Krisis Identitas dalam Budaya Nasional
split identity kepribadian terbelah karena agama dan nasionalisme belum dapat melangsungkan perkawinan seperti yang terjadi di Jepang. Agama jalan
sendiri dan nasionalisme juga jalan sendiri, bahkan keduanya saling mencurigai dan kadang terjadi konlik yang tidak perlu. Seolah-olah antara agama dan
nasionalisme tidak ada titik temu, padahal mayoritas dari mereka adalah Muslim. Memang mereka berasal dari latar belakang system of knowledge yang
berbeda, yang pada dasarnya mengerucut dalam modern system of knowledge dan religious system of knowledge. Memang di dalam masing-masing system of
knowledge terdapat berbagai sub-varian yang seringkali tidak mudah dicari titik temunya. Memang ironis, agama yang diturunkan Tuhan sebagai petunjuk
dalam menjalankan kehidupan di dunia justru menjadi sumber konlik yang akut. Barat sudah bisa menyelesaikan konlik intern antar umat Kristen, yang
jejaknya dimulai dengan Perjanjian Westphalia tahun 1648, yang salah satu hasilnya adalah mengakui eksistensi masing-masing kelompok dalam umat
Kristen, yang masing-masing dipandang sebagai suatu denominasi.
Berdasarkan kenyataan di atas, kebudayaan nasional merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Kebudayaan nasional
merupakan identitas bangsa yang harus kita gali dari khasanah budaya bangsa. Yang menjadi masalah, Indonesia sebagai suatu bangsa nation state adalah
suatu yang baru, yang secara legal baru diproklamasikan 17 Agustus 1945. Jadi entitas bangsa dan negara bukan hanya merupakan material identity, tetapi
juga harus termanifestasi dalam bentuk kebudayaan, yang sebenarnya sudah dirumuskan dalam dasar negara Pancasila. Memang tidak mudah mewujudkan
suatu budaya nasional ini, karena harus melalui proses panjang mewujudkan solidaritas sosial dan juga kesadaran bersama conscience collective. Kesadaran
bersama inilah yang merupakan moralitas suatu bangsa, yang akan menjadi pedoman bagi semua komponen bangsa dalam berinteraksi satu dengan lainnya.
Bila kesadaran bersama sudah berhasil dirumuskan secara operasional maka semua komponen bangsa dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
3
Sampai sekarang ini masih ada kendala bagi semua komponen bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan karena mereka belum
merumuskan landasan ilosois yang operasional dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini berdampak pada kehidupan politik nasional yang labil karena
Pancasila ditafsirkan sesuai dengan kepentingan ideologisnya masing-masing. Sebenarnya perbedaan pandangan politik tidak menjadi masalah andaikata
semua kelompok sosial politik tidak bersifat ideologis dan bersedia menerapkan prinsip take and give. Bukankah kita sudah punya pedoman normatif berupa
ideologi bangsa Pancasila dan UUD 1945. Pada kenyataannya, rezim Soekarno dan Soeharto telah memonopoli penafsiran ideologi Pancasila bagi kelanggengan
kekuasaannya. Dengan demikian, pendidikan telah dikooptasi oleh pemerintah agar mendukung legitimasi kekuasaannya.
3
Bellah, Robert N, 1973, Durkheim on Morality and Society, Chicago, he University of Chicago Press, hal. Ix.
Perbedaan titik tolak semua isme jangan sampai menciutkan hati untuk mengembangkan rasa saling percaya antar sesama komponen bangsa. Dialog
tidak dijadikan sarana untuk meyakinkan keberanaran pendirian kelompoknya, yang tentunya didukung berbagai klaim superioritas kelompoknya tersebut.
Dialog hendaknya berangkat dari pengakuan yang setara atas eksistensi kelompok lain, lalu ada kesediaan take and give memberi dan menerima sebagai
syarat bagi tersusunnya program bersama yang operasional. Dengan demikian, kebenaran tidak didasarkan pada klaim kebenaran masing-masing kelompok
yang masih bersifat normatif itu, apalagi bila subyektif sifatnya. Kebenaran hendaknya dirumuskan bersama oleh semua komponen bangsa dalam bentuk
tindakan bersama yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Bukankah konsep kebaikan memiliki ciri-ciri obyektif yang bisa diterima dengan akal sehat.
4
Adapun arah bagi proses dialog itu adalah merealisasikan nilai-nilai universal, yang akan menjadi landasan bagi fondasi kebudayaan nasional yang
baru. Sebenarnya nilai-nilai universal ini sudah disebutkan dalam sila-sila Pancasila, namun Pancasila memiliki keterbatasan, karena sifatnya sebagai
suatu kontrak sosial, sehingga perlu bantuan dari agama maupun budaya lokal dalam mengelaborasikannya secara operasional di masyarakat. Memang agama
dan budaya dimaksudkan sebagi sumber nilai Sedangkan Pancasila sebagai kontrak sosial lebih merupakan suatu kompromi, yang tentunya akan dimaknai
sesuai dengan keyakinan masing-masing berdasarkan agama atau budaya yang dianutnya.
Bila kita bicara masalah nasionalisme dan agama maka sebenarnya kita membicarakan dua komponen dasar yang membentuk pendidikan identitas itu,
yaitu pendidikan sejarahPPKnPSPB di satu pihak dan pendidikan agama pada pihak lain. Selama ini kedua pihak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan
pendidikan kita mengikuti paham sekulerisme, yaitu memisahkan pendidikan “keduniawian” dengan pendidikan agama. Padahal agama tidak mengenal
pemisahan tegas semacam itu, karena hal yang bersifat keduniawiaan akan bermakna ibadah kegiatan agama bila memang kita niatkan sebagai wujud
pengabdian kepada Tuhan atau wujud pelaksanaan amanah Tuhan sebagai khalifah il ardhi penguasa di bumi.
Selama ini pendidikan identitas, yaitu pendidikan yang berusaha menanamkan semangat nasionalisme, hanya diemban oleh pendidikan
sejarahPPKnPSPB. Hal ini jelas berbeda dengan pengalaman Jepang yang dicontohkan di atas, dimana pendidikan sejarah dan pendidikan agama
saling bersinergi, bila tidak disatukan. Yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengklaim dirinya sebagai vanguard nasionalisme yang sebenarnya karena
sebagai pembela NKRI yang didasarkan pada ideologi nasional Pancasila. Secara
4
Rochmat, 2005a, Abdurrahman Wahid on Reformulating heology of Islamic Democracy to Counter Secularism in Modern Era, Unpublished hesis Ritsumeikan University: Graduate School of International Relations, hal.
65.
tidak langsung, pemerintah memaknai Pancasila dengan nasionalisme. Ini jelas suatu wujud sekulerisme. Bukankah sila pertama Pancasila, Ketuhanan YME,
mengamanatkan Ketuhanan itu menjiwai sila-sila yang lain
Dalam sejarahnya, Pancasila, terutama aspek nasionalismenya, sering salah paham dengan agama, karena keduanya memiliki sejarah yang berbeda-beda dan
keduanya telah berselingkuh dengan politik, yaitu berusaha menguasai suatu daerah tertentu sebagai lahan untuk mengimplementasikan sistem politik yang
diyakininya. Sebagai suatu konsep, keduanya bisa diimplementasikan secara berbeda dalam sistem politik yang sama maupun berbeda, sesuai dengan situasi
dan kondisi khas suatu daerah. Oleh karena itu keduanya tidak layak mengklaim dirinya secara eksklusif. Apalagi bagi agama yang memiliki kebenaran universal,
sangat tidak layak bila mencari kekuatan politik tertentu untuk mendukung kebenarannya. Kepentingan politik justru akan membiaskan kebenaran agama
yang universal itu.
5
Seharusnya nasionalisme tidak menentang agama, karena sudah diamanatkan Pancasila bahwa sila pertama menjiwai sila-sila yang lain. Dengan
demikian, Pancasila sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengakui eksistensi Tuhan, sehingga semua aktivitas manusia harus mengarah kepada-
Nya. Sebaliknya, agama hendaknya melepaskan klaim politik yang tidak layak itu agar dapat membimbing nasionalisme menuju kebenaran yang universal.
Bila agama dapat memerankan misi mulia ini dampaknya sangat besar: 1 nasionalisme terhindar dari sekulerisme, 2 nasionalisme terhindar dari
chauvinism, 3 dan kita terhindar dari split identity.
Agar pendidikan agama bisa mengemban misi pendidikan identitas, pendidikan agama harus meninggalkan paradigma lama yang menekankan
pendekatan doktriner normatif. Memang pendekatan ini tidak bisa ditinggalkan sama sekali, tetapi doktrin-doktrin yang normatif itu mungkin hanya meliputi
10 dan 90-nya berupa deskripsi analitis kritis praktek pengamalan beragama dalam kehidupan masyarakat.
6
Hal ini menuntut penggunaan pendekatan induktif dalam pendidikan agama, yang akan menjelaskan
penerapan suatu doktrin agama dalam praktek kehidupan keagamaan di suatu daerah, dengan mengingat situasi, kondisi, dan sejarah daerah tersebut sebagai
tempat kontekstualisasi ajaran agama. Lalu praktek kehidupan beragama itu dibandingkan atau dievaluasi berdasarkan suatu doktrin tertentu, dan
keterkaitannya dengan doktrin-doktrin yang lain, sehingga pengamalan agama tidak bersifat monoton dan kita akan mendapatkan berbagai alternatif dalam
pengamalan agama itu, disamping kita akan mendapatkan penilaian yang
5
Rochmat, 2005b, “Aspek Immaterial dalam Modernisasi”, Inovasi, v3XVIIMaret 2005, Online http:io-ppi- jepang.orgarticle.php?id=71 Diakses 15-10-2005, hal. 67.
6
Abdullah, M. Amin, 2001, “Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama”, dalam Tashwirul Afkar, No. 11., hal. 7.
obyektif dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan dari suatu pengamalan agama itu.
Inti pendidikan agama adalah pembelajaran tauhid sila ke-1 Pancasila, yaitu menumbuhkan kesadaran dan komitmen ketuhanan melalui pengkayaan
pengalaman ketuhanan dan pengalaman mengalahkan tradisi setan atau kekairan, bukan isolasi siswa dari segala persoalan kekairan dan tradisi
setan. Hal ini menuntut pendidikan agama yang tidak doktriner, tetapi agama sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai peperangan
abadi antara kekuatan Tuhan dengan kekuatan setan.
7
Pendidikan agama juga jangan terjebak oleh pola pengajaran konvensional, dimana hubungan antar agama ditandai oleh antagonisme polemik dan upaya
menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Hendaknya pendidikan agama menekankan dialog dan dijelaskan sebagai upaya membangun saling
pengertian antara umat beragama maupun sesama umat beragam yang berbeda alirannya. Pola pendekatan konservatif yang antagonis tidak dapat mendorong
timbulnya conscience collective kesadaran bersama karena agama telah terseret ke arah kepentingan politik tertentu.
8
Agar bisa keluar dari jebakan itu maka agama harus dibebaskan dari kepentingan politik, disamping umat beragama
dituntut dapat merumuskan musuh bersama agama di era modern sekarang ini, lalu mereka baru bisa merumuskan program bersama, sebagai perekat
conscience collective itu. Hemat saya, musuh bersama agama di era modern ini adalah sekulerisme.
9
Dengan demikian, pendidikan identitas yang berpretensi dengan pewarisan dan sosialisasi semangat nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari pendidikan
agama atau budaya sebagai pemberi makna dari nasionalisme itu. Pendidikan sejarahPPKnPSPB harus dikaitkan dengan nilai-nilai agama; dan sebaliknya
pendidikan agama harus tidak melulu doktriner tetapi pengamalan agama yang aplikatif di masyarakat, termasuk juga ditampilkan sebagai wujud penanaman
semangat nasionalisme. Perkawinan antara pendidikan nasionalisme dengan pendidikan agama akan memfasilitasi lahirnya budaya nasional, sebagai elan
vital bagi usaha-usaha modernisasi.
Secara kuantitatif, modernisasi Indonesia sudah cukup berhasil. Bukankah kita memiliki jumlah lulusan sarjana, master, dan doktor yang cukup banyak
Hanya saja mereka belum diberdayakan secara optimal bagi kemajuan bangsa, sehingga mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang membutuhkan
keahliannya. Bila dibandingkan dengan negara lain, modernisasi Indonesia berjalan lambat karena kita belum berhasil merumuskan kebudayaan nasional.
7
Mulkhan, Abdul Munir, 2001, “Humanisasi Pendidikan Islam”, dalam Tashwirul Afkar, No. 11., hal. 20.
8
Zada, Khamami, 2001, “Membebaskan Pendidikan Islam: dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme”, dalam Tashwirul Afkar, No. 11, hal. 3.
9
Rochmat, 2005c, “Kebangkitan Agama di Era Modern?”, Inovasi, v4XVIIIAgustus 2005, Online http:io- ppi-jepang.orgarticle.php?id=293 Diakses 14-10-2005, hal. 67.
Padahal kebudayaan nasional merupakan fondasi bagi berlangsungnya modernisasi. Berikut penilaian kritis Tony Barnet 1995: vii terhadap
modernisasi di dunia ketiga:
he main problems in the hird World are not, by and large, the absence of technical specialists –countries such as India and Pakistan have these aplenty; …
he main problems are
sociological and political problems, the contexts within which apparently “technical” decision are taken [garis tebal
adalah penekanan penulis].
10