Religious Skill dan Budaya Nasional

dan mutlak the only certain and absolute entity. 15 Tulisan ini menyarankan pada semua ideologi untuk mengembangkan prinsip give and take, yang akan menjadikan ideologi memiliki relevansi dengan perkembangan masyarakat. Pengikut ideology yang berbeda-beda seringkali berperan satu dengan yang lainnya karena mereka tidak mengembangkan konsep kebenaran dalam konteks timbal balik relationship. Seperti sudah saya jelaskan di atas bahwa tidak ada kebenaran absolut di dunia ini karena hal ini berkaitan dengan kompleksnya kehidupan yang senantiasa berubah dengan berjalannya waktu dan konteks ruang yang plural. Dalm kenyataanya, kebenaran seringkali tersembunyi dalam fenomena kultural tertentu karena aspek normative terkait erat dengan peristiwa kultural tertentu. Dengan kata lain, eksistensi kebenaran itu tidak tergantung begitu saja pada pemikiran individu saja, tetapi terkait juga dengan sistem sosial dan budayanya. Implikasinya, konsepsi kebenaran individual harus dinegosiasikan dengan masyarakat sebagai konteksnya. 16 Berkaitan dengan kehidupan di dunia ini, Al-Qur’an jelas-jelas melarang kita mengklaim kebenaran sepihak dan memerintahkan kita untuk mengembangkan prinsip saling mengakui eksistensi di antara kelompok- kelompok yang berbeda-beda: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku the Qur’an 109:6. 17 Implikasinya, semua kelompok bisa meyakini kebenarannya secara absolut. Hal ini karena absolut menghendaki sikap instrospeksi kedalam dan tidak menuntut pengakuan pihak luar yang tidak meyakininya. Ha ini sejalan dengan Mahmud Syaltut yang percaya pada dua aspek ajaran agama, yaitu teoritis nazhary dan praktis ‘amaly. Yang pertama berkaitan dengan jiwa yang menghendaki pemahaman dan keyakinan, sedangkan yang kedua berkaitan dengan pemahaman terhadap dunia nyata yang juga dipengaruhi oleh power yang ada di dalam masyarakat. 18

D. Kesimpulan

Penghapusan religious skill dalam Kurikulum Revisi 2013 tidak memiliki landasan ilosois yang kuat karena Pancasia mengamanatkan kepada kita bahwa sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya menjiwai sila-sila yang lain. Hal ini berarti bahwa kita hendaknya mengembangkan paradigma yang religious. Implikasinya, ilmu sekuler harus dipandang berdasarkan sudut pandang agama yang menekankan pada hati sebagai sumber ilmu. Sejalan dengan itu, materi pendidikan hendaknya bisa menghasilkan religious skill. Hal ini sejalan dengan Albert Einstein yang dibesarkan dalam dunia Barat yang 15 Ibid. 16 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren [Revitalizing the Traditions of Islam], pp. 147-48. 17 Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hillali and Muhammad Muhsin Khan, The Noble Qur’an: English Translation of the Meanings and ComentaryMadina: King Fahd Complex for the Printing of Holy Qur’an, 2007, p. 853. 18 Ahmad Muid, Nyleneh Itu Indah [Idiosyncrasy Is Beautiful]Yogyakarta: Kutuh, 2010, pp. 73-74. sekuler, namun masih meyakini “ilmu tanpa agama buta, sedangkan agama tanpa ilmu itu lumpuh”. Religious skill perlu dikembangkan dalam konteks budaya nasional karena pendidikan identitas yang ada sekarang ini belum bisa menghasilkan manusia Indonesia yang seutuhnya. Akibatnya, kita belum bisa menjadi negara modern yang maju dalam waktu yang sudah 71 tahun. Padahal, Jepang, Jerman, dan Amerika bisa menjadi negara maju dalam waktu yang singkat, karena mereka sudah memiliki budaya nasional. Memang kita tidak bisa begitu saja meniru budaya nasional negara lain karena landasan negaranya juga berbeda. Pancasila mengamanatkan kita mengembangkan pendidikan yang memadukan akal dan hati sebagai sumber ilmu. Sejalan dengan ini, Indonesia tidak menganut negara sekuler murni, namun dalam kenyataannya kehidupan bangsa terasa sangat ideologis, yang mana akal sering dijadikan alat untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya saja. Aspek hati yang menekankan pada prinsip harmoni belum terlihat nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, 2001, “Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama”, dalam Tashwirul Afkar, Al-Hillali, Muhammad Taqi-ud-Din and Muhammad Muhsin Khan, 2007, he Noble Qur’an: English Translation of the Meanings and Comentary, Madina: King Fahd Complex for the Printing of Holy Qur’an. Barnet, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge. Bellah, Robert N, 1973, Durkheim on Morality and Society, Chicago, he University of Chicago Press. Galanter, Marc, 1965, “Secularism, East and West,” Comparative Studies in Society and History 7, no. 2. Monsma, Stephen V., 1996, Religious Nonproit Organizations and Public Money: When Sacred and Secular MixMaryland: Rowman Littleield Publishers, Inc. Muid, Ahmad, 2010, Nyleneh Itu Indah [Idiosyncrasy Is Beautiful], Yogyakarta: Kutuh. Mulkhan, Abdul Munir, 2001, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Tashwirul Afkar, No. 11. Rochmat, Saefur., 2004, “Reformasi Dilihat dari Jepang”, Inovasi, v1XVII Agustus 2004, Online http:io-ppi-jepang.orgarticle.php?id=2 Diakses 15-10-2005. Rochmat, Saefur., 2005a, Abdurrahman Wahid on Reformulating heology of Islamic Democracy to Counter Secularism in Modern Era, Unpublished hesis Ritsumeikan University: Graduate School of International Relations. Rochmat, Saefur., 2005b, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi, v3 XVIIMaret 2005, Online http:io-ppi-jepang.orgarticle.php?id=71 Diakses 15-10- 2005. Rochmat, Saefur., 2005c, “Kebangkitan Agama di Era Modern?”, Inovasi, v4 XVIIIAgustus 2005, Online http:io-ppi-jepang.orgarticle.php?id=293 Diakses 14- 10-2005. Wahid, Abdurrahman, 1997, “Dimensi Kehalusan Budi Dan Rasa [the Dimention of Feeling],” in Islam, Negara, Dan Demokrasi [Islam, Politic, and Democracy], ed. Imam Anshori Saleh. Wahid, Abdurrahman., 1999, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren [Revitalizing the Traditions of Islam]. Zada, Khamami, 2001, “Membebaskan Pendidikan Islam: dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme”, dalam Tashwirul Afkar, No. 11.