Fraksi Nasional Prosiding Seminar Nasional program studi pendidikan sejarah se-Indonesia.
suku A berada di dalam kelompok suku asalnya maka orang tersebut akan menggunakan bahasa daerah yang merupakan identitasnya. Akan tetapi,
situasi tersebut akan berubah apabila ketika kelompok suku tersebut didekati oleh seseorang yang berasal dari suku B yang ingin ikut serta melakukan
interaksi. Kondisi tersebut mewajibkan kelompok suku A menggunakan bahasa Indonesia untuk melaksanakan fungsi unifying menyatukan.
Fungsi bahasa hendaknya dipahami oleh dunia pendidikan khususnya bagi tenaga pengajar dan peserta didik. Peneliti memiliki sebuah pengalaman
ketika proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah, dimana peserta didik berasal dari berbagai etnis. Tenaga pengajar pada saat itu
mendapatkan sebuah kalimat “Saya tidak mengerti, Pak” dari peserta didik. Hal itu menandakan bahwa tenaga pengajar belum memahami fungsi bahasa dalam
kelas multikultur.
Bahasa merupakan media seseorang untuk menyampaikan pemikiran, pengetahuan dan kebudayaan yang dimiliki olehnya kepada lawan bicaranya.
Bahasa yang juga menggambarkan identitas seseorang dapat menjadi jembatan bagi setiap orang untuk melakukan komunikasi budaya antar etnik. Menurut
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa, komunikasi budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa,
antar etnik dan ras, antar kelas sosial.
11
Komunikasi budaya yang terjadi dalam Fraksi Nasional merupakan “komunikasi yang mengacu pada derajat
penampilan ketidaksamaan antara dua orang yang berkomunikasi.”
12
Perbedaan tersebut membuat anggota-anggota Fraksi Nasional dipaksa harus memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik dalam rangka mencari persamaan dan perbedaan kebudayaan.
Komunikasi yang berlangsung tentu memiliki faktor penghambat dan pendukung dalam upayanya untuk mencapai masyarakat multikultural yang
saling menghargai. “Latar belakang hambatan tersebut biasanya disebabkan setidaknya oleh tiga hal: 1. Prasangka historis, 2. Diskriminasi dan 3.
Perasaan in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain out-group.”
13
Prasangka historis, diskriminasi, dan perasaan in-group feeling yang berlebihan dari suatu kelompok etnis tidak terjadi dalam Fraksi
Nasional. Hal tersebut disebabkan karena ketiga buah faktor penghambat komunikasi antar etnik tersebut dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda
kepada penduduk Indonesia.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda memberikan perasaan persatuan untuk melawan yang sama antar etnis bangsa Indonesia. Perasaan tersebut
mendorong munculnya rasa empati antar etnis. Empati tersebut mendorong
11 Alo Liliweri. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 10. 12 Ibid. hlm. 94.
13 Andrik Purwasito. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 210.
anggota Fraksi Nasional untuk dapat menempatkan diri secara imajinatif dalam posisi orang lain.
14
Cara pandang anggota Fraksi Nasional mampu memberikan ruang komunikasi yang positif, sehingga persatuan antar etnis di dalamnya
sangatlah kuat.
Fraksi Nasional yang menyadari akan manfaat bahasa Indoneisa tetap konsisten dalam menggunakan bahasa persatuan tersebut. Hal tersebut
kemudian memicu munculnya pernyataan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam Volksraad merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh Fraksi Nasional. Hal itu disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda melarang penggunaan bahasa selain bahasa Belanda.
15
Fraksi Nasional seakan sama keras kepalanya dengan kelompok nonkooperatif dalam
mencapai kemerdekaan Indonesia. Kegigihan kelompok Fraksi Nasional diungkapkan oleh van Poll yang mengatakan bahwa “di bawah arahan hamrin
[ketua Fraksi Nasional] yang sangat berbakat bertujuan membentuk negara Indonesia merdeka yang bersatu dan tetap yakin persatuan etnis asli dari
kelompok bangsa Indonesia yang sangat beragam dapat disatukan dengan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara umum yang akan memberikan
jaminan cukup untuk tercapainya Indonesia Merdeka.”
16
Kelompok Fraksi Nasional yang gigih dalam menuntut Indonesia Merdeka memberikan perlawanannya terhadap pemerintah Hindia melalui beberapa
mosi dan perdebatan. Hal yang diperjuangkan oleh Fraksi Nasional antara lain mempertanyakan penangkapan Soekarno yang terjadi pada tahun 1929,
tuntutan untuk mencabut pasal 153 dan 161, menentang kebijakan ordonansi sekolah liar, menolak petisi Soetardjo, dan mempertanyakan berbagai kebijakan
pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi perang pasiik. Berbagai mosi yang diajukan oleh Fraksi Nasional mengalami kegagalan karena kalahnya
suara Fraksi Nasional dalam pemungutan suara. Hal tersebut bukan tidak diperhitungkan oleh Fraksi Nasional, akan tetapi hal tersebut merupakan
sebuah bentuk perlawanan yang dijalankan akibat adanya pasal 153 dan 161 yang membatasi pergerakan politik bangsa Indonesia.
Kekecewaan bangsa Indonesia semakin meningkat ketika Fraksi Nasional tidak lagi didengarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Perlakuan tersebut
membuat Fraksi Nasional melontarkan kalimat-kalimat yang lebih radikal dari sebelumnya. Salah satu kalimat yang meresahkan pemerintah Hindia Belanda
adalah pernyataan dari ketua Fraksi Nasional yang mempertanyakan “1 Benar
14 Ibid. hlm. 261. 15 Riphagen, J. 1927. Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda. Batavia: Balai Poestaka. hlm. 107-
114. 16 Hering, Bob. 2003. “M. H. hamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941”. a. b.
Harsono Sutejo. M. H. hamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra. hlm. 327.
atau tidak dasar economie Indonesia bersifat economie djadjahan typisch kolonialistich sehingga keoentoengannja jatoeh ditangan bangsa dan negeri
asing? 2 Benar atau tidak jang Indonesia setiap tahoen haroes mengalirkan keoentoengan keloar negeri dengan berates-ratoes djoeta setahoennja? 3
Benar atau tidak jang Indonesia tentoe lebih ma’moer dan lebih kaja dari pada sekarang djika pengaliran oeang itoe tidak ada sehingga oepah boeroeh
dan harga pertanian moedah lebih mahal dari pada sekarang? 4 Benar atau tidak jang kekoeasaan orang Belanda di Indonesia mengoetamakan soepaja
keoentoengan dan penghasilan djatoeh kepada bangsa dan negerinja orang- orang jang sama dengan jang memegang kekoeasaan? 5 Benar atau tidak jang
economie setiap negeri haroes didasarkan kepada kepentingan anak negeri jang asli dan hal ini hanja bisa sempoerna djika bangsa Indonesia jang memegang
kekoeasaan dinegerinja sendiri?”
17
Pernyataan tersebut dilontarkan pada tahun 1938 yang bersamaan dengan adanya ancaman dari lautan pasiik khususnya
fasisme dari Jepang.
Pernyataan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda curiga akan adanya rencana perlawanan yang akan dilakukan. Pemerintah juga mencurigai
adanya kedekatan kelompok Fraksi Nasional dengan bangsa Jepang. Kecurigaan itu muncul karena banyaknya pernyataan dari Fraksi Nasional
yang memperingatkan pemerintah Hindia Belanda akan adanya ancaman dari wilayah pasiik. Peringatan tersebut ternyata memiliki makna yang berbeda
bagi pemerintah Hindia Belanda. pemerintah Hindia Belanda memilih untuk melakukan penangkapan terhadap ketua Fraksi Nasional yaitu M. H. hamrin.
Penangkapan tersebut dilakukan ketika M. H. hamrin sedang menderita sakit keras. M. H. hamrin kemudian meninggal dalam suasana penahanan yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Fraksi Nasional berakhir ketika pemerintah Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda.