siswa, apabila tidak dapat diselipkan di tengah-tengah pelajaran, maka dapat disampaikan di bagian akhir atau menjadi tugas siswa.
Jauh lebih penting lagi dalam hal ini apabila guru sejarah mampu menghasilkan modul pengajaran “sejarah nasional terintegrasi sejarah lokal”
dalam satu paket yang sama sebagai suatu bentuk penguatan pemahaman dan kesadaran sejarah siswa sebagai bagian dari Indonesia yang majemuk. Sehingga
pada akhirnya siswa dari daerah diluar objek penulisan sejarah yang dominan dalam buku sejarah yang diajarkan merasa lebih dekat dan bersahabat dengan
sejarah yang diajarkan. Kedekatan antara subjek dengan objek yang dipelajari oleh siswa juga memiliki pengaruh yang kuat dalam pemahaman mereka yang
lebih baik, dimana pada akhirnya akan membuat mereka lebih mudah untuk memahami sejarah yang lebih luas tersebut. Sehingga dalam konteks pemikiran
ini pemahaman siswa akan keberadaan sejarah nasional dan daerahnya dapat diformulasikan dalam satu paket yang sama.
C. Pembelajaran Sejarah Nasional Terintegrasi Sejarah Lokal
Ada banyak model, metode, dan pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar guna memberikan pemahaman yang
lebih baik dan tepat pada siswa. Dalam hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu kelebihan yang akan didapatkan dalam mengintgrasikan sejarah
nasional dengan sejarah lokal yaitu kemampuannya untuk membawa murid pada situasi rill di lingkungannya. Secara lebih khusus bisa dikatakan, bahwa
pengajaran sejarah lokal seakan-akan mampu menerobos batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat dari sosio-fsikologis bisa
dikatakan bahwa ini akan murid secara langsung mengenal serta menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka adalah merupakan bagian saja dari
padanya.
9
Sejalan dengan hal tersebut, apabila dihubungkan dengan perinsip-prinsip teori belajar yang ada, terutama sekali teorinya J. Bruner kemampuan guru
untuk mengaitkan sejarah nasional yang diajarkan dengan konteks sejarah lokalnya akan sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan murid
untuk berpikir aktif kreatif serta struktural konseptual.
10
Apabila demikian, maka sudah sewajarnya apabila pengajaran sejarah ini disesuaikan dengan kurikulum yang ada, terutama sekali dalam kaitannya
dengan pembuatan perencanaan pembelajaran baik dalam bentuk silabus maupun RPS. Maka dalam proses integrasi ini, mengutip apa yang dijelaskan
oleh Douch
11
dalam tiga bentuk yaitu:
9 Ibid, hlm. 117. 10 Op.cit, hlm. 117.
11 Op.cit, hlm. 122-123.
Pertama, guru dapat memberikan contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari uraian sejarah nasional maupun
sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini sudah jelas tidak akan ada masalah bagi usaha mengaitkan sejarah lokal dengan kurikulumsilabus pengajaran
sejarah nasional atau dunia yang berlakudibuat. Selain itu, alokasi waktu serta penempatan kapan dan dimana tema sejarah lokal tersebut dimasukkan
perlu mendapatkan perhatian baik dalam perencanaan pembelajaran atau pun dalam praktik pengajaran yang dilakukan. Apabila dalam perencanaan poses
pembelajaran tidak dicantumkan mengenai pengintegrasian tersebut, tidak juga menjadi masalah, asalkan guru secara sederhana dapat memasukkan juga
sejarah daerahnya dalam proses pembelajaran.
Kedua, ialah dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar murid
dengan aktivitas kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini murid diharapkan disamping belajar di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk
mengamati langsung sumber-sumber sejarah serta mengumpulkan data sejarah. Proses ini akan mengarahkan siswa untuk belajar secara kontekstual
contectual teaching learning. Tentu saja kegiatan ini akan banyak menyita waktu, namun tidak perlu dilakukan untuk setiap tema atau setiap pertemuan,
dimana kegiatan semacam ini dapat dilakukan pada materi-materi tertentu, sehingga siswa dapat merasakan betul kedekatan mereka dengan sejarah yang
sedang dipelajari.
Ketiga, ialah berupa studi khusus serta cukup mendalam tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan murid. Ini biasanya diorganisir dan dilaksanakan
dengan cara-cara seperti studi sejarah profesional. Murid diharapkan mengikuti prosedur seperti yang dilakukan para peneliti profesional, mulai dari pemilihan
topik, membuat perenacnaan kegiatan, cara-cara membuat analisa sampai pada penyusunan laporan akhir studi. Dengan sendirinya ini semua akan memerlukan
pengalokasian yang lebih khusus lagi bagi kegiatan persiapanperencanaan serta kegiatan di lapangan. Kegiatan dalam bentuk ini sepertinya akan cukup
sulit dilakukan, karenanya apabila tidak dapat dilakukan satu kali dalam satu semerster, cukup dilakukan satu kali dalam dua semester, atau satu kali ketika
masing-masing berada di kelas X, XI, dan kelas XIII.
Ketiga pendekatan pembelajaran sejarah di atas tidak perlu berdiri sendiri, untuk hasil dan proses pembelajaran sejarah yang maksimal diharapkan guru dan
siswa dapat melaksanakan ketiga-tiganya, tentu dengan porsi yang tidak sama, dimana apabila pendekatan pertama dapat dilakukan setiap kali pertemuan
karena guru hanya membutuhkan pemahaman sejarah lokal untuk sekedar dikaitkan dengan sejarah nasional yang sedang diajarkan; sedangkan yang kedua
meskipun tidak begitu intens perlu dilakukan paling tidak setiap bulannya. Adapun pendekatan yang terakhir karena membutuhkan perencanaan yang
cukup rumit, maka dalam hal ini pelaksanaannya juga dilakukan secara berkala
sesuai dengan kemampuan guru dan siswa untuk dapat melaksanakannya. Beranjak dari wacana di atas, semua keinginan tersebut akan sulit dapat
terlaksana apabila guru sejarah tidak memiliki pemahaman, wawasan, serta kemauan untuk lebih dekat dengan sejarah lokal mereka. Oleh sebab itu,
kemampuan guru sejarah dalam memahami sejarah lokal, atau bahkan yang lebih penting lagi adanya kemempuan para guru untuk meneliti dan menulis
sejarah lokal mereka dalam hal ini merupakan sesuatu yang urgen.
Akhirnya diperlukan kesepahaman bersama antara semua elemen yang ingin mengembangkan pemahaman sejarah yang lebih konperhensif, lebih
membumi baik sejara sosiologis dan psikologis, bahwa sejarah dinia dan sejarah nasional dapat dipahami dengan baik oleh siswa apabila guru sejarah mampu
untuk mengaitkannya dengan sejarah lokal.
D. Penutup
Mengapa pada umumnya siswa tidak begitu tetarik untuk mempelajari sejarah? Banyak alasan yang menjadi kemudi siswa merasakan hal yang demikian,
mulai dari metode, pendekatan dan model pembelajaran yang konvensional dan monoton, sampai pada ketidakmampuan guru untuk mengemas materi sejarah
menjadi menarik dan dekat dengan lingkungan siswa.
Kaitannya dengan permasalahan tersebut, untuk memahami sejarah, siswa perlu diberikan benang merah yang mendasar dari sejarah daerah mereka
sendiri sebagai gambaran dari sejarah yang lebih luas yaitu sejarah nasional. Logikanya bahwa pemahaman mendasar perlu diberikan untuk memahami
sesuatu yang jauh dari jangkauan peserta didik.
Terlepas dari maksud pengintegrasian tersebut, lebih penting lagi berkaitan dengan substansi sejarah sebagai pendidikan karakter atau pendidikan moral
akan dapat mempermudah pemahaman siswa apabila dikaitkan juga dengan karakter lokal yang terbentuk juga dari sejarah masyarakat dimana siswa
tersebut berada.
12
Pada akhirnya sekaligus akan dapat diidentikkan bahwa sejarah menjadi bagian dari pendidikan penalaran yang dapat membuat siswa
menjadi kiritis.
Daftar Pustaka
Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Kesuma Murdi. 2015. Napas Budaya dari Timur Nusantara: Sejarah dan Sosial
Budaya Masyarakat di Sulawesi dan Lombok-NTB. Mataram: Arga Puji Press.
12 Kaitannya dengan sejarah sebagai pendidikan moral dan sejarah sebagai pendidikan penalaran dapat dibaca dalam bukunya Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah Yogyakarta; Bentang, 2005,
Hlm. 26-27