, tempat berlindung maupun sebagai tempat memijah, akibatnya beberapa sumber daya ikan dapat juga bermigrasi ke tempat lain ataupun musnah. Berdasarkan hasil survei line transect yang dilakukan P3O LIPI, penutupan karang hidup hanya tinggal sekitar 6.20 terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi sangat baik, 23.72 dalam kondisi baik, 28.30 kondisi rusak dan 41.78 dalam kondisi rusak berat Suharsono 1998, diacu dalam DKP-RI 2001. 2 Masalah Sosial Ekonomi Tidak dapat dipungkiri bahwa dari sebagian penduduk miskin di Indonesia, sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah pesisir. Hasil penelitian COREMAP tahun 19971998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500–Rp 225.000 per bulan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri, apalagi pendapatan yang diperoleh melalui praktek perikanan yang merusak lebih besar DKP-RI 2001. Dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Maluku tahun 2006 berdasarkan laporan tahunan yaitu sebesar Rp 4,038329tahun atau kurang lebih Rp 600.000 bulan DKP–Maluku 2007. Itu berarti sudah ada peningkatan pendapatan, akan tetapi permasalahan pengrusakan lingkungan perairan masih tetap menjadi masalah yang sulit terelakkan. Hal ini mungkin saja terjadi oleh karena walaupun ada peningkatan pendapatan, akan tetapi peningkatan harga kebutuhan bahan pokok juga meningkat. Kondisi seperti ini membuat perhatian para nelayan lebih bagaimana memanfaatkan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ketimbang memikirkan bagaimana menyelamatkan lingkungannya agar kehidupanya dapat berlanjut. Permasalahan pengelolaan sumber daya pesisir juga tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya dari sumber daya pesisir secara keseluruhan. Ekstraksi sumber daya alam oleh masyarakat pesisir juga masih meninggalkan limbah. Kurangnya pemahaman terhadap nilai sumber daya pesisir ini berakibat pada ekstraksi yang berlebihan over exploitation dan kurang ramah lingkungan. Hasil penelitian proyek pesisir menunjukkan bahwa sebahagian masyarakat, masalah utama yang dihadapi adalah pengangguran, sementara masalah lingkungan hanyalah merupakan masalah yang minor hanya 11 responden yang menjawab bahwa lingkungan merupakan kepedulian masyarakat. Selain itu, pengelolaan berkelanjutan sumber daya pesisir dan laut muncul dengan sejumlah tantangan karena selama ini secara khusus pengelolaan didasarkan pada pertimbangan biologis saja. Akibatnya terjadi over exploitation, kerusakan sejumlah aset penting di laut seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu Davis and Gartside 2001 dalam tulisannya, menjelaskan memang penting bahwa biologist merupakan kelompok yang dominan dalam mengelola sumber daya alam serta memahami isu ekonomi. Masyarakat akan meningkatkan permintaannya lebih kepada pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam tersebut, dengan bagi hasil penyewaan yang besar dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam tersebut. Kedua belah pihak merasa senang dan transparansi dengan demikian akan meningkatkan instrumen ekonominya. 3 Masalah Kelembagaan. Pada bagian ini ada dua hal yang dilihat yaitu masalah konflik pemanfaatan dan kewenangan dan masalah kepastian hukum. Pendekatan pembangunan sektoral dalam banyak kasus tidak mempromosikan penggunaan sumber daya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target dan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir. Menurut Cincin- Sain and Knecht 1998, bahwa perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya user conflict dan konflik kewenangan jurisdictional conflict. Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di pantai Indah Kapuk Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan pemukiman mewah, konflik antara kepentingan konservasi dengan pariwisata Taman Laut Kepulauan Seribu, konflik antara konservasi dengan pengembang reklamasi pantai Teluk Manado. Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, status perairan pesisir dan laut secara substansial, merupakan milik negara state property. Sebaliknya, masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumber daya di sekitar desanya sebagai hak ulayat common property berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.

2.2 Pencemaran Perairan Pesisir